A. Arti Thariqah dan Tujuan Pengamalannya
Secara etimologi tharqah berarti jalan
menuju hakikat. Dengan kata lain mengamalan syari’at. Sehingga secara
terminologi, Muhammad Anin al-Kurdi mengajukan tiga definisi, Yakni:
- Megamalkan syari’at, melaksanakan seluruh ibadah dengan tekun dan menjauhkan diri dari sikap mempermudah (menggampangkan) ibadah yang sesungguhnya tidak boleh di permudah.
- Menjauhi larangan dan melaksanakan perintah Allah sesuai dengan kesanggupannya, baik perintah dan larangan tersebut bersifat jelas maupun tidak (batin).
- Meninggalkan segala yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal yang mubah (yang mengandung fadhilah), menunaikan segala yang diwajibkan dan disunnatkan sesuai dengan kesanggupannya dibawah bimbingan seseorang mursyid dari sufi yang mencita-citakan suatu tujuan.[1]
Thariqat sebagaimana yang
berkembang dikalangan ahli tasawuf, ialah jalan atau petunjuk dalam melakukan
sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw,
dan dikerjakan oleh sahabat-sahabatnya, tabi’in-tabi’in turun temurun sampai
kepada guru-guru atau ulama-ulama yang sambung menyambung dan rantai berantai sampai
pada masa kita ini.[2]
Sementara
menurut L. Massignon, seorang islamiisis yang pernah mengadakan penelitian
terhadap ajaran tasauf di beberapa negara Islam, sebagaimana dikutip oleh
Mahjuddin,[3]
memberikan dua macam pengertian thariqah. Pertama, thariqah diartikan
sebagai pendidikan kerohanian yang sering dilakukan oleh orang-orang yang
menempuh kehidupan tasawuf, untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang
disebut al-maqamat[4]
dan al-ahwal[5].
Pengertian seperti ini menonjol pada paruh abad IX dan X Masehi. Kedua,
thariqah diatrikan ssebagai sebuah perkumpulan yang didirikan menurut
aturan-aturan yang ditetapkan oleh syeikh yang menganut suatu aliran thariqah
tertentu. Dalam perkumpulan tersebut, seorang syeikh mengajarkan ilmu tasawuf
menurut aliran thariqah yang dianutnya, kemudian diamalkan secara bersama-sama
dengan murid-muridnya. Pengertian seperti ini menonjol setelah abad IX Masehi.[6]
Adapun
tujuan pengamalan thareqah, antara lain:
- Untuk mengadakan latihan jiwa (riyadhah) dan berjuang melawan hawa nafsu (mujahadah), membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji melalui perbaikan budi pekerti.
- Untuk menumbuhkan rasa dekat kepada Allah swt melalui wirid dan zikir yang dibarengi dengan tafakkur.
- Menumbuhkan perasaan takut kepada Allah sehingga timbul dalam diri seseorang untuk berusaha menghindari diri dari segala macam pengaruh duniawi yang dapat menyebabkan lalai kepada-Nya.
- Untuk mencari ridha Allah semata, sehingga ia mencapai suatu tingkatan (maqam) ma’rifat, yang dapat mengetahui segala rahasia Allah dan Rasul-Nya secara jelas.[7]
B. Sejarah Lahirnya Thariqah Hizb
Nahdlatul Wathan
Al-Gozali
dan Ibn al-Arabi membagi empat tahap yang harus dimulai oleh seseorang yang
menjalani ajaran tasawuf untuk mencapai tujuan yang dikenal sebagai al-saadah
(kebahagiaan) atau al-insan al-kamil (manussia paripurna). Keempat tahapan itu, terdiri dari syari’at, thariqah, haqiqat,
dan ma’rifat. Berkaitan dengan ini Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul
Majid mengatakan bahwa syari’at itu merupakan uraian, thariqah merupakan
pelaksanaan, haqiqat merupakan keadaan dan ma’rifat merupakan tujuan pokok,
yakni pengenalan Tuhan yang sebenar-benarnya. Ia juga menganalogikan syari’at
itu sebagai sebuah sampan (perahu), thariqah itu adalah lautan, haqiqat itu
adalah mutiara. Orang tidak akan mendapatkan mutiara kecuali melewati lautan
denggan menggunakan sampan.[8]
Lebih
lanjut dalam ajaran tasawufnya ia tidak memisahkan diametral antara fiqh dan
tasawu. Dalam konteks ini ia sering mengungkapkan argumentasi dengan mengutip
pandangan Anas Ibn Malik yang mengatakan:
“Barang
siapa yang melaksanakan Fiqh saja tanpa dibarengi dengan pelaksanaan tasawuf,
maka ia temasuk golongan orang-orang fasiq, dan barang siapa yang hanya
melaksanakan tasawuf saja, tanpa melaksanakan fiqh, maka ia termasuk golongan
orang-orang zindik, sementara barang siapa yang mengerjakan keduanya secara
sinergis, maka ia termasuk orang-orang yang telaah mencapai drajat haqiqat”.
Berkaitan
dengan ajaran untuk mensinerrgikan antara syariat dengan hhaqiqat di atas, ia
menulis dalam bait-bait syairnya sebagai berikut:
Wahai anakku jamaah
thariqat
Janganlah lupa pada syariat
Ingatlah selalu kandungan
baiat
Mudahan selamat dunia
akhirat
Banyak sekali membisikkan
hakikat
Padahal mereka buta syariat
Sehingga awam banyak
terpikat
Menjadi zindik menjadi
sesat[9]
Selanjutnya
beranggkat dari pemikiran ini, ia ingin membentuk sebuah thariqat Nahdlatul
Wathan sebagai media untuk mensinergikan aspek syariat dan thariqat serta
sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Proses
kelahiran Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan adalah ketika Tuan Guru Kiyai Haji
Muhammad Zainuddin Abdul Majid menunaikan ibadah haji, saat ia tengah beribadah
di Masjid Nabawi di Madinah, ia didatangi seorang yang kemudian diyakini
sebagai Nabi Khidir as dan ia menyampaikan salam dari Nabi Ibrahim yang
menyatakan, “bahwa Nahdlatul Wathan akan menjadi organisasi yang lengkap dan
sempurna, apabila sudah memiliki thariqat.” Berdasarkan pengalaman spiritual
ini, maka Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid mendirikan tariqat
yang kemudian dinamakan dengan Tariqat Hizib Nahdlatul Wathan pada tahun 1964.[10]
Penamaan
thariqat ini dilatar belakangi oleh keinginan untuk melengkapi Hizib Nahdlatul
Wathan, sehingga thariqat ini merupakan intisari sari Hizib Nahdlatul Wathan.[11]
Disamping
dari pengalaman spiritual diatas, kelahiran thariqat ini juga diilhami oleh
maraknya aliran-aliran thariqat yang dianggap sesat, karena meninggalkan
ajaran-ajaran syariat, seperti shalat, puasa, zakat, dan ibadah-ibadah lainnya.[12]
Thariqat
sesat ini olehnya disebut sebagai “thariqat syetan”, sebagaimana dikemukakan
dalam syairnya:
Thariqat hizib harus
berjalan
Bersama thariqat yang murni
haluan
Membenteng syariat
membentang iman
Menendang ajaran thariqat
syetan[13]
Selanjutnya keberadaan
Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan ini juga sebagai respon terhadap praktek
pengalaman thariqat-thariqat selama ini, seperti thariqat Qadariyah dan
Naqsyabandiyah di lombok yang terkesan terlalu berat dan memiliki persyaratan
yang begitu ketat. Apalagi jika ditambahkan dengan kewajiban ‘uzlah
(mengasingkan diri) dari hiruk pikuk kehidupan dunia pada waktu tertentu.
Sekalipun ‘uzlah ini juga tidak di larang dalam Thariqat Hizib Nahdlatul
Wathan, sehingga pada umumnya masyarkat merasa enggan untuk mengikutinya.
Berdasarkan kondisi ini, maka Tuan Guru Kiyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul
Majid menyusun Thrariqat Hizib Nahdlatul Wathan secara ringkas dan praktis,
tampa mengesampingkan makna esoteriknya (batinnya). Thariqat ini dapat
diamalkan oleh setiap orang dalam kondisi apapun, baik pada waktu khusus,
maupun pada waktu melaksanakan berbagai macam aktifitas keseharian.
Bacaan yang diamalkan dalam
Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan terdiri dari ayat-ayat al-Qur’an, shalawat,
do’a-do’a mu’tabar dari Rasulullah saw, para ulama dan auliya’. Prosesi ini
tidak membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan thariqat-thariqat yang
lainnya.
Disamping bacaannya yang
simpel, thariqat ini juga memiliki syarat san ketentuan yang ringan dan
fleksibel bagi seseorang yang ingin mengamalkannya, sehingga thariqat ini
dimungkinkan untuk diamalkan dan diataptasi dalam konteks modern, yang biasanya
ditandai dengan sifat fleksibel, simpel dan efesieni. Oleh karena thariqat ini
dapat merespon tuntunan masyarakat modern, maka thariqat ini juga dinamakan
thariqat Akhir Zaman. Berkaitan dengan ini, ia mengisyaratkan dalam bait
syairnya:
Thariqat Hizib thariqat
terakhir
Dengan bisyarah
“Al-Basyirunnadzir”
Kepada Bermi Al-Faqir
Al-Haqir
Dan ditaukidkan oleh
Al-Khidir[14]
Di
sisi lain terdapat sisi-sisi kesamaan antara Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan
dengan konsepsi tasawuf modern yang dipelopori oleh Ibn Taimiyah. Menurut
Nurkholis Majid, “Tasawuf modern adalah sebuah penghayatan keagamaan batini
yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam maslah-masalah kemasyarakatan”.
Sesekali menyingkirkan diri (‘uzlah) mungkin ada baiknya, jika hal itu
dilakukan untuk menyegarkan kembali wawasan dan meneruskan pandangan, yang
kemudian dijadikan titik tolak dalam pelibatan diri dalam aktifitas yang lebih
segar. Kelonggaran-kelonggaran dalam pengalaman Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan
dimaksudkan agar orang dapat senantiasa melibatkan diri dalam berbagai tugas
kemasyarakatan. Sedangkan tidak adanya ber’uzlah dalam Thariqat Hizib Nahdlatul
Wathan menandakan kebolehan untuk dilakukan sewaktu-waktu bila dianggap perlu.
Dan ini berarti Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan, walaupun perlu ditelusuri
lebih jauh lagi, tapi bisa dipandang sebagai thariqat modern.
Praktisnya
cara pengamalan Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan, bisa dijadikan alternatif
berthariqat dalam kehidupan modern dewasa ini. Dengan Thariqat Hizib Nahdlatul
Watan, sekarang dapat melaksanakan tugas-tugas kesehariannya tanpa ketinggalan
akan kepuasan rohaniahnya. Dan sebaliknya, seorang dapat hidup damai secara
batiniah dalam suasana kedekatan kepada Allah SWT tanpa kehilangan atau
terasing dari kehidupan dunia.
Kenyataan
tersebut ternyata lebih menarik minat berbagai kalangan untuk menerima ijazah
Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan, mulai dari petani, nelayan, pedagang, hingga
kalangan profesional yang telah bersentuhan dengan teknonolgi modern. Ini
adalah kesimpulan yang Abdul Aziz, seorang peneliti Litbang Depag RI yang
mengatakan, bahwa Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan mampu menghilangkan perbedaan
antara orang tradisional dengan orang modern dalam Islam.[15]
Adapun
syarat keanggotaan thariqat ini adalah sebagai berikut:
- Ketaatan kepada pimpinan (mursyid) thariqat, yaitu Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, atau yang ditunjuknya.
- Mengamalkan Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan setiap selesai shalat lima waktu.
- Bersedia membantu perjuangan Nahdlatul Wathan
- Membayar uang shalawat.[16]
Sementara ketentuan ijazah dan
bai’at dalam penerimaan thariqat ini adalah merupakan “aqad” sebagai syarat sah
mengamalkannya. Ijazah dan bai’at diberikan oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Majid sendiri, atau oleh wakilnya yang ditunjuk secara resmi,
yaitu salah seorang muridnya yang bernama Haji Muksin Makbul.
Thariqat Hizib Nahdlatul
Wathan juga tidak mengenal hirarki kepemimpinan yang ketat. Namun demikian,
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid memberi izin kepada seorang
muridnya yang paling dipercaya untuk mengijazahkan dan membai’at caloon anggota
thariqat, yaitu Haji Muksin Makbul.
Selanjutnya dalam
perkembangannya dewasa ini, Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan yang berada dibawah
pimpinan Haji Muksin Makbul ini terus mengalami perkembangan di berbagai
pelosok tanah air dan beberapa tenmpat di luar negri seiring dengan
perkembangan Organisasi Nahdlatul Wathan, seperti di Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Bali, Sulawesi, Kalimantan, DKI Jakarta, Tanggerang, Bekasi,
Bogor, Riau, Batam, Malaysia.
C. Proses Pengamalan Thariqat Hizib
Nahdlatul Wathan
Dalam proses pengamalan Thariqat Hizib
Nahdlatul Wathan ini dibagi pada empat macam pengamalan. Prosesi ini diawali
dengan pembacaan surah al-Fatihah tiga kali, sebagaimana dalam pengamalan Hizib
Nahdlatul Wathan, yaitu surah al-Fatihah pertama, kepada Nabi Muhammad saw,
keluarga, sahabat dan para Nabi dan Rasul. Kedua, kepada Tuan Guru Kyai Haji
Muhammad Zainuddin Abdul Majid, keluarga dan para pendukungnya. Dan ketiga,
kepada seluruh para ulama dan para aulia’, kepada kedua orang tua, para guru
dan seluruh kaum muslimin dan muslimat.
Adapun
empat macam pengamalan Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan yang dimaksud, adalah
sebagai berikut:
- Wadzifah al-Rawatib, dibaca setiap selesai shalat lima waktu
- Wirdu al-Rabithah, dibaca ketika menjelang waktu maghrib
- Wadzifah al-Yaumiyah, dibaca satu kali setiap hari
- Wadzifah al-Usbu,iyah, dibaca sekali dalam seminggu.[17]
DAFTAR PUSTAKA
Atjeh, Aboebakar, Pengantar Ilmu
Tarekat: Uraian Tentang Mistik, Solo: Ramadhani, 1990, cet. ke.-6.
Aziz, Abdul, Praktek Pseudo Thariqat, Memeluk Tradisi di
Alam Modern: Studi Tentang Kelompok Hizib Nahdlatul Wathan di Lombok dan
Mujahadah di Semarang, Penelitian Puslitbang Departemen Agama RI , No 44,
XX, Oktober 1996.
Mahjuddin,
Kuliah Akhlaq-Tasauf, Jakarta: Kalam Mulia, 1991.
Majid, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul, HizibNahdlatul
al-Wathan, Hizib Nahdlatul al-Banat, Jakartaa; Nahdlatul Wathan Jakarta,
2002.
Majid, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul, Wasiat
Renungan Masa Pengalaman Baru.
Noor, Muhammad, dkk, Visi Kebangsaan
Religius Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zainiddin Abdul Majid 1904-1997, Jakarta:
PT Logos Wacana Ilmu, 2004.
Umar,
Imron Abu, Di Sekitar Masalah Thariqah Naqsyabandiyah, Kudus: Menara
Kudus.
[1] Muhammad Noor, dkk,
Visi Kebangsaan Religius Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai
Haji Muhammad Zainiddin Abdul Majid 1904-1997, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2004), hal.
265.
[2] Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian Tentang Mistik, (Solo:
Ramadhani, 1990), cet. ke.-6, hal. 67.
[3] Mahjuddin, Kuliah Akhlaq-Tasauf, (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), hal.
110-111.
[4] Kata maqamat adalah jamak dari maqam,
yang berarti tempat atau kedudukan. Dalam Sufi Terminology: The
Mystical Language Of Islam, maqam diterjemahkan sebagai kedudukan
spiritual, karena sebuah maqam diperoleh melalui daya upaya (mujahadah)
dan ketulusan dalam menempuh perjalan spiritual. Namun sesungguhnya perolehan
tersebut tidak lepas dari karunia yang diberikan oleh Allah swt. Lihat
Amatullah Amstron, Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasauf,
terjemah M.S. Nasrullah dan Ahma baiquni, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 175.
[5] Kata Ahwal adalah jamak dari hal yang
berarti keadaan atau situasi kejiwaan (state). Sementara secara terminologis,
ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati. Hal masuk dalam hati
seseorang sebagai anugrah yang diberikan oleh Allah, menurut al-Qusyari, bahwa
pada dasarnya maqam adalah upaya (makasib) sedang hal adalah karunia (mawahib),
sehingga kadang kala hal datang pada diri seseorang dalam waktu yang cukup lama
dan kadang juga datangnya hanya sesaat. Lihat Hasyim Muhammad, Dialog Antar Tasauf
Dosen Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 26.
[6] Muhammad Noor,
dkk, Visi Kebangsaan Religius..., hal. 266
[7] Imron Abu Umar, Di Sekitar Masalah Thariqah Naqsyabandiyah, (Kudus:
Menara Kudus, 1980), hal.12-13.
[8] Muhammad Noor,
dkk, Visi Kebangsaan Religius..., hal. 267.
[9] Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, HizibNahdlatul
al-Wathan, Hizib Nahdlatul al-Banat, (Jakartaa; Nahdlatul Wathan Jakarta,
2002), hal. 109.
[10] Muhammad Noor,
dkk, Visi Kebangsaan Religius..., hal. 268.
[11] Muhammad Noor,
dkk, Visi Kebangsaan Religius..., hal. 268.
[12] Muhammad Noor,
dkk, Visi Kebangsaan Religius..., hal. 269.
[13] Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, Wasiat Renungan
Masa Pengalaman Baru, hal. 111.
[14] Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, Wasiat…, hal.
107.
[15]Abdul Aziz, Praktek Pseudo Thariqat, Memeluk Tradisi di Alam
Modern: Studi Tentang Kelompok Hizib Nahdlatul Wathan di Lombok dan Mujahadah
di Semarang, (Penelitian Puslitbang Departemen Agama RI ), No 44, XX,
Oktober 1996.
[16] Abdul Aziz, Praktek Pseudo Thariqat
[17] Muhammad Noor,
dkk, Visi Kebangsaan Religius..., hal. 272.
bang dapet referensinya dari mana yah,,,d toko online gk ada,,saya dri banten
BalasHapus