I. Sumber
dan Metode Ilmu
Kehidupan agama Islam di panggung sejarah
peradaban manusia memiliki arti
tersendiri, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu dalam Islam
berdasarkan paham kesatupaduan yang merupakan inti wahyu Allah Swt. Tujuan dari
semua ilmu dikembangkan berdasarkan Islam ialah untuk menunjukkan kesatupaduan
dan saling berhubungan dari segala yang ada. Turunnya wahyu Allah SWT kepada
Nabi Muhammad saw, membawa semangat baru bagi dunia ilmu pengetahuan,
memecahkan kebekuan zaman. Lahirnya Islam membawa manusia kepada sumber-sumber
pengetahuan lain dengan tujuan baru, yakni lahirnya tradisi intel-induktif.
Al-Qur’an menganggap ”anfas” (ego) dan
”afak” (dunia) sebagai sumber pengetahuan. Allah menumpahkan tanda-tanda-Nya
dalam pengalaman batin dan juga pengalaman lahir. Ilmu dalam Islam memiliki
kapasitas yang sangat luas, pengalaman batin merupakan pengembangan manusia
terhadap seluruh potensi jiwa dan inteleknya. Jiwa kebudayaan Islam yang
diarahkan kepada yang konkrit dan terbatas serta yang telah melahirkan metode
observasi dan eksperimen bukanlah sebuah hasil kompromi dengan pikiran Yunani.
II. Keterbatasan
Ilmu
Manusia diberi anugerah oleh Allah dengan
alat-alat kognitif yang alami terpasang pada dirinya. Dengan alat ini manusia
mengadakan observasi, eksperimentasi, dan rasionalisasi.
Keterbatasan ilmu manusia tidak
menghilangkan makna ayat-ayat Allah di alam semesta yang diciptakan agar
manusia dapat mengenal eksistensinya. Makna ayat-ayat Allah tetap relevan
mengantarkan manusia kepada Tauhid dari dahulu hingga sekarang, dari zaman batu
hingga zaman komputer.
III.
Ilmu-Ilmu Semu
Banyak orang yang mempelajari ilmu
pengetahuan tetapi dirinya bersikap sekuler. Tak terkesan sedikitpun
kecenderungan kepada Islam. Ilmu-ilmu seperti inilah yang disebut sebagai ilmu
yang semu karena tidak membawa manusia kepada tujuan hakiki.
- Sikap apriori dari para pencari ilmu dengan tidak meyakini bahwa ajaran Islam benar-benar dari Allah SWT, dan berguna bagi kehidupan manusia di dunia ini.
- Terbelenggunya akal pikiran karena peniruan yang membabi buta terhadap karya-karya pendahulu (nenek moyang) mereka.
- Mengikuti persangkaan yang tidak memiliki landasan ilmiah yang kokoh, hanya bersifat spekulatif belaka.
IV. Klasifikasi
Ilmu
Beberapa tipe klasifikasi telah dihasilkan
dengan berbagai aspek peninjauan dan penghayatan terhadap ilmu-ilmu yang
berkemban, diantaranya klasifikasi oleh Al-Kindi (801 – 873 M), Al-Farabi (870
– 950 M), Al-Ghazali (1058 – 1111 M), dan Ibn Khaldun (wafat 1406 M).
Pada dasarnya ilmu itu dibagi atas dua
bagian besar, yakni ilmu-ilmu Tanziliyah yaitu ilmu-ilmu yang dikembangkan akal
manusia terkait dengan nilai-nilai yang diturunkan Allah Swt baik dalam
kitab-Nya maupun Hadits-hadits Rasulullah Saw, dan ilmu-ilmu Kauniyah yaitu
ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia karena interaksinya dengan alam.
Bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits, ilmu-ilmu Tanziliyah telah berkembang
sedemikian rupa ke dalam cabang-cabang yang sangat banyak, diantaranya Ulumul
Qur’an, Ulumul Hadits, Ushul Fiqh, Tarikhulanbiya, Sirah Nabawiyah, dan
lain-lain. Masing-masing ilmu tersebut melahirkan ilmu-ilmu, seperti dalam
Ulumul Qur’an ada ilmu Qiroat, ilmu Asbabun Nuzul, ilmu Tajwid, dan
lain-lainnya.
Bersumber pada ayat-ayat Allah Swt, di
alam raya ini akal manusia melahirkan banyak sekali cabang-cabang ilmu.
Ilmu-ilmu yang terkait dengan benda-benda mati melahirkan ilmu kealaman,
terkait dengan pribadi manusia melahirkan ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora),
dan terkait dengan interaksi antar manusia lahir ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu
kealaman melahirkan ilmu astronomi, fisika, kimia, biologi, dan lainnya.
Ilmu-ilmu humaniora melahirkan psikologi, bahasa, dan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar