1. Latar belakang keluarga
TGKH Muhammad Zainuddi Abdul Majid dilahirkan di Kampung Bermi Pancor Lombok
Timur pada tanggal 17 Rabi’ul Awal 1315 H, nama kecil beliau adalah Muhammad
Syaggaf dan berganti nama menjadi Haji Muhammad Zainuddin setelah menunaikan
setelah menunaikan ibadah haji. Yang mengganti nama beliau adalah ayah beliau
sendiri, yaitu Tuan Guru Haji Abdul Majid.
Mana itu diambil dari mana seorang ulama’ besar, guru di Masjidil Haram,
yang akhlak dan kepribadiannya sangat menarik hati sang ayah, yaitu Syeikh
Muhammad Zainuddin Serawak.[1]
Penamaan
Muhammad Saggaf memiliki cerita yang cukup unik. Tiga hari menjelang
kelahirannya, ayahnya didatangi oleh dua orang wali yang berasal dari
Hadlramaut dan Maghrabi. Kedua wali tersebut secara kebetulan mempunyai nama
yang sama, yakni Saqqaf. Keduanya berpesan kepada Tuan Guru Kyai Haji
Abdul Majid, jika mempunyai anak, agar diberi nama Saqqaf, seperti nama
mereka berdua.[2]
Kata Saqqaf balam
bahasa arab berarti mrmbuat atap atau mengatapi. Kata ini kemudian di
Indonesiakan menjaddi Saggaf dan di karenakan berada di daerah Lombok
Nusa Tenggar Barat yang masih kental dengan budaya daerahnya sehingga nama
tersebut di dialekkan kedalam bahasa daerah yang biasa disebut bahasa sasak
menjadi Segep, dan pada masa kecilnya pun beliau kerap dipanggil dengan
panggilan Gep.
Disamping itu, terdapat keunikan lain seputar
kelahirannya, yaitu adanya cerita gembira yang dibawa oleh seorang wali,
bernama Syeikh Ahmad Rifa’i yang juga berasal dari Maghrabi. Ia menemui Tuan
Guru Haji Abdul Majid menjelang kelahiran putranya. Syekh Ahmad Rifa’i berkata
kepada Tuan Guru Haji Abdul Majid “Akan segera lahir dari istrimu seorang anak
laki-laki yang akan menjadi ulama’ besar”.[3]
Dengan adanya
keunikan-keunikan yang terjadi menjelang kelahiran putranya yang kemudian
dimamakan Muhammad Saggaf, Tuan Guru Haji Abdul Majid dan istrinya merasa
senang dan gembira karena kelahiran puteranya disambut dan dinantikan oleh para
ulama dan para wali-wali Allah.
Beliau adalah anak
bungsu yang lahir dari perkawinan antara Tuan Guru Haji Abdul Majid dengan
seorang wanita shalihah yang berasal dari desa Kelayu Lombok Timur, yang
bernama Inaq Syam dan lebih dikenal dengan nama Hajjah Halimatus Sya’diyah.
Beliau memiliki saudara kandung sebanyak lima orang, diantaranya yaitu: Siti
Syarbini, Siti Cilah, Hajjah Saudah, Haji Muhammad Shabur dan Hajjah Masyithah.
Sejak kecil beliau
terkenal sangat jujur dan cerdas. Kerena itu, tidak mengherankan kalau ayah
bundanya memberikan perhatian khusus dan meumpahkan kecintaan serta kasih
sayang demikian besar kepada beliau. Ketiaka beliau melawat ke tanah suci
Makkah Al Mukarramah untuk melanjutkan studi, ayah bundanya ikut mengantar ke tannah
suci. Ayahandanyalah yang mencarikan beliau guru, tempat beliau pertama kali
belajar di Masjidil Haram, bahkan ibundanya, Hajjah Halimatus Sya’diyah ikut
mukim di tanah suci mengasuh dan mendampingi beliau sampai ibundanya yang
tercinta itu berpulang ke rahmatullah tiga setengah tahun kemudian dan
dimakamkan di Mu’alla Makkah.[4]
Nama Muhammad Saggaf
masih disandangnya sampai ia berangkat ke tanah suci Makkah untuk melaksanakan
ibadah haji bersama ayahnya. Setelah menunaikan ibadah haji, nama Muhammad
Saggaf diganti menjadi Haji Muhammad Zainuddin oleh ayahnya sendiri
sebagaimana yang tertera pada paragfaf
di atas dan sejak saat itu nama beliau berubah menjadi Haji Muhammad Zainuddin.
Tentang silsilah
keturunan beliau yang lengkap tidak dapat dikemukakan secara utuh dikarenakan
dokumen dan catatan silsilah keturunan beliau ikut terbakar ketika rumah orang
tua beliau mengalami kebakaran. Namun
yang jelas beliau terlahir dari keturunan keluarga yang terpandang dan garis
keturunan terpandang pula yaitu keturunan Selaparang. Selaparang adalah nama
Kerajaan Islam yang pernah berkuasa di Pulau Lombok.
TGKH Muhammad Zainuddin
Abdul Majid selama hayatnya telah menikah sebanyak tujuh kali. Dari ketujuh
perembuan yang pernah dinikahinya itu, ada yang mendapinginya sampai wafat, ada
yang wafat terlebih dahulu semasih ia hidup dan ada yang diceraikannya setelah
beberapa bulan menikah. Disamping itu, ketujuh perempuan yang telah dinikahinya
itu, berasal dari berbagai pelosok daerah di Lombok, dan dari berbagai latar
belakang. Ada yang berasal dari keluarga biasa, ada pula yang berlatar belakang
bangsawan, seperti istrinya yang bernama Hajjah Baiq[5]
Siti Zahriyah Makhtar, berasal dari desa Tanjung, Kecamatan Selong.
Adapun nama-nama
perempuan yang pernah dinikahi oleh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid,
adalah: Satu, Chasanah; Dua, Hajjah Siti Fatmah; Tiga,
Hajjah Raihan; Empat, Hajjah Siti Jauhariyah; Lima, Hajjah Siti
Rahmatullah; Enam, Hajjah Baiq Siti Zuhriyah Mukhtar; Tujuh,
Hajjah Adniyah.[6]
TGKH Muhammad Zainuddin
Abdul Majid Sulit sekali memperoleh keturunan, sehingga beliau pernah dianggap
mandul padahal beliau sendiri sangat mengiginkan keturunan yang akan
melanjutkan perjuangan beliau untuk mengembangkan dan menegakkan ajaran-ajaran
Islam. Dan pada akhirnya beliau dianugrahkan dua orang anak dari istri yang
berbeda yaitu:
a.
Hajjah
Siti Rauhun daru Ummi Jauhariyah
b.
Hajjah
Siti Raihanun dari Ummi Rahmatullah
Karena dengan hanya
memiliki dua orang anak tersebut beliau kerap dipanggil dengan sebutan Abu
Rauhun wa Raihanun.
2. Pendidikan
Perjalanan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid dalam menuntut ilmu
pengetahuan diawali dengan pendidikan yang di lakukan di dalam lingkungan
keluarga, yakni dengan belajar mengaj yaitu membaca Al-Qur’an dan berbagai ilmu
agama lainnya, yang diajarkan langsung oleh ayahnya, Tuan Guru Haji Abdul
Majid. Pendidikan yang diberikan oleh ayahnya tersebut dimulai semenjak beliau
berusia 5 tahun dan kemudian memasuki pendidikan formal semenjak berusia 9
tahun. Sekolah formal yang beliau mesuki adalah sekolah umu yang pada saat itu
disebut dengan Sekolah Rakyat Negara (Sekolah Gubernemen) di Selong Lombok
Timur. Di sekolah tersebut beliau belajar selama 4 tahun hingga tahun 1919 M.
Setelah menamatkan
pendidikan formalnya pada Sekolah Rakyat Negara pada tahun 1919 M, ia kemudian
diserahkan oleh ayahnya untuk belajar ilmu pengetahuan agama yang lelbih luas
lagi pada beberapa kyai local saat itu, antara lain Tuan Guru Haji Syarafuddin
dan Tuan Guru Haji Muhammad Sa’id dari Pancor serta Tuan Guru Haji Abdullah bin
Amaq Dulaji dari Kelayu Lombok Timur. Dari beberapa kyai local ini, Tuan Guru
Haji Muhammad Zainuddin selain mempelajari ilmu-ilmu agama dengan menggunakan
kitab-kitab Arab Melayu, juga secara khusus mempelajari ilmu-ilmu gramatika
bahasa Arab, seperti ilmu Nahwu dan Syarf.[7]
Pola pengajaran yang
dilakukan oleh kyai-kyai lokal ini masih bersifat klasik. Yaitu masih
menggunakan system halaqoh, yang dalam pembelajarannya murid-murid duduk
bersila dan sang guru memberi pengajaran dengan membacakan kitab yang
dipelajari kemudian para murid masing-masing mebacanya saling bergantian satu
persatu..
Pada saat ini system
pengajaran seperti ini sering digunakan pada pondok pesantren yang berbasis
salafi. Berhubung pada saat itu sangat janrang ditemukan system pengajaran yang
bersifat klasikal atau menggunakan kelas-kelas sehingga para murid duduk di
atas bangku dan sang guru mengajarkan menggunakan papan tulis sebagai media
pengajaran. Apalagi pada saat itu berbeda dengan zaman yang dialami saat ini,
yaitu pada saat itu apabila seorang murid ingin mempelajari suatu ilmu apalagi
ilmu agama mesti ke rumah sang guru untuk meminta kepada guru tersebut untuk
mengajarinya tentang ilmu pengetahuan yang ia miliki. Namun pada saat ini
sangatlah berbeda apabila seorang murid ingin menuntut ilmu, meka hanya tinggal
meminta pada orang tuannya untuk memasukkannya pada pondok pesantren dan
kemudian mendalami tentang ilmu agama dan berbagai macamnya didalamnya.
Selanjutnya Muhammad
Noor dan kawan-kawan dalam buku Visi Kebangsaan Relijius lebih jauh
mengungkapkan bahwa Bagi Tuan Guru Haji Syarafuddin, Muhammad Saggaf merupakan
murid yang istimewa. Keistimewaan tersebut mendorong gurunya untuk
membebaskannya dari membanntu gurunya bekerja di sawah. Pada saat itu
murid-murid yang mengaji di rumah seorang tuan guru tidak dipungut bayaran.
Sebagai gantinya, mereka dihariskan berkerja disawah tuan guru tersebut.
Berbeda dengan Muhammad Saggaf, karena keinginan kuat ayahnya agar ia menjadi
murid yang pandai, ayahnya sanggup dengan membayar dengan 200 ikat padi setahun
(sekitar 2 ton padi/gabah), sebagai ganti kewajiban bekerja disawah. Maksud
ayahnya dengan kesediaan ini adalah agar anaknya tidak terganggu aktivitas
belajarnya, sehingga ia berkonsentrasi pada pelajarannya.
Menjelang musim haji
pada saat itu sekitar tahun 1923 M, Muhammad Saggaf yang pada saat itu tengah
berusia 15 tahun, berangkat ke Tanah Suci Makkah untuk melanjutkan studinya,
memperdalam berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan islam dengan di antar
langsung oleh kedua orang tuanya bersama tiga orang adiknya, yaitu: H. Muhammad
Fishal, H. Ahmad Rifa’I, dan seorang kemenakannya. Bahkan pada saat itu salah seorang
gurunya ikut serta dalam rombangan itu, yaitu Tuan Guru Haji Syarafuddin dan
beberapa anggota keluarga dekat lainnya. Beliau belajar di Tanah Suci Makkah
selama 12 tahu.
Di kota suci Makkah
Al-Mukarramah beliau mula-mula belajar di masjidil Haram, ayahnya pun sangat
selektif dalam mencarikan dan menentukan seorang guru yang akan mengajar dan
mendidik putra kesayangannya itu. Ayahandanya meyakini bahwa seorang guru
adalah sumber ilmu dan kebenaran serta menjadi contoh dan panutan bagi muridnya
dalam segala aspek kehidupan baik dalam pola berfikir dan berperilaku, sehingga
ilmu dan didikan yang diperoleh sang murid berguna dan bermanfaat bagi
kehidupan baik di dunia dan di akhirat.
Berhari-hari bahkan
berbulan-bulan ayahnya sibuk mencarikannya seorang guru yang tepat dan cocok
untuk mengajari dan mendidik anaknya. Kemudian bertemulah ayahnya dengan
seorang syeikh yang belakangan dikenal dengan Syeikh Marzuki. Dari cara dan
metode yang digunakan dalam mengajat Tuan Guru Haji Abdul Majid merasa cocok
jika syeikh tersebut menjadi guru bagi anaknya.
Syaikh Marzuki adalah
seorang keturunan Arab kelahiran palembang. Ia sudah lama tinggal di Makkah dan
mengajar mengaji di Masjidil Haram. Ia fasih berbahasa Indonesia dan Arab.
Kebanyakan muridnya berasal dari Indonesia. Ada yang berasal dari Palembang,
Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur maupun Lombok. Salah seorang murid
Syeik Marzuki yang berasal dari Lombok bernama H. Abdul Kadir dari desa Mamben
Lombok Timur. H. Abdul Kadir sudah setahun lebih belajar di Makkah pada waktu
itu.[8]
Namun pada akhirnya TGKH
Muhammad Zainuddin Abdul Majid, merasakan ke tidak cocokan terhadap Syeikh
Marzuki karena merasa tidak banyak mengalami perkembangan yang berarti dalam
menuntut ilmu. Karena pada saat itu sang guru mengajarkan kitab gundul yang
tidak memiliki baris sedangkan beliau masih murid baru dan dapat dikatakan
masih awam dalam mempelajari kitab-kitab gundul yang tidak memiliki baris
tersebut, sehigga beliau berfikiran ingin memulai pelajarannya dari awal agar
mampu membaca dan memahami makna yang terkandung dalam kitab gundul tersebut.
Setelah ayahnya pulang ke Lombok beliau langsung berhenti balajar mengaji pada Syeikh Marzuki.
Dua tahun setelah
terjadinya huru hara di Makkah karena perang ssaudara antara faksi Wahabi
dengan kekuasaan Syarif Hussein, stabilitas keamanan relative terkendali. Pada
saat itu Muhammad Zainuddin berkenalan dengan seorang yang bernama Haji Mawardi
yang berasal dari Jakarta. Dari perkenalan itu beliau diajak untuk ikut belajar
di sebuah madrasah legendaries di Tanah Suci, yakni Madrasah al-Shaulatiyah
yang pada saat itu di pimpin oleh Syeikh Salim Rahmatullah putra Syeikh
Rahmatullah, pendiri Madrasah al-Shaulatiyah. Madrasah ini adalah madrasah
pertama sebagai permulaan sejarah baru dalam dunia pendidikan di Saudy Arabia.
Gaungnya telah menggema ke seluruh dunia dan telah banyak mencetak
ulama’-ulama’ besar dunia. Di Madrasah al-Shaulatiyah inilah beliau belajar berbagai
disiplin ilmu pengetahuan Islam dengan sangat rajin dan tekun di bawah
bimbingan ulama’-ulama’ terkemuka kota Suci Makkah waktu itu.
Pada hari pertama beliau
masuk di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah beliau bertemu dengan Syeikh Hasan
Muhammad al-Masyath yang nantinya akan menjadi gurunya yang hubungannya paling
dekat. Di sana juga ia bertemu Syeikh Sayyid Muhsin al-Musawa, diantara
temannya sewaktu belajar syair pada Syeikh Sayyid Amin al-Kutbi, yang ternyata
juga sebagai salah seorang guru di madrasah ini.
Sudah menjadi tradisi di
Madrasah al-Shaulatiyah Makkah bahwa setiap murid baru yang masuk harus
mengikuti tes untuk menentukan kelas yang tepat dan cocok untuk murid baru
tersebut. Demikian juga halnya dengan Muhammad Zainuddin, beliau juga diuji
terlehih dahulu. Dan secara kebetulan beliau diuji langsung oleh murid
al-Shaulatiyah sendiri yaitu Syeikh Salim Rahmatullah bersama dengan Syeikh
Hasan Muhammad al-Masyath.
Dan pada akhirnya Syeikh
Hasan Muhammad al-Masyath menentukan masuk di kelas III. Padahal beliau belum
terlalu menguasai ilmu nahwu-syaraf yang diajarkan di kelas II. Mendengar
keputusan tersebut, kemudian beliau meminta untuk diperkenankan masuk di kelas
II, dengan alasan iingin mendalami mata pelajjaran nahwu-sharaf. Walaupun pada
awalnya Syeikh Hasan Muhammad al-Masyath bersikeras dengan keputusannya, namun
argumentasi yang dikemukakan oleh Muhammad Zainuddin membuatnya berfikir
kembali. Kemudian Syeh Hasan pun mengabulkan permohonannya, dan resmilah beliau
diterima di kelas II.
Di Madrasah
al-Shaulatiyah Makkah Muhammad Zainuddin mulai tekun belajar. Ia ingin
membuktikan kemampuannya menguasai ilmu dengan baik. Di malam dan sore hari
beliau belajar kepada beberapa guru yang lain. Dirumah juga beliau manghabiskan
waktunya untuk belajar. Salah satu bentuk ketekunannya dalam belajar adalah
besarnya porsi waktu yang disediakan untuk membaca kitab-kitab mulai dari
setelah shalat tahajjud sampai waktu shalat subuh tiba. Pernah suatu ketika
beliau tertidur pada saat membaca kitab. Padahal di hadapannya terdapat sebuah
lampu minyak sebagai alat penerang beliau dalam membaca. Tanpa beliau sadari
surban beliau terlalap api dari lampu minyat tersebut dan terbakar. Mencium bau
benda terbakar ibunya pun terbangun. Sementra beliau masih tertidur dengan
lelapnaya, kemudian ibunya pun berteriak membangunkannya. Beliaupun terkejut
dan terbangun.
Kebiasaan beliau membaca
dan belajar dalam kaktu yang cukup lama menyebabkan mata beliau mengalami
gangguan. Meskipun demikian beliau masih tetap mampu mempertahankan kebiasaan
membaca dan belajarnya tersebut sampai waktu yang cukup lama.
Ketekunannya dalam
belajar membuahkan hasil. Beberapa orang gurunya mengakui bahwa beliau
tergolong murid yang cerdas. Syeikh Salim Rahmatullah sebagai kepala Madrasah
al-Shaulatiyah selalu mempercayakan beliau untuk menghadapi Penilik Madrasah
pemerintah Saudi yang sering kali datang ke madrasah itu. Penilik madrasah itu
meenganut faham Wahabi. Dan beliaulah satu-satunya murid Madrasah
al-Shaulatiyah yang dianggap menguasai faham Wahabi. Pertanyaan penilik itu
biasanya menyangkut soal-soal hokum ziarah kubur, tawasul kepada anbiya’ dan
auliya’, bernazar menyembelih kambing berbulu hitam atau putih dan sebagainya.
Dan beliau selalu berhasil menjawab pertanyaan penilik itu dengan memuaskan.
Prestasi akademiknya
sangat membanggakan. Ia berhasil meraih peringkat pertama dan juara umum. Di
samping itu, dengan kecerdasan yang luar biasa, ia berhasil menyelesaikan
studinya dalam kurun waktu 6 tahun. Padahal waktu belajar normal adalah 9
tahun, yaitu mulai dari kelas I sampai dengan kelas IX. Dari kelas II, ia
langsung ke kelas IV. Tahun berikutnya ke kelas VI, dan kemudian pada
tahun-tahun berikutnya secara berturut-turut naik ke kelas VII,VIII dan IX.[9]
3. Gaya kepemimpinan
Selain sebagai pejuang kemerdekaan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul
Majid dikenal sebagai ulama kharismatik yang mencurahkan pemikiran dan
perjuangannya untuk kepentingan umat. Rasa hormatnya kepada guru dan kepada
orang yang telah berjasa pada dirinya selalu diwujudkan dengan mengabdikan
nama-nama gurunya pada lembaga-lembaga yang dibangunnya.[10]
Dalam penampilannya
sehari-hari TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid
Tidak merasakan bahwa dirinya sebagai ulama besar. Apalagi jika
dibesar-besarkan oleh murid dan masyarakat, dengan tegas melarangnya. Alasannya
apabila ada ulama besar berarti ada pula ulama kecil. Hal ini dapat menimbulkan
kesenjangan antara orang yang dianggap besar dengan orang yang dianggap kecil.
Kesenjangan tersebut dapat menghambat komunikasi antara atasan dengan bawahan
dan antara kyai dengan santri. Karena itu, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid
tidak pernah mempersulit semua santri dan masyarakat yang hendak bertemu. Sikap
low profile tersebut membuat sikap sang kyai ini selalu dekat dengan
semua santri, murid dan warga tanpa mengurangi kewibawaan dan kharismanya.
Keluhan dan kesulitan santri dan muridnya selalu diperhatikan, didengar, dan
dicarikan solusinya.[11]
Sebagai pendidik TGKH
Muhammad Zainuddin Abdul Majid mendambakan
munculnya generasi baru yang memiliki potensi yang besar untuk menyambung estapet
perjuangan beliau dalam mengembangkan organisasi Nahdlatul Wathan. Harapan
tersebut sangat besar dan sering sekali disampaikan dalam berbagai kesempatan
agar murid dan para santrinya memiliki ilmu pengetahuan lebih tinggi dari
dirinya, sepuluh, seratus, bahkan seribu kali lipat dari ilmu yang beliau
miliki.
TGKH Muhammad Zainuddin
Abdul Majid merasa saying kepada semua santri, murid, dan para Pembina
pesantren yang mempunyai keikhlasan dalam melanjutkan perjuangan Nahdlatul
Wathan. Beliau sering mengatakan bahwa sesungguhnya yang paling mulia diantara
kamu disisiku ialah yang paling banyak bermanfaat untuk perjuangan nahdlatul
Wathan. Sedang yang paling jahat diantara kamu disisiku ialah yang paling
banyak merugikan perjuangan Nahdlatul Wathan. Beliau sering mengatakan:
ِبسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ- اَلسَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُهُ وَمَغْفِرَتُهُ وَرِضَاهُ- اَوْلاَدِى
الاَوْفِيَاءَ وَتَلاَمِذتِى اْلعُقَلاَءَ- اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدِى اَنْفَعُكُُمْ
لِنَهْضَةِ اْلوَطَنِ وَاِنَّ شَرَّكُمْ عِنْدِى اَضَرُّكُمْ بِنَهْضَةِ اْلوَطَنِ-
فَصَابِرُوْا وَرَابِطُوْا وَجَاهِدُوْا ثُمَّ جَاهِدُوْا فِى سَبِيْلِ نَهْضَةِ اْلوَطَنِ
لاِعِلاَءِ كَلِمَةِ الدِّيْنِ وَالْوَطَنِ تَكُوْنُوْا بِحَوْلِ اللهِ تَعَالَى مِنَ
الْمُجَاهِدِيْنَ لِدِيْنِهِ وَالْبَارِّيْنَ الْمُخْلَصِيْنَ فِى السَّرِّوَالْعَلَنِ-
فَتَحَ اللهُ عَلَيْنَا وَعَلَيْكُمْ وَرَزُقَنَا وَاِيَّاكُمْ وَالْمُحِبِّيْنَ
الْحُسْنَى وَِزيَادَةُ-
Dengan menyebut nama
Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Semoga Allah tetap mencurahkan
keselamatan kepadamu, rahmt, keberkatan, ampunan, dan ridha-Nya. Wahai
anak-anakku yang setia dan murid-muridku yang cerdik, sesungguhnya
semulia-mulia kamu di sisiku ialah yang paling banyak bermanfaat untuk
perjuangan Nahdlatul Wathan dan sejahat-jahat kamu di sisiku ialah yang paling
banyak merugikan perjuangan Nahdlatul Wathan. Karena itu, kuatkanlah
kesabaranmu, tetaplah bersikap siaga, berjuanglah di jalan Nahdlatul Wathan
untuk mempertinggi citra agama dan Negara, siscaya kamu dengan kekuasaan Allah
SWT, tergolong pejuang agama, orang shaleh dan mukhlish baik pada waktu
sendirian maupun pada waktu bersama orang lain. Semoga Allah membukakan pintu
rahmat untuk kami dan kamu sekalian dan semoga Ia menganugrahkan kami, kamu
sekalian, dan para simpatisan Nahdlatul Wathan kebahikan-kebajikan dan nikmat
tambahan yang tiada taranya.[12]
Adapun dalam setiap
gerak dan langkah beliau selalu mencerminkan keteladanan yang baik dan member
keyakinan terhadap kesucian perjuangan beliau melalui Nahdlatul Wathan sebagai
contoh nyata yang patut diteladani oleh para murid-muridnya. Sering kali beliau
memberikan apresiasinya terhadap para santri dan para muridnya yang menunjukkan
perkembangan positif dalam perjuangan Nahdlatul Wathan, baik melalui sikap,
maupun ucapan beliau. Beliau selalu mendo’akan untuk para murid dan santrinya
agar menjadi orang yang taat pada Allah dan Rasul-Nya, berbuat baik pada kedua
orang tua serta hormat terhadap guru. Beliau selalu menekankan agar setiap anak
senantiasa selalu berbakti terhadap kedua orang tuanya.
Sebagai pemimpin umat,
beliau bersikap tegas, sportif dan konsekwen terhadap apa yang diputuskan. Prinsip
musyawarah dalam pengambilan keputusan tetap dijunjung tinggi. Tetapi terhadap
hal-hal yang prinsipil, perlu dilakukan kajian mendalam dengan mencari
dalil-dalil naqli dan ‘aqli setelah mempertimbangkan untung dan ruginya serta
aspek maslahat dan mafsadatnya, barulah diambil keputusan yang
meyakinkan.[13]
Dalam melaksanakan misi
dan tugas organisasi, selain memberikan bimbingan,
TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid juga menganjurkan agar
murid-murid dan santri-santrinya
bersifat ikhlas, istiqomah, anamah, syaja’ah (keberanian) dan
rela berkorban untuk kepentingan umat. Sebaliknya, Beliau membenci santri dan
muridnya yang bersifat pesimis, apatis, pengecut, cari muka, dan ingkar janji.[14]
4. Guru-guru
a. Guru yang Mengajarkan Al-Qur’an
dan Kitab Melayu di Lombok
1)
T.G.H.
Abdul Majid;
2)
T.G.H.
Syarafuddin Pancor Lombok Timur;
3)
T.G.H.
Abdullah bin Amak Dujali Kelayu Lombok Timur;
b. Guru di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah
1)
Maulana
Wa Murabbina Abu Barakat al-‘Allamah al-Ushuli al-Mudadditsbal-Shufi al-Syeikh
Hasan Muhammad al-Mahsyat al-Maliki;
2)
Al-‘Allamah
al-Syaikh Umar Bajunaid al- Syafi’I;
3)
Al-‘Allamah
al-Syaikh Muhammad Syaid al-Yamani al-Syafi’I;
4)
Al-‘Allamah
al-Kabir Mutaffanin Sibawaihi Zanamihi al-Syaikh Ali al-Maliki;
5)
Al-‘Allamah
al-Syeikh Marzuqi al-Palimbani;
6)
Al-‘Allamah
al-Syaikh Abu Bakar al-Falimbani;
7)
Al-‘Allamah
al-Syeikh Hasan Jambi al-Syafi’i;
8)
Al-‘Allamah
al-Syeikh Abdul Qadir al-Mandili al-Syafi’i;
9)
Al-‘Allamah
al-Syeikh Muhtar Betawi al-Syafi’i;
10)
Al-‘Allamah
al-Syeikh Abdullah al-Bukhari al-Syafi’i;
11)
Al-‘Allamah
al-Muhadditsin al-Kabir al-Syeikh Umar Hamdan al-Mihrasi al-Maliki;
12) Al-‘Allamah
al-Muhadditsin al-Syaikh Abdus Sattar al-Syiddiqi Abdul Wahab al-Kutbi
al-Maliki;
13)
Al-‘Allamah
al-Kabir al-Syeikh Abdul Qodir al-Syibli al-Hanafi;
14)
Al-‘Allamah
al-Adib al-Syeikh Muhammad Amin al-Kutbi al-Hanafi;
15)
Al-‘Allamah
al-Syaikh Muhsin al-Musahwa al-Syafi’i;
16)
Al-‘Allamah
al-Falaqi Maulana al-Syaikh Khalifah al-Maliki;
17)
Al-‘Allamah
al-Jalil al-Syaikh Jamal al-Maliki;
18)
Al-‘Allamah
al-Syeikh al-Shalih Muhammad Shalih al-Kalantani al-Syafi’i;
19)
Al-‘Allim
al-‘Allamah al-Syafi’i Maulana Syaikh Mukhtar al-Makhdum Al Hanafi;
20)
Al-‘Allamah
al-Syeikh Salim Cianjur al-Syafi’i;
21)
Al-‘Allamah
al-Syeikh Syaikh al-Syayid Ahmad Dahlan Shadaqi al-Syafi’i;
22)
Al-‘Allamah
Mu’arrikh al-Syeikh Salim Rahmatullah al-Maliki;
23)
Al-‘Allamah
al-Syeikh Abdul Gani al-Maliki;
24)
Al-‘Allamah
al-Syeikh al-Syayid Muhammad Arabi al-Tubani al-Jazairi al-Maliki;
25)
Al-‘Allamah
al-Syeikh Umar al-Faruq al-Maliki;
26)
Al-‘Allamah
al-Syeikh al-Wa’id al-Syaikh Abdullah al-Faris;
27)
Al-‘Allamah
al-Syeikh Malla Musa;[15]
Jika di klasifikasikan
guru-gurunya berdasarkan latar belakang mazhab yang berbeda, maka akan terlihat
katagorisasi mazhab sebagai berikut:
a.
11
orang bermazhab Syafi’;
b.
6
orang bermazhab Hanafi; dan
c.
11
orang bermazhab Maliki.[16]
Merdasarkan kategorisasi
mazhab diatas terlihat jelas bahwa semua guru-guru beliau masih berada dalam
satu landasan teologis yang sama, yakni faham Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah.[17]
Dengan kata lain, bahwa tidak ada seorang pun gurunya yang menganut faham
teologis yang berbeda, seperti Mu’tazillah, Syi’ah ataupun Wahabi.
5. Pemikiran dan karya-karyanya
Konsep pendidikan yang
diajarkan adalah bahwa pendidikan tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan
(kognitif), tetapi juga pemupukan moral, melatih dan mempertinggi nilai-nilai
kemanusiaan. Karena pendidikan adalah kewajiban manusia untuk mengabdi kepada
Allah SWT. Dalam hal ini, usaha yang ia pikirkan dan praktikkan adalah
pengembangan pendidikan Islam melalui pesantren. Yakni, berusaha mengembangkan
pesantren dengan menerima beberapa pemikiran alternatif yang dapat dijadikan
sebagai masukan/kontribusi bagi pengembangan pesantren sejalan dengan perubahan
zaman. Karena itu, menurut TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, pesantren mesti
merubah orientasinya dengan tidak sekadar berorientasi pada pencarian ilmu
agama, tetapi juga ilmu-ilmu yang lain.
Tuan Guru Kyai Haji
Muhammad Zainuddin Abdul Majid, selain tergolong ulama yang berbobot dalam
bidang keilmuan, beliau juga termasuk penulis dan pengarang yang produktif.
Bakat dan kemampuannya tersebut tumbuh dan berkembang semenjak beliau belajar
di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah. Akan tetapi karena kepadatan dan banyaknya
acara kegiatan keagamaan dalam masyarakat yang harus di isai oleh beliau,
sehingga peluang dan kesempatan beliau untuk mengarang dan memperbanyak
tulisannya hampir tidak pernah ada.
Itulah sebabnya pada
beberapa kesempatan beliau mengungkapkan keadaan seperti ini kepada muridnya,
bila mana beliau teringat pada kawan seperjuangan di Madrasah al-Shaulatiyah
Makkah yang juga telah tergolong ulama’ besar dan pengarang terkenal seperti
Maulana Syeikh Zakaria Abdullah Bila, Maulana Syeikh Yasin Padang dan
lain-lain. Mereka sekarang ini memiliki karya-karya besar dalam bidang tulis
menulis dan karang-mengkarang.
Dalam hal ini TGKH
Muhammad Zainuddin Abdul Majid tidak pernah berkecil hati, walaupun kawan
seperguruannya menonjol dalam bidang tersebut. Beliau menyadari akan hal ini,
karena situasi dan kondisi kehidupan ummat dan masyarakat yang dihadapi sangat
jauh berbeda, yaitu masyarakat Makkah di satu pihak dan masyarakat Indonesia di
lain pihak. Beliau pernah mengatakan:
“Seandainya aku mempunyai waktu dan kesempatan yang cukup untuk
menulis dan mengarang, niscaya aku akan mampu menghasilkan karangan dan
tulisan-tulisan yang lebih banyak, seperti yang dimiliki Syeikh Zakaria
Abdullah Bila, Syeikh Yasin Padang, Syeikh Ismail dan ulama’-ulama lain tamatan
Madrasah al-Shaulatiyah Makkah”.[18]
Dikarenakan sebagian
besar dan seluruh waktu dan kehidupan beliau di manfaatkan dan dipergunakan
untuk mengajar dan terus mengajar dan berdakwah keliling untuk membina umat
dalam upaya menanamkan Iman dan Taqwa, sehingga dengan kegiatannya yang padat
dan terus berkesinambungan sehingga membuat beliau tidak memiliki cukup banyak
waktu untuk menulis dan mengarang. Dan bahkan beliau tidak pernah putus
semangat untuk menghabiskan waktunya berjuang demi kepentingan umat,
sebagaimana ucapan dan ikrar beliau sendiri “Aku wakafkan diriku untuk
ummat”.
Sekalipun dalam keadaan
yang sangat sibuk seperti itu, beliau masih menyempatkan dirinya untuk
mengembangkan bakat dan kemampuannya tersebut. Bagi beliau mengarang dan tulis
menulis bukanlah suatu tugas dan pekerjaan yang sulit, karena hal ini merupakan
kemampuan dasar yang di anugrahkan Allah SWT kepada beliau, bakat dan
kemampuannya inilah yang terus dibawa sehingga tumbuh dan berkembang semenjak
beliau bersekolah di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah, sehingga tidak
mengherankan apabila beliau mendapatkan
banyak pujian dari guru-guru beliau.
Diantara karya tulis dan
karangan-karangan beliau adalah:[19]
a. Dalam Bahasa Arab
1)
Risalah
Tauhid dalam bentuk soal jawab (Ilmu Tauhid)
2)
Sullamul
Hija Syarah Safinatun Naja (Ilmu Fiqh)
3)
Nahdlatul
Zainiyah dalam bentuk nadzam (Ilmu Faraidl)
4)
At
Tuhfatul Ampenaniyah Syarah Nahdlatuz Zainiyah (Ilmu Faraidl)
5)
Al
Fawakihul Ampenaniyah dalam bentuk soal jawab (Ilmu Faraidl)
6)
Mi’rajush
Shiibyan Ila Sama’i Ilmi Bayan (Ilmu Balaghah)
7)
An
Nafahat ‘Alat Taqriratis Saniyah (Ilmu Mushtalah Hadits)
8)
Nailul
Anfal (Ilmu Tajwid)
9)
Nizib
Nahdlatul Wathan (Da’a dan Wirid)
10)
Hizib
Nahdlatul Banat (Do’a dan Wirid kaum wanita)
11)
Shalawat
Nahdlatain (Shalawat Iftitah dan Khatimah)
12)
Thariqat
Hizib Nahdlatul Wathan (Wirid Harian)
13)
Ikhtisar
Hizib Nahdlatul Wathan (Wirid Harian)
14)
Shalawat
Nahdlatul Wathan (Shalawat Iftita)
15)
Shalawat
Miftahi Babi Rahmatillah (Wirid dan Do’a)
16)
Shalawat
Mab’utsi Rahmatan Lil ‘Alamin (Wirid dan Do’a)
17)
Dan
lain-lainnya.
b. Dalam Bahasa Indonesia dan Sasak
1).
Batu
Nompal (Ilmu Tajwid)
2).
Anak
Nunggal Taqrirat Batu Ngompal (Ilmu Tajwid)
3).
Wasiat
Renungan Masa I dan II (Nasihat dan petunjuk perjuangan untuk warga Nahdlatul
wathan)
c. Nasyid/Lahu Perjuangan dan Dakwah dalam Bahasa Arab, Indonesia
dan Sasak
1).
Ta’sis
NWDI (Anti ya Pancor biladi)
2).
Imamunasy
Syafi’i
3).
Ya
Fata Sasak
4).
Ahlan
bi wafdizzairin
5).
Tanawwarr
6).
Mars
Nahdlatul Wathani
7).
Bersatulah
Haluan
8).
Nahdlatain
9).
Pau
gama’
10).
Dan
lain-lain.
Dengan banyaknya karya
yang telah beliau terbitkan mencerminkan ketinggian ilmu yang dimilikinya,
sehingga oleh guru-gurunya TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid mendapat pujian
dan kepercayaan yang besar. Di antaranya, ia pernah diberi kesempatan untuk
memberikan kata pengantar dari gurunya Maulana Syaikh Hasan Muhammad
al-Mahsyat. Dalam kata pengantar yang beliau tulis untuk kitab Baqi’ah
al-Mustarsyidin karya Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-Mahsyat sambil mengutip
hadist Nabi Saw mengatakan: “Janganlah kamu mempelajari ilmu syariat dari
seseorang kecuali dari orang yang baik riwayat hidupnya dan hatinya dan kamu
sekalian telah menyelidiki atas keamanahannya”. Dari Maulana Syaikh Hasan
Muhammad al-Mahsyat inilah, beliau pernah mendapatkan risalah/ijazah dengan
seluruh isi kitabnya, “al-Irsyad bi al-Dzikr ba’da Ma’alim al-Ijazah wa
al-Asnaf”. Dari sinilah, beliau menukil sebagian ucapan gurunya tentang
kehidupan pribadinya yang mantap, tetapi tetap menganggap dirinya adalah orang
yang hina dan fakir dalam pengetahuan agama.
Syaikh Muhammad al-Mahsyat
pernah memberikan sanjungan kepada TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid. Berikut
kutipannya: “Demi Allah saya kagum kepada Zainuddin, kagum pada kelebihannya
atas orang lain pada kebesaran yang tinggi dan kecerdsannya yang tiada
tertandingi, jasanya bersih ibarat permata menunjukkan kebersihan ayah bundanya
dan karya-karya tulisnya indah lagi menawan penaka bunga-bungaan yang tumbuh di
lereng pegunungan. Di lapangan ilmu ia dirikan ma’had, tetap dibanjiri thullab
dab thalibat menuntut ilmu dan menggali kitab. Ia kobarkan semangat generasi
muda menggapai mustawa dengan karyanya Mi’raj al-Sibyan ila Sama’i ‘Ilm
al-Bayan. Semoga Alah memanjangkan usianya dan dengan perantarannya ia
memajukan ilmu pengetahuan agama di Ampanan bumi Selaparang. Terkirimlah salam
penghormatan harum semerbak bagaikan kasturi dari tanah Suci menuju “Rinjani”
(Syaikh Muhammad Zainuddin Aabdul Majid dalam Mi’raj al-Sibyan ila Sama’i ‘Ilm
al-Bayan).
Dengan demikian, TGKH
Muhammad Zainuddin Adbul Majid selain dikenal sebagai ulama yang memiliki
kepedulaian yang tinggi terhadap dunia pendidikan Islam, ia juga mampu
menuliskan pikiran-pikirannya untuk memberikan warisan yang paling berharga
bagi penerus-penerusnya.
6. Kiprah sosial-keagamaan
Melihat kondisi
masyarakat Lombok pada saat itu yang masih terbelenggu oleh kebodohan dan
keterbelakangan, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid merasa tertantang untuk membenahi
masyarakatnya yang masih dalam jajahan Belanda, Jepang, Hindu Bali (Anak Agung
Karangasem) melalui pencerdasan agama. Kepulangannya dari Mekah pada tahun 1934
ketika terjadi peperangan antara Raja Syarif Husein dengan Raja Abdul Aziz bin
Abdurrahman sehingga ia kembali ke Lombok untuk membuka pengajian pemula untuk
masyarakat dengan system halaqah.
Pondok Pesantren yang
didirikan diberi nama Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan (membela tanah air)
sesuai dengan obsesinya untuk membela tanah air dari kaum penjajah. Dengan
berbekal ilmu yang dimiliki, beliau mampu tampil sebagai seorang ulama yang
mempunyai kompetensi besar dalam membentuk kader ulama. jenjang pendidikan yang
khusus untuk mencetak kader ulama diberi nama Ma’had Darul Qur’an Wal Hadits.
Sebagai seorang Mujahid, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid berupaya melakukan
inovasi untuk meningkatkan pengetahuan agama masyarakat. Itu sebabnya, beliau
membuat rintisan dengan memperkenalkan system madrasah dalam penyelenggaraan
pendidikan dan pengajaran agama di NTB, membuka lembaga pendidikan khusus bagi
wanita, mengadakan Syafatul Qubra, meciptakan hizib tarekat Nahdaltul
Wathan, membuka sekolah umum di samping sekolah agama, menyususn nazham
berbahasa Arab bercampur bahasa Indonesia.
Berikut ini kiprah
sosial-keagamaan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid:
1. Pada tahun 1943 mendirikan Pesantren Al-Mujahidin
2. Pada tahun 1937 mendirikan Madrasah NWDI
3. Pada tahun 1943 mendirikan Madrasah NBDI
4. Pada tahun 1945 pelopor kemerdekaan RI untuk daerah Lombok
5. Pada tahun 1946 Pelopor Penggempuran Nica di Selong Lombok Timur
6. Pada tahun 1947/1948 menjadi Amirul Hajji dari negara Indonesia
Timur
7. Pada tahun 1948/1949 Anggota
delegasi Negara Indonesia Timur ke Saudi Arabia
8. Pada tahun 1950 Konsultan NU Sunda Kecil
9. Pada tahun 1952 Ketua badan penasehat Masyumi Daerah Lombok
10. Pada tahun 1953 Mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan
11. Pada tahun 1953 Ketua Umum PBNW pertama
12. Pada tahun 1953 Merestui terbentuknnya NU dan PSII di Lombok
13. Pada tahun 1954 Merestui terbentuknya PERTI Cabang Lombok
14. Pada tahun 1955 Anggota Konstituante RI hasil Pemilu I 1955
15. Pada tahun 1964 Menjadi peserta
KIAA (Konferensi Islam Asia Afrika) di Bandung
16. Pada tahun 1964 Mendirikan Akademi Paedagogik NW
17. Pada tahun 1965 Mendirikan
Ma’had Darul Qur’an Wal Hadist Al Majidiah Asy Syafi’iyah Nadlatul Wathan
18. Pada tahun 1972/1982 Anggota MPR RI hasil Pemilu II dan III
19. Pada tahun 1971/1982 Penasehat Majelis Ulama’ Indonesia Pusat
20. Pada tahun 1974 Mendirikan Ma’had Lil Banat
21. Pada tahun 1975 Ketua Penasehat
bidang Syara’ Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram
22. Pada tahun 1977 Menjadi Rektor Universitas Hamzan Wadi
23. Pada tahun 1977 Mendirikan Universitas Hamzan Wadi
24. Pada tahun 1977 Mendirikan Fakultas Tarbiyah Universitas Hamzan
Wadi
25. Pada tahun 1978 Mendirikan STKIP Hamzan Wadi
26. Pada tahun 1978 Mendirikan Sekolah Ilmu Syari’ah Hamzan Wadi
27. Pada tahun 1982 Mendirikan Yayasan Pendidikan Hamzan Wadi
28. Pada tahun 1987 Mendirikan Universitas Nahdlatul Nathan di
Mataram
29. Pada tahun 1987 Mendirikan Sekolah Ilmu Hukum Hamzan Wadi
30. Pada tahun 1990 Mendirikan Sekolah Ilmu Da’wah Hamzan Wadi
31. Pada tahun 1994 Mendirikan Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK)
putra putri
32. Pada tahun 1996 Mendirikan Institut Agama Islam Hamzan Wadi
[5]Baiq
adalah gelar kebangsawanan bagi perempuan yang secara stratifikasi social
masyarakat Lombok berada satu tingkat di atas masyarakat umum, dan dua tingkat
di bawah strata tertinggi, yakni Datu Bini dan Denda. Biasanya
gelar Baiq ditujukan kepada mereka yang belum menikah. Setelah menikah
gelar tersebut berubah menjadi Mamiq Bini.
[17]Ahl
al-Sunnah Wa al-Jama’ah adalah faham teologis yang menekankan harmonitas antar
dua variable, yaitu rasionalitas Mu’tazillah dan predetermenisme Jabariah.
Faham ini secara teologis mengacu pada pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu
Mansur al-Maturidi. Faham ini kemudian memasuki wilayah fiqh yang dapat di
temukan pada pemikiran Imam Mazahib al-Arba’ah, dan pada wilayah tasawuf dapat
dilihat pada pemikiran sufistik Abu Hamid al-Gozali.
I LOVE HAMZANWADI
BalasHapus