Indonesia, sebagai sebuah negara, juga memandang
hubungan hukum perkawinan, tidak hanya sebagai hubungan privat semata, tetapi
juga mengandung unsur hubungan publik. Oleh karena itu, pernikahan perlu diatur oleh negara melalui peraturan
perundang-undangan, seperti pada UU No.1 tahun 1974, PP No.9 tahun 1975 dan KHI
(Inpres No.1 tahun 1991).
Pasal 2 ayat (2) UU No.1 tahun
1974 menegaskan : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.Hal senada diatur dalam KHI pada pasal 5 ayat
1 : “ Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap
perkawinan harus dicatat.”. Lebih lanjut diatur dalam Pasal 2 PP No.9 tahun
1975 pada ayat (1) : “Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk.
Dengan adanya keharusan
mencatat perkawinan oleh UU, maka lahirlah istilah nikah siri untuk menyebut
pernikahan yang dilakukan tanpa pencatatan. Atau nikah dibawah tangan bagi
pernikahan yang meskipun dicatat, tapi tidak oleh petugas yang ditunjuk Undang
Undang. Selain pandangan yang membedakan antara nikah
siri dengan nikah dibawah tangan, ada pula pandangan yang menyamakan keduanya.
Nikah siri disebut juga dengan kawin syar’i, kawin modin dan kawin kyai.
Problematika Nikah Siri
Problem pertama yang muncul dari nikah siri adala
problem mengenai keabsahan hukumnya. Sebagaimana dimaklumi, pencatatan perkawinan tidak diatur secara tekstual di
dalam al-Quran dan Sunnah. Sehubungan dengan itu, di kalangan umat Islam,
pencatatan perkawinan kurang mendapat perhatian. Hal ini dimungkinkan oleh
beberapa faktor. Pertama, adanya larangan untuk menulis sesuatu selain
al-Quran, akibatnya kultur tulis tidak begitu berkembang di banding kultur
hafalan (oral). Kedua, sebagai kelanjutan yang pertama, umat Islam sangat
mengandalkan hafalan (ingatan), apalagi mengingat suatu peristiwa bukanlah
suatu hal yang sulit. Ketiga, tradisi walimat al-‘urs merupakan saksi di
samping saksi syar’i sebuah perkawinan. Keempat, perkawinan pada masa awal
Islam belum terjadi antara wilayah negara yang berbeda, sehingga alat bukti
selain saksi belum dibutuhkan.[1]
Perintah pencatatan di dalam
al-Quran hanya berhubungan dengan utang piutang, sebagaimana disebutkan pada
surat al-Baqarah ayat 282. Tujuan pencatatan utang piutang adalah sebagai alat
bukti yang diperlukan di belakang hari, bila timbul sengketa. Demikian pula
sebenarnya tujuan pencatatan perkawinan. Karena itu dengan menggunakan metode
qiyas lebih patut peristiwa perkawinan dicatat, karena juga ada kemungkinan
terjadi sengketa perkawinan di kemudian hari, apalagi akibat yang
ditimbulkannya lebih kompleks dan menyangkut beberapa aspek seperti masalah
harta bersama, kewarisan, hadlonah, dll.
Ketentuan adanya saksi dalam
perkawinan bertujuan agar perkawinan itu diketahui orang, minimal dua orang
laki-laki. Hal ini diperlukan pada saat ada yang mempermasalahkan hubungan
suami istri dimaksud. Tujuan kehadiran saksi pada saat pernikahan tersebut
dapat dilestarikan dengan adanya pencatatan perkawinan (surat nikah), sehingga
suami dan keluarga kedua belah pihak serta anak dan keturunan mereka tidak
mendapat kesulitan di dalam lalu lintas kehidupan ini dengan tidak perlu
bergantung kepada saksi nikah, cukup dengan menunjukkan surat nikah. Sehubungan
dengan itu Masjfuk Zuhdi mengatakan bahwa pencatatan perkawinan merupakan
syarat sah suatu perkawinan dengan argumentasi qiyas, maslahat mursalah dan
saad al dzari’ah.[2]
Pandangan Masjfuk Zuhdi
tersebut tidak sejalan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, di mana suatu
perkawinan dipandang sah apabila memenuhi rukun dan syarat perkawinan secara
agama, kendati pun tidak dicatat. Hukum yang hidup
inilah yang ditampung dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Melalui penafsiran
tekstual dan historis terhadap Pasal 2 ayat 1 UU tersebut dan penjelasannya,
kesimpulan inilah yang akan diperoleh. Pandangan inilah yang diungkap kembali
oleh Bagir Manan pada Seminar Sehari Problematika Hukum Keluarga Dalam Sistem
Hukum Nasional di Jakarta tanggal 1 Agustus 2009.
Kontroversi ini perlu
dicarikan solusi yang dapat menjembatani kedua pendapat tersebut. M.Quraish
Shihab menawarkan hal ini dengan pernyataannya sebagai berikut : “ Dalam
konteks ke Indonesiaan, walaupun pernikahan yang demikian dinilai sah menurut
hukum agama, namun perkawinan di bawah tangan dapat mengakibatkan dosa bagi
pelaku-pelakunya, karena melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah
dan DPR (Ulil Amri), al-Quran memerintahkan setiap muslim untuk mentaati ulil
amri selama tidak bertentangan, tetapi justru sangat sejalan dengan al-Quran.”[3]
Problem hukum lainnya adalah
mengenai bentuk perlindungan negara kepada pasangan suami isteri bila terjadi
sengketa dalam perkawinan nikah siri, padahal menurut perundang-undangan,
perkawinannya tidak memiliki kekuatan hukum[6]. Bagaimana tentang kewarisan,
perlindungan hukum hak-hak waris bidang kekayaan apabila anak-anak hasil nikah
siri berhadapan dengan saudara-saudara mereka anak dari isteri yang dinikahi
secara resmi.Bagimana perlakuan pengadilan terhadap mereka, apakah mereka harus
dikesampingkan sehingga tidak mendapat bagian dari harta warisan padahal mereka
secara biologis, mereka juga adalah anak pewaris, bagaimana pengadilan bersikap
kepada mereka?. Dalam hal kewarisan, misalnya seseorang telah melaksanakan
nikah siri, lalu kemudian dikaruniai anak (anak hasil nikah siri), tapi
beberapa lama kemudian dia memperbarui pernikahannya, dengan menikah secara
resmi dan mencatatkan diri ke PPN sehingga pernikahan tersebut telah resmi
secara kenegaraan. Bagaimana status anak setelah adanya
pembaruan perkawinan orangtuanya dan bagaimana hak waris anak tersebut ?
Permasalahan hukum ini masih banyak lagi, namun lebih bijak bila tidak
diperpanjang di sini.
Selain problem hukum, problem sosial mungkin juga
terjadi, seperti kekhawatiran akan terjadinya perkawinan seayah karena di antara
anak-anak hasil nikah siri tersebut sangat besar kemungkinan tidak saling
mengenal antara satu dengan lainnya, sehingga nikah satu darah dapat terjadi,
kalau sempat terjadi, maka tentu akan sangat mengacaukan tatanan dan aturan
kemasyarakatan yang telah ada, khususnya dalam masalah perkawinan.
KESIMPULAN
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Bahwa pengerian Nikah Siri lahir
setelah adanya keharusan pencatatan dalam perkawinan. Sebelum adanya ketentuan
tersebut, nikah siri tidak menjadi masalah di kalangan masyarakat. Pengaturan
pencatatan perkawinan merupakan
intervensi negara terhadap warganya guna ketertiban hukum di masyarakat.
2. Bahwa
status nikah siri dalam hukum positif di Indonesia dipandang sah. Hal ini
dipahami dari penafsiran tekstual dan historis dari peraturan dan
perundang-undangan.
3. Bahwa
paham keagamaan umat terhadap ajaran agamanya sangat plularistik, karena itu
kearifan dalam memilih paham tersebut, sangat dibutukan. Bahkan paham keagamaan yang maju perlu dikembangkan, agar umat Islam
tidak terikat pada pendekatan “langit” yang tidak membumi. Keluhuran ajaran
Islam tidak boleh digadaikan dengan pendekatan paham yang bernuansa ketidak
teraturan atau berpotensi kedzaliman.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Nuruddin, Amiur dan Azhar Akmal
Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis ke Perkembnagan
Hukum Islam dan Fiqih, Undang-undang No.1 tahun 1974 sampai KHI. Jakarta:
Kencana, 2004.
Zuhdi, Masjfuk, Nikah Sirri,
Nikah Di bawah tangan dan Status Anaknya Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif,
Mimbar Hukum No.28 Tahun VIII. Jakarta: Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1996.
Shihab, M.Quraish, Wawasan al-Quran, Bndung:
Mizan, 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar