Sabtu, 13 Oktober 2012

HUKUM NIKAH SIRRI DI INDONESIA



Indonesia, sebagai sebuah negara, juga memandang hubungan hukum perkawinan, tidak hanya sebagai hubungan privat semata, tetapi juga mengandung unsur hubungan publik. Oleh karena itu, pernikahan perlu diatur oleh negara melalui peraturan perundang-undangan, seperti pada UU No.1 tahun 1974, PP No.9 tahun 1975 dan KHI (Inpres No.1 tahun 1991).
 
Pasal 2 ayat (2) UU No.1 tahun 1974 menegaskan : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.Hal senada diatur dalam KHI pada pasal 5 ayat 1 : “ Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.”. Lebih lanjut diatur dalam Pasal 2 PP No.9 tahun 1975 pada ayat (1) : “Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

Dengan adanya keharusan mencatat perkawinan oleh UU, maka lahirlah istilah nikah siri untuk menyebut pernikahan yang dilakukan tanpa pencatatan. Atau nikah dibawah tangan bagi pernikahan yang meskipun dicatat, tapi tidak oleh petugas yang ditunjuk Undang Undang. Selain pandangan yang membedakan antara nikah siri dengan nikah dibawah tangan, ada pula pandangan yang menyamakan keduanya. Nikah siri disebut juga dengan kawin syar’i, kawin modin dan kawin kyai.

Problematika Nikah Siri
Problem pertama yang muncul dari nikah siri adala problem mengenai keabsahan hukumnya. Sebagaimana dimaklumi, pencatatan  perkawinan tidak diatur secara tekstual di dalam al-Quran dan Sunnah. Sehubungan dengan itu, di kalangan umat Islam, pencatatan perkawinan kurang mendapat perhatian. Hal ini dimungkinkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya larangan untuk menulis sesuatu selain al-Quran, akibatnya kultur tulis tidak begitu berkembang di banding kultur hafalan (oral). Kedua, sebagai kelanjutan yang pertama, umat Islam sangat mengandalkan hafalan (ingatan), apalagi mengingat suatu peristiwa bukanlah suatu hal yang sulit. Ketiga, tradisi walimat al-‘urs merupakan saksi di samping saksi syar’i sebuah perkawinan. Keempat, perkawinan pada masa awal Islam belum terjadi antara wilayah negara yang berbeda, sehingga alat bukti selain saksi belum dibutuhkan.[1]
Perintah pencatatan di dalam al-Quran hanya berhubungan dengan utang piutang, sebagaimana disebutkan pada surat al-Baqarah ayat 282. Tujuan pencatatan utang piutang adalah sebagai alat bukti yang diperlukan di belakang hari, bila timbul sengketa. Demikian pula sebenarnya tujuan pencatatan perkawinan. Karena itu dengan menggunakan metode qiyas lebih patut peristiwa perkawinan dicatat, karena juga ada kemungkinan terjadi sengketa perkawinan di kemudian hari, apalagi akibat yang ditimbulkannya lebih kompleks dan menyangkut beberapa aspek seperti masalah harta bersama, kewarisan, hadlonah, dll.
Ketentuan adanya saksi dalam perkawinan bertujuan agar perkawinan itu diketahui orang, minimal dua orang laki-laki. Hal ini diperlukan pada saat ada yang mempermasalahkan hubungan suami istri dimaksud. Tujuan kehadiran saksi pada saat pernikahan tersebut dapat dilestarikan dengan adanya pencatatan perkawinan (surat nikah), sehingga suami dan keluarga kedua belah pihak serta anak dan keturunan mereka tidak mendapat kesulitan di dalam lalu lintas kehidupan ini dengan tidak perlu bergantung kepada saksi nikah, cukup dengan menunjukkan surat nikah. Sehubungan dengan itu Masjfuk Zuhdi mengatakan bahwa pencatatan perkawinan merupakan syarat sah suatu perkawinan dengan argumentasi qiyas, maslahat mursalah dan saad al dzari’ah.[2]
Pandangan Masjfuk Zuhdi tersebut tidak sejalan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, di mana suatu perkawinan dipandang sah apabila memenuhi rukun dan syarat perkawinan secara agama, kendati pun tidak dicatat. Hukum yang hidup inilah yang ditampung dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Melalui penafsiran tekstual dan historis terhadap Pasal 2 ayat 1 UU tersebut dan penjelasannya, kesimpulan inilah yang akan diperoleh. Pandangan inilah yang diungkap kembali oleh Bagir Manan pada Seminar Sehari Problematika Hukum Keluarga Dalam Sistem Hukum Nasional di Jakarta tanggal 1 Agustus 2009. 
Kontroversi ini perlu dicarikan solusi yang dapat menjembatani kedua pendapat tersebut. M.Quraish Shihab menawarkan hal ini dengan pernyataannya sebagai berikut : “ Dalam konteks ke Indonesiaan, walaupun pernikahan yang demikian dinilai sah menurut hukum agama, namun perkawinan di bawah tangan dapat mengakibatkan dosa bagi pelaku-pelakunya, karena melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR (Ulil Amri), al-Quran memerintahkan setiap muslim untuk mentaati ulil amri selama tidak bertentangan, tetapi justru sangat sejalan dengan al-Quran.”[3]
Problem hukum lainnya adalah mengenai bentuk perlindungan negara kepada pasangan suami isteri bila terjadi sengketa dalam perkawinan nikah siri, padahal menurut perundang-undangan, perkawinannya tidak memiliki kekuatan hukum[6]. Bagaimana tentang kewarisan, perlindungan hukum hak-hak waris bidang kekayaan apabila anak-anak hasil nikah siri berhadapan dengan saudara-saudara mereka anak dari isteri yang dinikahi secara resmi.Bagimana perlakuan pengadilan terhadap mereka, apakah mereka harus dikesampingkan sehingga tidak mendapat bagian dari harta warisan padahal mereka secara biologis, mereka juga adalah anak pewaris, bagaimana pengadilan bersikap kepada mereka?. Dalam hal kewarisan, misalnya seseorang telah melaksanakan nikah siri, lalu kemudian dikaruniai anak (anak hasil nikah siri), tapi beberapa lama kemudian dia memperbarui pernikahannya, dengan menikah secara resmi dan mencatatkan diri ke PPN sehingga pernikahan tersebut telah resmi secara kenegaraan. Bagaimana status anak setelah adanya pembaruan perkawinan orangtuanya dan bagaimana hak waris anak tersebut ? Permasalahan hukum ini masih banyak lagi, namun lebih bijak bila tidak diperpanjang di sini.
Selain problem hukum, problem sosial mungkin juga terjadi, seperti kekhawatiran akan terjadinya perkawinan seayah karena di antara anak-anak hasil nikah siri tersebut sangat besar kemungkinan tidak saling mengenal antara satu dengan lainnya, sehingga nikah satu darah dapat terjadi, kalau sempat terjadi, maka tentu akan sangat mengacaukan tatanan dan aturan kemasyarakatan yang telah ada, khususnya dalam masalah perkawinan.


KESIMPULAN

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Bahwa pengerian Nikah Siri lahir setelah adanya keharusan pencatatan dalam perkawinan. Sebelum adanya ketentuan tersebut, nikah siri tidak menjadi masalah di kalangan masyarakat. Pengaturan pencatatan perkawinan merupakan intervensi negara terhadap warganya guna ketertiban hukum di masyarakat.
2. Bahwa status nikah siri dalam hukum positif di Indonesia dipandang sah. Hal ini dipahami dari penafsiran tekstual dan historis dari peraturan dan perundang-undangan.
3. Bahwa paham keagamaan umat terhadap ajaran agamanya sangat plularistik, karena itu kearifan dalam memilih paham tersebut, sangat dibutukan. Bahkan paham keagamaan yang maju perlu dikembangkan, agar umat Islam tidak terikat pada pendekatan “langit” yang tidak membumi. Keluhuran ajaran Islam tidak boleh digadaikan dengan pendekatan paham yang bernuansa ketidak teraturan atau berpotensi kedzaliman.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
Nuruddin, Amiur dan Azhar Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis  ke Perkembnagan Hukum Islam dan Fiqih, Undang-undang No.1 tahun 1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana, 2004.
Zuhdi, Masjfuk, Nikah Sirri, Nikah Di bawah tangan dan Status Anaknya Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif, Mimbar Hukum No.28 Tahun VIII. Jakarta: Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1996.
Shihab, M.Quraish, Wawasan al-Quran, Bndung: Mizan, 1996.


     [1] Amiur Nuruddin dan Azhar Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis  ke Perkembnagan Hukum Islam dan Fiqih, Undang-undang No.1 tahun 1974 sampai KHI. (Jakarta: Kencana, 2004), hal.120-121.
     [2] Masjfuk Zuhdi, Nikah Sirri, Nikah di BawahTtangan dan Status Anaknya Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif, Mimbar Hukum No.28 Tahun VIII, (Jakarta: Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1996), hal.15.
     [3] M.Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, (Bndung:Mizan, 1996), hal. 204.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar