Sabtu, 13 Oktober 2012

THARIQAH HIZB NAHDLATUL WATHAN


A. Arti Thariqah dan Tujuan Pengamalannya
             Secara etimologi tharqah berarti jalan menuju hakikat. Dengan kata lain mengamalan syari’at. Sehingga secara terminologi, Muhammad Anin al-Kurdi mengajukan tiga definisi, Yakni:
  1. Megamalkan syari’at, melaksanakan seluruh ibadah dengan tekun dan menjauhkan diri dari sikap mempermudah (menggampangkan) ibadah yang sesungguhnya tidak boleh di permudah.
  2. Menjauhi larangan dan melaksanakan perintah Allah sesuai dengan kesanggupannya, baik perintah dan larangan tersebut bersifat jelas maupun tidak (batin).
  3. Meninggalkan segala yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal yang mubah (yang mengandung fadhilah), menunaikan segala yang diwajibkan dan disunnatkan sesuai dengan kesanggupannya dibawah bimbingan seseorang mursyid  dari sufi yang mencita-citakan suatu tujuan.[1]
Thariqat sebagaimana yang berkembang dikalangan ahli tasawuf, ialah jalan atau petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, dan dikerjakan oleh sahabat-sahabatnya, tabi’in-tabi’in turun temurun sampai kepada guru-guru atau ulama-ulama yang sambung menyambung dan rantai berantai sampai pada masa kita ini.[2]
            Sementara menurut L. Massignon, seorang islamiisis yang pernah mengadakan penelitian terhadap ajaran tasauf di beberapa negara Islam, sebagaimana dikutip oleh Mahjuddin,[3] memberikan dua macam pengertian thariqah. Pertama, thariqah diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan tasawuf, untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut al-maqamat[4] dan al-ahwal[5]. Pengertian seperti ini menonjol pada paruh abad IX dan X Masehi. Kedua, thariqah diatrikan ssebagai sebuah perkumpulan yang didirikan menurut aturan-aturan yang ditetapkan oleh syeikh yang menganut suatu aliran thariqah tertentu. Dalam perkumpulan tersebut, seorang syeikh mengajarkan ilmu tasawuf menurut aliran thariqah yang dianutnya, kemudian diamalkan secara bersama-sama dengan murid-muridnya. Pengertian seperti ini menonjol setelah abad IX Masehi.[6]
            Adapun tujuan pengamalan thareqah, antara lain:
  1. Untuk mengadakan latihan jiwa (riyadhah) dan berjuang melawan hawa nafsu (mujahadah), membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji melalui perbaikan budi pekerti.
  2. Untuk menumbuhkan rasa dekat kepada Allah swt melalui wirid dan zikir yang dibarengi dengan tafakkur.
  3. Menumbuhkan perasaan takut kepada Allah sehingga timbul dalam diri seseorang untuk berusaha menghindari diri dari segala macam pengaruh duniawi yang dapat menyebabkan lalai kepada-Nya.
  4. Untuk mencari ridha Allah semata, sehingga ia mencapai suatu tingkatan (maqam) ma’rifat, yang dapat mengetahui segala rahasia Allah dan Rasul-Nya secara jelas.[7]

B. Sejarah Lahirnya Thariqah Hizb Nahdlatul Wathan
            Al-Gozali dan Ibn al-Arabi membagi empat tahap yang harus dimulai oleh seseorang yang menjalani ajaran tasawuf untuk mencapai tujuan yang dikenal sebagai al-saadah (kebahagiaan) atau al-insan al-kamil (manussia paripurna). Keempat tahapan  itu, terdiri dari syari’at, thariqah, haqiqat, dan ma’rifat. Berkaitan dengan ini Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid mengatakan bahwa syari’at itu merupakan uraian, thariqah merupakan pelaksanaan, haqiqat merupakan keadaan dan ma’rifat merupakan tujuan pokok, yakni pengenalan Tuhan yang sebenar-benarnya. Ia juga menganalogikan syari’at itu sebagai sebuah sampan (perahu), thariqah itu adalah lautan, haqiqat itu adalah mutiara. Orang tidak akan mendapatkan mutiara kecuali melewati lautan denggan menggunakan sampan.[8]
            Lebih lanjut dalam ajaran tasawufnya ia tidak memisahkan diametral antara fiqh dan tasawu. Dalam konteks ini ia sering mengungkapkan argumentasi dengan mengutip pandangan Anas Ibn Malik yang mengatakan:
            “Barang siapa yang melaksanakan Fiqh saja tanpa dibarengi dengan pelaksanaan tasawuf, maka ia temasuk golongan orang-orang fasiq, dan barang siapa yang hanya melaksanakan tasawuf saja, tanpa melaksanakan fiqh, maka ia termasuk golongan orang-orang zindik, sementara barang siapa yang mengerjakan keduanya secara sinergis, maka ia termasuk orang-orang yang telaah mencapai drajat haqiqat”.
              Berkaitan dengan ajaran untuk mensinerrgikan antara syariat dengan hhaqiqat di atas, ia menulis dalam bait-bait syairnya sebagai berikut:
Wahai anakku jamaah thariqat
Janganlah lupa pada syariat
Ingatlah selalu kandungan baiat
Mudahan selamat dunia akhirat
Banyak sekali membisikkan hakikat
Padahal mereka buta syariat
Sehingga awam banyak terpikat
Menjadi zindik menjadi sesat[9]
            Selanjutnya beranggkat dari pemikiran ini, ia ingin membentuk sebuah thariqat Nahdlatul Wathan sebagai media untuk mensinergikan aspek syariat dan thariqat serta sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
            Proses kelahiran Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan adalah ketika Tuan Guru Kiyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid menunaikan ibadah haji, saat ia tengah beribadah di Masjid Nabawi di Madinah, ia didatangi seorang yang kemudian diyakini sebagai Nabi Khidir as dan ia menyampaikan salam dari Nabi Ibrahim yang menyatakan, “bahwa Nahdlatul Wathan akan menjadi organisasi yang lengkap dan sempurna, apabila sudah memiliki thariqat.” Berdasarkan pengalaman spiritual ini, maka Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid mendirikan tariqat yang kemudian dinamakan dengan Tariqat Hizib Nahdlatul Wathan pada tahun 1964.[10]
            Penamaan thariqat ini dilatar belakangi oleh keinginan untuk melengkapi Hizib Nahdlatul Wathan, sehingga thariqat ini merupakan intisari sari Hizib Nahdlatul Wathan.[11]
            Disamping dari pengalaman spiritual diatas, kelahiran thariqat ini juga diilhami oleh maraknya aliran-aliran thariqat yang dianggap sesat, karena meninggalkan ajaran-ajaran syariat, seperti shalat, puasa, zakat, dan ibadah-ibadah lainnya.[12]
            Thariqat sesat ini olehnya disebut sebagai “thariqat syetan”, sebagaimana dikemukakan dalam syairnya:
Thariqat hizib harus berjalan
Bersama thariqat yang murni haluan
Membenteng syariat membentang iman
Menendang ajaran thariqat syetan[13]
Selanjutnya keberadaan Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan ini juga sebagai respon terhadap praktek pengalaman thariqat-thariqat selama ini, seperti thariqat Qadariyah dan Naqsyabandiyah di lombok yang terkesan terlalu berat dan memiliki persyaratan yang begitu ketat. Apalagi jika ditambahkan dengan kewajiban ‘uzlah (mengasingkan diri) dari hiruk pikuk kehidupan dunia pada waktu tertentu. Sekalipun ‘uzlah ini juga tidak di larang dalam Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan, sehingga pada umumnya masyarkat merasa enggan untuk mengikutinya. Berdasarkan kondisi ini, maka Tuan Guru Kiyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid menyusun Thrariqat Hizib Nahdlatul Wathan secara ringkas dan praktis, tampa mengesampingkan makna esoteriknya (batinnya). Thariqat ini dapat diamalkan oleh setiap orang dalam kondisi apapun, baik pada waktu khusus, maupun pada waktu melaksanakan berbagai macam aktifitas keseharian.
Bacaan yang diamalkan dalam Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan terdiri dari ayat-ayat al-Qur’an, shalawat, do’a-do’a mu’tabar dari Rasulullah saw, para ulama dan auliya’. Prosesi ini tidak membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan thariqat-thariqat yang lainnya.
Disamping bacaannya yang simpel, thariqat ini juga memiliki syarat san ketentuan yang ringan dan fleksibel bagi seseorang yang ingin mengamalkannya, sehingga thariqat ini dimungkinkan untuk diamalkan dan diataptasi dalam konteks modern, yang biasanya ditandai dengan sifat fleksibel, simpel dan efesieni. Oleh karena thariqat ini dapat merespon tuntunan masyarakat modern, maka thariqat ini juga dinamakan thariqat Akhir Zaman. Berkaitan dengan ini, ia mengisyaratkan dalam bait syairnya:
Thariqat Hizib thariqat terakhir
Dengan bisyarah “Al-Basyirunnadzir”
Kepada Bermi Al-Faqir Al-Haqir
Dan ditaukidkan oleh Al-Khidir[14]
            Di sisi lain terdapat sisi-sisi kesamaan antara Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan dengan konsepsi tasawuf modern yang dipelopori oleh Ibn Taimiyah. Menurut Nurkholis Majid, “Tasawuf modern adalah sebuah penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam maslah-masalah kemasyarakatan”. Sesekali menyingkirkan diri (‘uzlah) mungkin ada baiknya, jika hal itu dilakukan untuk menyegarkan kembali wawasan dan meneruskan pandangan, yang kemudian dijadikan titik tolak dalam pelibatan diri dalam aktifitas yang lebih segar. Kelonggaran-kelonggaran dalam pengalaman Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan dimaksudkan agar orang dapat senantiasa melibatkan diri dalam berbagai tugas kemasyarakatan. Sedangkan tidak adanya ber’uzlah dalam Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan menandakan kebolehan untuk dilakukan sewaktu-waktu bila dianggap perlu. Dan ini berarti Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan, walaupun perlu ditelusuri lebih jauh lagi, tapi bisa dipandang sebagai thariqat modern.
            Praktisnya cara pengamalan Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan, bisa dijadikan alternatif berthariqat dalam kehidupan modern dewasa ini. Dengan Thariqat Hizib Nahdlatul Watan, sekarang dapat melaksanakan tugas-tugas kesehariannya tanpa ketinggalan akan kepuasan rohaniahnya. Dan sebaliknya, seorang dapat hidup damai secara batiniah dalam suasana kedekatan kepada Allah SWT tanpa kehilangan atau terasing dari kehidupan dunia.
            Kenyataan tersebut ternyata lebih menarik minat berbagai kalangan untuk menerima ijazah Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan, mulai dari petani, nelayan, pedagang, hingga kalangan profesional yang telah bersentuhan dengan teknonolgi modern. Ini adalah kesimpulan yang Abdul Aziz, seorang peneliti Litbang Depag RI yang mengatakan, bahwa Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan mampu menghilangkan perbedaan antara orang tradisional dengan orang modern dalam Islam.[15]
            Adapun syarat keanggotaan thariqat ini adalah sebagai berikut:
  1. Ketaatan kepada pimpinan (mursyid) thariqat, yaitu Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, atau yang ditunjuknya.
  2. Mengamalkan Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan setiap selesai shalat lima waktu.
  3. Bersedia membantu perjuangan Nahdlatul Wathan
  4. Membayar uang shalawat.[16]
Sementara ketentuan ijazah dan bai’at dalam penerimaan thariqat ini adalah merupakan “aqad” sebagai syarat sah mengamalkannya. Ijazah dan bai’at diberikan oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid sendiri, atau oleh wakilnya yang ditunjuk secara resmi, yaitu salah seorang muridnya yang bernama Haji Muksin Makbul.
Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan juga tidak mengenal hirarki kepemimpinan yang ketat. Namun demikian, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid memberi izin kepada seorang muridnya yang paling dipercaya untuk mengijazahkan dan membai’at caloon anggota thariqat, yaitu Haji Muksin Makbul.
Selanjutnya dalam perkembangannya dewasa ini, Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan yang berada dibawah pimpinan Haji Muksin Makbul ini terus mengalami perkembangan di berbagai pelosok tanah air dan beberapa tenmpat di luar negri seiring dengan perkembangan Organisasi Nahdlatul Wathan, seperti di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, Sulawesi, Kalimantan, DKI Jakarta, Tanggerang, Bekasi, Bogor, Riau, Batam, Malaysia.

C. Proses Pengamalan Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan
            Dalam proses pengamalan Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan ini dibagi pada empat macam pengamalan. Prosesi ini diawali dengan pembacaan surah al-Fatihah tiga kali, sebagaimana dalam pengamalan Hizib Nahdlatul Wathan, yaitu surah al-Fatihah pertama, kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat dan para Nabi dan Rasul. Kedua, kepada Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, keluarga dan para pendukungnya. Dan ketiga, kepada seluruh para ulama dan para aulia’, kepada kedua orang tua, para guru dan seluruh kaum muslimin dan muslimat.
            Adapun empat macam pengamalan Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan yang dimaksud, adalah sebagai berikut:
  1. Wadzifah al-Rawatib, dibaca setiap selesai shalat lima waktu
  2. Wirdu al-Rabithah, dibaca ketika menjelang waktu maghrib
  3. Wadzifah al-Yaumiyah, dibaca satu kali setiap hari
  4. Wadzifah al-Usbu,iyah, dibaca sekali dalam seminggu.[17]


















DAFTAR PUSTAKA

Atjeh, Aboebakar, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian Tentang Mistik, Solo: Ramadhani, 1990, cet. ke.-6.
Aziz, Abdul, Praktek Pseudo Thariqat, Memeluk Tradisi di Alam Modern: Studi Tentang Kelompok Hizib Nahdlatul Wathan di Lombok dan Mujahadah di Semarang, Penelitian Puslitbang Departemen Agama RI , No 44, XX, Oktober 1996.  
Mahjuddin, Kuliah Akhlaq-Tasauf, Jakarta: Kalam Mulia, 1991.
Majid, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul, HizibNahdlatul al-Wathan, Hizib Nahdlatul al-Banat, Jakartaa; Nahdlatul Wathan Jakarta, 2002.
Majid, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul, Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru.
Noor, Muhammad, dkk, Visi Kebangsaan Religius Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainiddin Abdul Majid 1904-1997,  Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2004.
Umar, Imron Abu, Di Sekitar Masalah Thariqah Naqsyabandiyah, Kudus: Menara Kudus.






[1] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainiddin Abdul Majid 1904-1997,  (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2004), hal. 265.
[2] Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian Tentang Mistik, (Solo: Ramadhani, 1990), cet. ke.-6, hal. 67.
[3] Mahjuddin, Kuliah Akhlaq-Tasauf, (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), hal. 110-111.
[4] Kata maqamat adalah jamak dari maqam, yang berarti tempat atau kedudukan. Dalam Sufi Terminology: The Mystical Language Of Islam, maqam diterjemahkan sebagai kedudukan spiritual, karena sebuah maqam diperoleh melalui daya upaya (mujahadah) dan ketulusan dalam menempuh perjalan spiritual. Namun sesungguhnya perolehan tersebut tidak lepas dari karunia yang diberikan oleh Allah swt. Lihat Amatullah Amstron, Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasauf, terjemah M.S. Nasrullah dan Ahma baiquni, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 175.
[5] Kata Ahwal adalah jamak dari hal yang berarti keadaan atau situasi kejiwaan (state). Sementara secara terminologis, ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati. Hal masuk dalam hati seseorang sebagai anugrah yang diberikan oleh Allah, menurut al-Qusyari, bahwa pada dasarnya maqam adalah upaya (makasib) sedang hal adalah karunia (mawahib), sehingga kadang kala hal datang pada diri seseorang dalam waktu yang cukup lama dan kadang juga datangnya hanya sesaat. Lihat Hasyim Muhammad, Dialog Antar Tasauf Dosen Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 26.
[6] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius..., hal. 266
[7] Imron Abu Umar, Di Sekitar Masalah Thariqah Naqsyabandiyah, (Kudus: Menara Kudus, 1980), hal.12-13.
[8] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius..., hal. 267.
[9] Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, HizibNahdlatul al-Wathan, Hizib Nahdlatul al-Banat, (Jakartaa; Nahdlatul Wathan Jakarta, 2002), hal. 109.
[10] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius..., hal. 268.
[11] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius..., hal. 268.
[12] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius..., hal. 269.
[13] Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru, hal. 111.
[14] Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, Wasiat…, hal. 107.
[15]Abdul Aziz, Praktek Pseudo Thariqat, Memeluk Tradisi di Alam Modern: Studi Tentang Kelompok Hizib Nahdlatul Wathan di Lombok dan Mujahadah di Semarang, (Penelitian Puslitbang Departemen Agama RI ), No 44, XX, Oktober 1996.  
[16] Abdul Aziz, Praktek Pseudo Thariqat
[17] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius..., hal. 272.

1 komentar:

  1. bang dapet referensinya dari mana yah,,,d toko online gk ada,,saya dri banten

    BalasHapus