Jumat, 10 Februari 2012

TGKH MUHAMMAD ZAINUDDIN ABDUL MADJID


1. Latar belakang keluarga
     TGKH Muhammad Zainuddi Abdul Majid dilahirkan di Kampung Bermi Pancor Lombok Timur pada tanggal 17 Rabi’ul Awal 1315 H, nama kecil beliau adalah Muhammad Syaggaf dan berganti nama menjadi Haji Muhammad Zainuddin setelah menunaikan setelah menunaikan ibadah haji. Yang mengganti nama beliau adalah ayah beliau sendiri, yaitu Tuan Guru Haji Abdul Majid.  Mana itu diambil dari mana seorang ulama’ besar, guru di Masjidil Haram, yang akhlak dan kepribadiannya sangat menarik hati sang ayah, yaitu Syeikh Muhammad Zainuddin Serawak.[1]
     Penamaan Muhammad Saggaf memiliki cerita yang cukup unik. Tiga hari menjelang kelahirannya, ayahnya didatangi oleh dua orang wali yang berasal dari Hadlramaut dan Maghrabi. Kedua wali tersebut secara kebetulan mempunyai nama yang sama, yakni Saqqaf. Keduanya berpesan kepada Tuan Guru Kyai Haji Abdul Majid, jika mempunyai anak, agar diberi nama Saqqaf, seperti nama mereka berdua.[2]
     Kata Saqqaf balam bahasa arab berarti mrmbuat atap atau mengatapi. Kata ini kemudian di Indonesiakan menjaddi Saggaf dan di karenakan berada di daerah Lombok Nusa Tenggar Barat yang masih kental dengan budaya daerahnya sehingga nama tersebut di dialekkan kedalam bahasa daerah yang biasa disebut bahasa sasak menjadi Segep, dan pada masa kecilnya pun beliau kerap dipanggil dengan panggilan Gep.
     Disamping  itu, terdapat keunikan lain seputar kelahirannya, yaitu adanya cerita gembira yang dibawa oleh seorang wali, bernama Syeikh Ahmad Rifa’i yang juga berasal dari Maghrabi. Ia menemui Tuan Guru Haji Abdul Majid menjelang kelahiran putranya. Syekh Ahmad Rifa’i berkata kepada Tuan Guru Haji Abdul Majid “Akan segera lahir dari istrimu seorang anak laki-laki yang akan menjadi ulama’ besar”.[3]
     Dengan adanya keunikan-keunikan yang terjadi menjelang kelahiran putranya yang kemudian dimamakan Muhammad Saggaf, Tuan Guru Haji Abdul Majid dan istrinya merasa senang dan gembira karena kelahiran puteranya disambut dan dinantikan oleh para ulama dan para wali-wali Allah.
     Beliau adalah anak bungsu yang lahir dari perkawinan antara Tuan Guru Haji Abdul Majid dengan seorang wanita shalihah yang berasal dari desa Kelayu Lombok Timur, yang bernama Inaq Syam dan lebih dikenal dengan nama Hajjah Halimatus Sya’diyah. Beliau memiliki saudara kandung sebanyak lima orang, diantaranya yaitu: Siti Syarbini, Siti Cilah, Hajjah Saudah, Haji Muhammad Shabur dan Hajjah Masyithah.
     Sejak kecil beliau terkenal sangat jujur dan cerdas. Kerena itu, tidak mengherankan kalau ayah bundanya memberikan perhatian khusus dan meumpahkan kecintaan serta kasih sayang demikian besar kepada beliau. Ketiaka beliau melawat ke tanah suci Makkah Al Mukarramah untuk melanjutkan studi, ayah bundanya ikut mengantar ke tannah suci. Ayahandanyalah yang mencarikan beliau guru, tempat beliau pertama kali belajar di Masjidil Haram, bahkan ibundanya, Hajjah Halimatus Sya’diyah ikut mukim di tanah suci mengasuh dan mendampingi beliau sampai ibundanya yang tercinta itu berpulang ke rahmatullah tiga setengah tahun kemudian dan dimakamkan di Mu’alla Makkah.[4]
     Nama Muhammad Saggaf masih disandangnya sampai ia berangkat ke tanah suci Makkah untuk melaksanakan ibadah haji bersama ayahnya. Setelah menunaikan ibadah haji, nama Muhammad Saggaf diganti menjadi Haji Muhammad Zainuddin oleh ayahnya sendiri sebagaimana  yang tertera pada paragfaf di atas dan sejak saat itu nama beliau berubah menjadi Haji Muhammad Zainuddin.
     Tentang silsilah keturunan beliau yang lengkap tidak dapat dikemukakan secara utuh dikarenakan dokumen dan catatan silsilah keturunan beliau ikut terbakar ketika rumah orang tua  beliau mengalami kebakaran. Namun yang jelas beliau terlahir dari keturunan keluarga yang terpandang dan garis keturunan terpandang pula yaitu keturunan Selaparang. Selaparang adalah nama Kerajaan Islam yang pernah berkuasa di Pulau Lombok.
     TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid selama hayatnya telah menikah sebanyak tujuh kali. Dari ketujuh perembuan yang pernah dinikahinya itu, ada yang mendapinginya sampai wafat, ada yang wafat terlebih dahulu semasih ia hidup dan ada yang diceraikannya setelah beberapa bulan menikah. Disamping itu, ketujuh perempuan yang telah dinikahinya itu, berasal dari berbagai pelosok daerah di Lombok, dan dari berbagai latar belakang. Ada yang berasal dari keluarga biasa, ada pula yang berlatar belakang bangsawan, seperti istrinya yang bernama Hajjah Baiq[5] Siti Zahriyah Makhtar, berasal dari desa Tanjung, Kecamatan Selong.
     Adapun nama-nama perempuan yang pernah dinikahi oleh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, adalah: Satu, Chasanah; Dua, Hajjah Siti Fatmah; Tiga, Hajjah Raihan; Empat, Hajjah Siti Jauhariyah; Lima, Hajjah Siti Rahmatullah; Enam, Hajjah Baiq Siti Zuhriyah Mukhtar; Tujuh, Hajjah Adniyah.[6]
     TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid Sulit sekali memperoleh keturunan, sehingga beliau pernah dianggap mandul padahal beliau sendiri sangat mengiginkan keturunan yang akan melanjutkan perjuangan beliau untuk mengembangkan dan menegakkan ajaran-ajaran Islam. Dan pada akhirnya beliau dianugrahkan dua orang anak dari istri yang berbeda yaitu:
a.         Hajjah Siti Rauhun daru Ummi Jauhariyah
b.         Hajjah Siti Raihanun dari Ummi Rahmatullah
     Karena dengan hanya memiliki dua orang anak tersebut beliau kerap dipanggil dengan sebutan Abu Rauhun wa Raihanun.

2. Pendidikan
     Perjalanan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid dalam menuntut ilmu pengetahuan diawali dengan pendidikan yang di lakukan di dalam lingkungan keluarga, yakni dengan belajar mengaj yaitu membaca Al-Qur’an dan berbagai ilmu agama lainnya, yang diajarkan langsung oleh ayahnya, Tuan Guru Haji Abdul Majid. Pendidikan yang diberikan oleh ayahnya tersebut dimulai semenjak beliau berusia 5 tahun dan kemudian memasuki pendidikan formal semenjak berusia 9 tahun. Sekolah formal yang beliau mesuki adalah sekolah umu yang pada saat itu disebut dengan Sekolah Rakyat Negara (Sekolah Gubernemen) di Selong Lombok Timur. Di sekolah tersebut beliau belajar selama 4 tahun hingga tahun 1919 M.
     Setelah menamatkan pendidikan formalnya pada Sekolah Rakyat Negara pada tahun 1919 M, ia kemudian diserahkan oleh ayahnya untuk belajar ilmu pengetahuan agama yang lelbih luas lagi pada beberapa kyai local saat itu, antara lain Tuan Guru Haji Syarafuddin dan Tuan Guru Haji Muhammad Sa’id dari Pancor serta Tuan Guru Haji Abdullah bin Amaq Dulaji dari Kelayu Lombok Timur. Dari beberapa kyai local ini, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin selain mempelajari ilmu-ilmu agama dengan menggunakan kitab-kitab Arab Melayu, juga secara khusus mempelajari ilmu-ilmu gramatika bahasa Arab, seperti ilmu Nahwu dan Syarf.[7]
     Pola pengajaran yang dilakukan oleh kyai-kyai lokal ini masih bersifat klasik. Yaitu masih menggunakan system halaqoh, yang dalam pembelajarannya murid-murid duduk bersila dan sang guru memberi pengajaran dengan membacakan kitab yang dipelajari kemudian para murid masing-masing mebacanya saling bergantian satu persatu..
     Pada saat ini system pengajaran seperti ini sering digunakan pada pondok pesantren yang berbasis salafi. Berhubung pada saat itu sangat janrang ditemukan system pengajaran yang bersifat klasikal atau menggunakan kelas-kelas sehingga para murid duduk di atas bangku dan sang guru mengajarkan menggunakan papan tulis sebagai media pengajaran. Apalagi pada saat itu berbeda dengan zaman yang dialami saat ini, yaitu pada saat itu apabila seorang murid ingin mempelajari suatu ilmu apalagi ilmu agama mesti ke rumah sang guru untuk meminta kepada guru tersebut untuk mengajarinya tentang ilmu pengetahuan yang ia miliki. Namun pada saat ini sangatlah berbeda apabila seorang murid ingin menuntut ilmu, meka hanya tinggal meminta pada orang tuannya untuk memasukkannya pada pondok pesantren dan kemudian mendalami tentang ilmu agama dan berbagai macamnya didalamnya.
     Selanjutnya Muhammad Noor dan kawan-kawan dalam buku Visi Kebangsaan Relijius lebih jauh mengungkapkan bahwa Bagi Tuan Guru Haji Syarafuddin, Muhammad Saggaf merupakan murid yang istimewa. Keistimewaan tersebut mendorong gurunya untuk membebaskannya dari membanntu gurunya bekerja di sawah. Pada saat itu murid-murid yang mengaji di rumah seorang tuan guru tidak dipungut bayaran. Sebagai gantinya, mereka dihariskan berkerja disawah tuan guru tersebut. Berbeda dengan Muhammad Saggaf, karena keinginan kuat ayahnya agar ia menjadi murid yang pandai, ayahnya sanggup dengan membayar dengan 200 ikat padi setahun (sekitar 2 ton padi/gabah), sebagai ganti kewajiban bekerja disawah. Maksud ayahnya dengan kesediaan ini adalah agar anaknya tidak terganggu aktivitas belajarnya, sehingga ia berkonsentrasi pada pelajarannya.
     Menjelang musim haji pada saat itu sekitar tahun 1923 M, Muhammad Saggaf yang pada saat itu tengah berusia 15 tahun, berangkat ke Tanah Suci Makkah untuk melanjutkan studinya, memperdalam berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan islam dengan di antar langsung oleh kedua orang tuanya bersama tiga orang adiknya, yaitu: H. Muhammad Fishal, H. Ahmad Rifa’I, dan seorang kemenakannya. Bahkan pada saat itu salah seorang gurunya ikut serta dalam rombangan itu, yaitu Tuan Guru Haji Syarafuddin dan beberapa anggota keluarga dekat lainnya. Beliau belajar di Tanah Suci Makkah selama 12 tahu.
     Di kota suci Makkah Al-Mukarramah beliau mula-mula belajar di masjidil Haram, ayahnya pun sangat selektif dalam mencarikan dan menentukan seorang guru yang akan mengajar dan mendidik putra kesayangannya itu. Ayahandanya meyakini bahwa seorang guru adalah sumber ilmu dan kebenaran serta menjadi contoh dan panutan bagi muridnya dalam segala aspek kehidupan baik dalam pola berfikir dan berperilaku, sehingga ilmu dan didikan yang diperoleh sang murid berguna dan bermanfaat bagi kehidupan baik di dunia dan di akhirat.
     Berhari-hari bahkan berbulan-bulan ayahnya sibuk mencarikannya seorang guru yang tepat dan cocok untuk mengajari dan mendidik anaknya. Kemudian bertemulah ayahnya dengan seorang syeikh yang belakangan dikenal dengan Syeikh Marzuki. Dari cara dan metode yang digunakan dalam mengajat Tuan Guru Haji Abdul Majid merasa cocok jika syeikh tersebut menjadi guru bagi anaknya.
     Syaikh Marzuki adalah seorang keturunan Arab kelahiran palembang. Ia sudah lama tinggal di Makkah dan mengajar mengaji di Masjidil Haram. Ia fasih berbahasa Indonesia dan Arab. Kebanyakan muridnya berasal dari Indonesia. Ada yang berasal dari Palembang, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur maupun Lombok. Salah seorang murid Syeik Marzuki yang berasal dari Lombok bernama H. Abdul Kadir dari desa Mamben Lombok Timur. H. Abdul Kadir sudah setahun lebih belajar di Makkah pada waktu itu.[8]
     Namun pada akhirnya TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, merasakan ke tidak cocokan terhadap Syeikh Marzuki karena merasa tidak banyak mengalami perkembangan yang berarti dalam menuntut ilmu. Karena pada saat itu sang guru mengajarkan kitab gundul yang tidak memiliki baris sedangkan beliau masih murid baru dan dapat dikatakan masih awam dalam mempelajari kitab-kitab gundul yang tidak memiliki baris tersebut, sehigga beliau berfikiran ingin memulai pelajarannya dari awal agar mampu membaca dan memahami makna yang terkandung dalam kitab gundul tersebut. Setelah ayahnya pulang ke Lombok beliau langsung berhenti  balajar mengaji pada Syeikh Marzuki.
     Dua tahun setelah terjadinya huru hara di Makkah karena perang ssaudara antara faksi Wahabi dengan kekuasaan Syarif Hussein, stabilitas keamanan relative terkendali. Pada saat itu Muhammad Zainuddin berkenalan dengan seorang yang bernama Haji Mawardi yang berasal dari Jakarta. Dari perkenalan itu beliau diajak untuk ikut belajar di sebuah madrasah legendaries di Tanah Suci, yakni Madrasah al-Shaulatiyah yang pada saat itu di pimpin oleh Syeikh Salim Rahmatullah putra Syeikh Rahmatullah, pendiri Madrasah al-Shaulatiyah. Madrasah ini adalah madrasah pertama sebagai permulaan sejarah baru dalam dunia pendidikan di Saudy Arabia. Gaungnya telah menggema ke seluruh dunia dan telah banyak mencetak ulama’-ulama’ besar dunia. Di Madrasah al-Shaulatiyah inilah beliau belajar berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam dengan sangat rajin dan tekun di bawah bimbingan ulama’-ulama’ terkemuka kota Suci Makkah waktu itu.
     Pada hari pertama beliau masuk di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah beliau bertemu dengan Syeikh Hasan Muhammad al-Masyath yang nantinya akan menjadi gurunya yang hubungannya paling dekat. Di sana juga ia bertemu Syeikh Sayyid Muhsin al-Musawa, diantara temannya sewaktu belajar syair pada Syeikh Sayyid Amin al-Kutbi, yang ternyata juga sebagai salah seorang guru di madrasah ini.
     Sudah menjadi tradisi di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah bahwa setiap murid baru yang masuk harus mengikuti tes untuk menentukan kelas yang tepat dan cocok untuk murid baru tersebut. Demikian juga halnya dengan Muhammad Zainuddin, beliau juga diuji terlehih dahulu. Dan secara kebetulan beliau diuji langsung oleh murid al-Shaulatiyah sendiri yaitu Syeikh Salim Rahmatullah bersama dengan Syeikh Hasan Muhammad al-Masyath.
     Dan pada akhirnya Syeikh Hasan Muhammad al-Masyath menentukan masuk di kelas III. Padahal beliau belum terlalu menguasai ilmu nahwu-syaraf yang diajarkan di kelas II. Mendengar keputusan tersebut, kemudian beliau meminta untuk diperkenankan masuk di kelas II, dengan alasan iingin mendalami mata pelajjaran nahwu-sharaf. Walaupun pada awalnya Syeikh Hasan Muhammad al-Masyath bersikeras dengan keputusannya, namun argumentasi yang dikemukakan oleh Muhammad Zainuddin membuatnya berfikir kembali. Kemudian Syeh Hasan pun mengabulkan permohonannya, dan resmilah beliau diterima di kelas II.
     Di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah Muhammad Zainuddin mulai tekun belajar. Ia ingin membuktikan kemampuannya menguasai ilmu dengan baik. Di malam dan sore hari beliau belajar kepada beberapa guru yang lain. Dirumah juga beliau manghabiskan waktunya untuk belajar. Salah satu bentuk ketekunannya dalam belajar adalah besarnya porsi waktu yang disediakan untuk membaca kitab-kitab mulai dari setelah shalat tahajjud sampai waktu shalat subuh tiba. Pernah suatu ketika beliau tertidur pada saat membaca kitab. Padahal di hadapannya terdapat sebuah lampu minyak sebagai alat penerang beliau dalam membaca. Tanpa beliau sadari surban beliau terlalap api dari lampu minyat tersebut dan terbakar. Mencium bau benda terbakar ibunya pun terbangun. Sementra beliau masih tertidur dengan lelapnaya, kemudian ibunya pun berteriak membangunkannya. Beliaupun terkejut dan terbangun.
     Kebiasaan beliau membaca dan belajar dalam kaktu yang cukup lama menyebabkan mata beliau mengalami gangguan. Meskipun demikian beliau masih tetap mampu mempertahankan kebiasaan membaca dan belajarnya tersebut sampai waktu yang cukup lama.
     Ketekunannya dalam belajar membuahkan hasil. Beberapa orang gurunya mengakui bahwa beliau tergolong murid yang cerdas. Syeikh Salim Rahmatullah sebagai kepala Madrasah al-Shaulatiyah selalu mempercayakan beliau untuk menghadapi Penilik Madrasah pemerintah Saudi yang sering kali datang ke madrasah itu. Penilik madrasah itu meenganut faham Wahabi. Dan beliaulah satu-satunya murid Madrasah al-Shaulatiyah yang dianggap menguasai faham Wahabi. Pertanyaan penilik itu biasanya menyangkut soal-soal hokum ziarah kubur, tawasul kepada anbiya’ dan auliya’, bernazar menyembelih kambing berbulu hitam atau putih dan sebagainya. Dan beliau selalu berhasil menjawab pertanyaan penilik itu dengan memuaskan.
     Prestasi akademiknya sangat membanggakan. Ia berhasil meraih peringkat pertama dan juara umum. Di samping itu, dengan kecerdasan yang luar biasa, ia berhasil menyelesaikan studinya dalam kurun waktu 6 tahun. Padahal waktu belajar normal adalah 9 tahun, yaitu mulai dari kelas I sampai dengan kelas IX. Dari kelas II, ia langsung ke kelas IV. Tahun berikutnya ke kelas VI, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya secara berturut-turut naik ke kelas VII,VIII dan IX.[9]

3. Gaya kepemimpinan
     Selain sebagai pejuang kemerdekaan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid dikenal sebagai ulama kharismatik yang mencurahkan pemikiran dan perjuangannya untuk kepentingan umat. Rasa hormatnya kepada guru dan kepada orang yang telah berjasa pada dirinya selalu diwujudkan dengan mengabdikan nama-nama gurunya pada lembaga-lembaga yang dibangunnya.[10]
     Dalam penampilannya sehari-hari TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid
Tidak merasakan bahwa dirinya sebagai ulama besar. Apalagi jika dibesar-besarkan oleh murid dan masyarakat, dengan tegas melarangnya. Alasannya apabila ada ulama besar berarti ada pula ulama kecil. Hal ini dapat menimbulkan kesenjangan antara orang yang dianggap besar dengan orang yang dianggap kecil. Kesenjangan tersebut dapat menghambat komunikasi antara atasan dengan bawahan dan antara kyai dengan santri. Karena itu, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid tidak pernah mempersulit semua santri dan masyarakat yang hendak bertemu. Sikap low profile tersebut membuat sikap sang kyai ini selalu dekat dengan semua santri, murid dan warga tanpa mengurangi kewibawaan dan kharismanya. Keluhan dan kesulitan santri dan muridnya selalu diperhatikan, didengar, dan dicarikan solusinya.[11]
     Sebagai pendidik TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid  mendambakan munculnya generasi baru yang memiliki potensi yang besar untuk menyambung estapet perjuangan beliau dalam mengembangkan organisasi Nahdlatul Wathan. Harapan tersebut sangat besar dan sering sekali disampaikan dalam berbagai kesempatan agar murid dan para santrinya memiliki ilmu pengetahuan lebih tinggi dari dirinya, sepuluh, seratus, bahkan seribu kali lipat dari ilmu yang beliau miliki.
     TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid merasa saying kepada semua santri, murid, dan para Pembina pesantren yang mempunyai keikhlasan dalam melanjutkan perjuangan Nahdlatul Wathan. Beliau sering mengatakan bahwa sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisiku ialah yang paling banyak bermanfaat untuk perjuangan nahdlatul Wathan. Sedang yang paling jahat diantara kamu disisiku ialah yang paling banyak merugikan perjuangan Nahdlatul Wathan. Beliau sering mengatakan:

ِبسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ- اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللهِ وَبَرَكَاتُهُ وَمَغْفِرَتُهُ وَرِضَاهُ- اَوْلاَدِى الاَوْفِيَاءَ وَتَلاَمِذتِى اْلعُقَلاَءَ- اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدِى اَنْفَعُكُُمْ لِنَهْضَةِ اْلوَطَنِ وَاِنَّ شَرَّكُمْ عِنْدِى اَضَرُّكُمْ بِنَهْضَةِ اْلوَطَنِ- فَصَابِرُوْا وَرَابِطُوْا وَجَاهِدُوْا ثُمَّ جَاهِدُوْا فِى سَبِيْلِ نَهْضَةِ اْلوَطَنِ لاِعِلاَءِ كَلِمَةِ الدِّيْنِ وَالْوَطَنِ تَكُوْنُوْا بِحَوْلِ اللهِ تَعَالَى مِنَ الْمُجَاهِدِيْنَ لِدِيْنِهِ وَالْبَارِّيْنَ الْمُخْلَصِيْنَ فِى السَّرِّوَالْعَلَنِ- فَتَحَ اللهُ عَلَيْنَا وَعَلَيْكُمْ وَرَزُقَنَا وَاِيَّاكُمْ وَالْمُحِبِّيْنَ الْحُسْنَى وَِزيَادَةُ-

     Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Semoga Allah tetap mencurahkan keselamatan kepadamu, rahmt, keberkatan, ampunan, dan ridha-Nya. Wahai anak-anakku yang setia dan murid-muridku yang cerdik, sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisiku ialah yang paling banyak bermanfaat untuk perjuangan Nahdlatul Wathan dan sejahat-jahat kamu di sisiku ialah yang paling banyak merugikan perjuangan Nahdlatul Wathan. Karena itu, kuatkanlah kesabaranmu, tetaplah bersikap siaga, berjuanglah di jalan Nahdlatul Wathan untuk mempertinggi citra agama dan Negara, siscaya kamu dengan kekuasaan Allah SWT, tergolong pejuang agama, orang shaleh dan mukhlish baik pada waktu sendirian maupun pada waktu bersama orang lain. Semoga Allah membukakan pintu rahmat untuk kami dan kamu sekalian dan semoga Ia menganugrahkan kami, kamu sekalian, dan para simpatisan Nahdlatul Wathan kebahikan-kebajikan dan nikmat tambahan yang tiada taranya.[12]
     Adapun dalam setiap gerak dan langkah beliau selalu mencerminkan keteladanan yang baik dan member keyakinan terhadap kesucian perjuangan beliau melalui Nahdlatul Wathan sebagai contoh nyata yang patut diteladani oleh para murid-muridnya. Sering kali beliau memberikan apresiasinya terhadap para santri dan para muridnya yang menunjukkan perkembangan positif dalam perjuangan Nahdlatul Wathan, baik melalui sikap, maupun ucapan beliau. Beliau selalu mendo’akan untuk para murid dan santrinya agar menjadi orang yang taat pada Allah dan Rasul-Nya, berbuat baik pada kedua orang tua serta hormat terhadap guru. Beliau selalu menekankan agar setiap anak senantiasa selalu berbakti terhadap kedua orang tuanya.
     Sebagai pemimpin umat, beliau bersikap tegas, sportif dan konsekwen terhadap apa yang diputuskan. Prinsip musyawarah dalam pengambilan keputusan tetap dijunjung tinggi. Tetapi terhadap hal-hal yang prinsipil, perlu dilakukan kajian mendalam dengan mencari dalil-dalil naqli dan ‘aqli setelah mempertimbangkan untung dan ruginya serta aspek maslahat dan mafsadatnya, barulah diambil keputusan yang meyakinkan.[13]
     Dalam melaksanakan misi dan tugas organisasi, selain memberikan bimbingan,
TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid juga menganjurkan agar murid-murid dan santri-santrinya  bersifat ikhlas, istiqomah, anamah, syaja’ah (keberanian) dan rela berkorban untuk kepentingan umat. Sebaliknya, Beliau membenci santri dan muridnya yang bersifat pesimis, apatis, pengecut, cari muka, dan ingkar janji.[14]

4. Guru-guru
a. Guru yang Mengajarkan Al-Qur’an dan Kitab Melayu di Lombok    
1)         T.G.H. Abdul Majid;
2)         T.G.H. Syarafuddin Pancor Lombok Timur;
3)         T.G.H. Abdullah bin Amak Dujali Kelayu Lombok Timur;
b. Guru di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah
1)      Maulana Wa Murabbina Abu Barakat al-‘Allamah al-Ushuli al-Mudadditsbal-Shufi al-Syeikh Hasan Muhammad al-Mahsyat al-Maliki;
2)        Al-‘Allamah al-Syaikh Umar Bajunaid al- Syafi’I;
3)        Al-‘Allamah al-Syaikh Muhammad Syaid al-Yamani al-Syafi’I;
4)        Al-‘Allamah al-Kabir Mutaffanin Sibawaihi Zanamihi al-Syaikh Ali al-Maliki;
5)        Al-‘Allamah al-Syeikh Marzuqi al-Palimbani;
6)        Al-‘Allamah al-Syaikh Abu Bakar al-Falimbani;
7)        Al-‘Allamah al-Syeikh Hasan Jambi al-Syafi’i;
8)        Al-‘Allamah al-Syeikh Abdul Qadir al-Mandili al-Syafi’i;
9)        Al-‘Allamah al-Syeikh Muhtar Betawi al-Syafi’i;
10)    Al-‘Allamah al-Syeikh Abdullah al-Bukhari al-Syafi’i;
11)    Al-‘Allamah al-Muhadditsin al-Kabir al-Syeikh Umar Hamdan al-Mihrasi al-Maliki;
12) Al-‘Allamah al-Muhadditsin al-Syaikh Abdus Sattar al-Syiddiqi Abdul Wahab al-Kutbi al-Maliki;
13)    Al-‘Allamah al-Kabir al-Syeikh Abdul Qodir al-Syibli al-Hanafi;
14)    Al-‘Allamah al-Adib al-Syeikh Muhammad Amin al-Kutbi al-Hanafi;
15)    Al-‘Allamah al-Syaikh Muhsin al-Musahwa al-Syafi’i;
16)    Al-‘Allamah al-Falaqi Maulana al-Syaikh Khalifah al-Maliki;
17)    Al-‘Allamah al-Jalil al-Syaikh Jamal al-Maliki;
18)    Al-‘Allamah al-Syeikh al-Shalih Muhammad Shalih al-Kalantani al-Syafi’i;
19)    Al-‘Allim al-‘Allamah al-Syafi’i Maulana Syaikh Mukhtar al-Makhdum Al Hanafi;
20)    Al-‘Allamah al-Syeikh Salim Cianjur al-Syafi’i;
21)    Al-‘Allamah al-Syeikh Syaikh al-Syayid Ahmad Dahlan Shadaqi al-Syafi’i;
22)    Al-‘Allamah Mu’arrikh al-Syeikh Salim Rahmatullah al-Maliki;
23)    Al-‘Allamah al-Syeikh Abdul Gani al-Maliki;
24)    Al-‘Allamah al-Syeikh al-Syayid Muhammad Arabi al-Tubani al-Jazairi al-Maliki;
25)    Al-‘Allamah al-Syeikh Umar al-Faruq al-Maliki;
26)    Al-‘Allamah al-Syeikh al-Wa’id al-Syaikh Abdullah al-Faris;
27)    Al-‘Allamah al-Syeikh Malla Musa;[15]
     Jika di klasifikasikan guru-gurunya berdasarkan latar belakang mazhab yang berbeda, maka akan terlihat katagorisasi mazhab sebagai berikut:
a.          11 orang bermazhab Syafi’;
b.         6 orang bermazhab Hanafi; dan
c.          11 orang bermazhab Maliki.[16]
     Merdasarkan kategorisasi mazhab diatas terlihat jelas bahwa semua guru-guru beliau masih berada dalam satu landasan teologis yang sama, yakni faham Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah.[17] Dengan kata lain, bahwa tidak ada seorang pun gurunya yang menganut faham teologis yang berbeda, seperti Mu’tazillah, Syi’ah ataupun Wahabi.
 
5. Pemikiran dan karya-karyanya
     Konsep pendidikan yang diajarkan adalah bahwa pendidikan tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan (kognitif), tetapi juga pemupukan moral, melatih dan mempertinggi nilai-nilai kemanusiaan. Karena pendidikan adalah kewajiban manusia untuk mengabdi kepada Allah SWT. Dalam hal ini, usaha yang ia pikirkan dan praktikkan adalah pengembangan pendidikan Islam melalui pesantren. Yakni, berusaha mengembangkan pesantren dengan menerima beberapa pemikiran alternatif yang dapat dijadikan sebagai masukan/kontribusi bagi pengembangan pesantren sejalan dengan perubahan zaman. Karena itu, menurut TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, pesantren mesti merubah orientasinya dengan tidak sekadar berorientasi pada pencarian ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu yang lain.
     Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, selain tergolong ulama yang berbobot dalam bidang keilmuan, beliau juga termasuk penulis dan pengarang yang produktif. Bakat dan kemampuannya tersebut tumbuh dan berkembang semenjak beliau belajar di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah. Akan tetapi karena kepadatan dan banyaknya acara kegiatan keagamaan dalam masyarakat yang harus di isai oleh beliau, sehingga peluang dan kesempatan beliau untuk mengarang dan memperbanyak tulisannya hampir tidak pernah ada.
     Itulah sebabnya pada beberapa kesempatan beliau mengungkapkan keadaan seperti ini kepada muridnya, bila mana beliau teringat pada kawan seperjuangan di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah yang juga telah tergolong ulama’ besar dan pengarang terkenal seperti Maulana Syeikh Zakaria Abdullah Bila, Maulana Syeikh Yasin Padang dan lain-lain. Mereka sekarang ini memiliki karya-karya besar dalam bidang tulis menulis dan karang-mengkarang.
     Dalam hal ini TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid tidak pernah berkecil hati, walaupun kawan seperguruannya menonjol dalam bidang tersebut. Beliau menyadari akan hal ini, karena situasi dan kondisi kehidupan ummat dan masyarakat yang dihadapi sangat jauh berbeda, yaitu masyarakat Makkah di satu pihak dan masyarakat Indonesia di lain pihak. Beliau pernah mengatakan:
Seandainya aku mempunyai waktu dan kesempatan yang cukup untuk menulis dan mengarang, niscaya aku akan mampu menghasilkan karangan dan tulisan-tulisan yang lebih banyak, seperti yang dimiliki Syeikh Zakaria Abdullah Bila, Syeikh Yasin Padang, Syeikh Ismail dan ulama’-ulama lain tamatan Madrasah al-Shaulatiyah Makkah”.[18]
     Dikarenakan sebagian besar dan seluruh waktu dan kehidupan beliau di manfaatkan dan dipergunakan untuk mengajar dan terus mengajar dan berdakwah keliling untuk membina umat dalam upaya menanamkan Iman dan Taqwa, sehingga dengan kegiatannya yang padat dan terus berkesinambungan sehingga membuat beliau tidak memiliki cukup banyak waktu untuk menulis dan mengarang. Dan bahkan beliau tidak pernah putus semangat untuk menghabiskan waktunya berjuang demi kepentingan umat, sebagaimana ucapan dan ikrar beliau sendiri “Aku wakafkan diriku untuk ummat”.
     Sekalipun dalam keadaan yang sangat sibuk seperti itu, beliau masih menyempatkan dirinya untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya tersebut. Bagi beliau mengarang dan tulis menulis bukanlah suatu tugas dan pekerjaan yang sulit, karena hal ini merupakan kemampuan dasar yang di anugrahkan Allah SWT kepada beliau, bakat dan kemampuannya inilah yang terus dibawa sehingga tumbuh dan berkembang semenjak beliau bersekolah di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah, sehingga tidak mengherankan apabila beliau  mendapatkan banyak pujian dari  guru-guru beliau.
     Diantara karya tulis dan karangan-karangan beliau adalah:[19]
a. Dalam Bahasa Arab
1)        Risalah Tauhid dalam bentuk soal jawab (Ilmu Tauhid)
2)        Sullamul Hija Syarah Safinatun Naja (Ilmu Fiqh)
3)        Nahdlatul Zainiyah dalam bentuk nadzam (Ilmu Faraidl)
4)        At Tuhfatul Ampenaniyah Syarah Nahdlatuz Zainiyah (Ilmu Faraidl)
5)        Al Fawakihul Ampenaniyah dalam bentuk soal jawab (Ilmu Faraidl)
6)        Mi’rajush Shiibyan Ila Sama’i Ilmi Bayan (Ilmu Balaghah)
7)        An Nafahat ‘Alat Taqriratis Saniyah (Ilmu Mushtalah Hadits)
8)        Nailul Anfal (Ilmu Tajwid)
9)        Nizib Nahdlatul Wathan (Da’a dan Wirid)
10)    Hizib Nahdlatul Banat (Do’a dan Wirid kaum wanita)
11)    Shalawat Nahdlatain (Shalawat Iftitah dan Khatimah)
12)    Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan (Wirid Harian)
13)    Ikhtisar Hizib Nahdlatul Wathan (Wirid Harian)
14)    Shalawat Nahdlatul Wathan (Shalawat Iftita)
15)    Shalawat Miftahi Babi Rahmatillah (Wirid dan Do’a)
16)    Shalawat Mab’utsi Rahmatan Lil ‘Alamin (Wirid dan Do’a)
17)    Dan lain-lainnya.
b. Dalam Bahasa Indonesia dan Sasak
1).      Batu Nompal (Ilmu Tajwid)
2).      Anak Nunggal Taqrirat Batu Ngompal (Ilmu Tajwid)
3).      Wasiat Renungan Masa I dan II (Nasihat dan petunjuk perjuangan untuk warga Nahdlatul wathan)
c. Nasyid/Lahu Perjuangan dan Dakwah dalam Bahasa Arab, Indonesia dan Sasak
1).      Ta’sis NWDI (Anti ya Pancor biladi)
2).      Imamunasy Syafi’i
3).      Ya Fata Sasak
4).      Ahlan bi wafdizzairin
5).      Tanawwarr
6).      Mars Nahdlatul Wathani
7).      Bersatulah Haluan
8).      Nahdlatain
9).      Pau gama’
10).  Dan lain-lain.
     Dengan banyaknya karya yang telah beliau terbitkan mencerminkan ketinggian ilmu yang dimilikinya, sehingga oleh guru-gurunya TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid mendapat pujian dan kepercayaan yang besar. Di antaranya, ia pernah diberi kesempatan untuk memberikan kata pengantar dari gurunya Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-Mahsyat. Dalam kata pengantar yang beliau tulis untuk kitab Baqi’ah al-Mustarsyidin karya Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-Mahsyat sambil mengutip hadist Nabi Saw mengatakan: “Janganlah kamu mempelajari ilmu syariat dari seseorang kecuali dari orang yang baik riwayat hidupnya dan hatinya dan kamu sekalian telah menyelidiki atas keamanahannya”. Dari Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-Mahsyat inilah, beliau pernah mendapatkan risalah/ijazah dengan seluruh isi kitabnya, “al-Irsyad bi al-Dzikr ba’da Ma’alim al-Ijazah wa al-Asnaf”. Dari sinilah, beliau menukil sebagian ucapan gurunya tentang kehidupan pribadinya yang mantap, tetapi tetap menganggap dirinya adalah orang yang hina dan fakir dalam pengetahuan agama.
     Syaikh Muhammad al-Mahsyat pernah memberikan sanjungan kepada TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid. Berikut kutipannya: “Demi Allah saya kagum kepada Zainuddin, kagum pada kelebihannya atas orang lain pada kebesaran yang tinggi dan kecerdsannya yang tiada tertandingi, jasanya bersih ibarat permata menunjukkan kebersihan ayah bundanya dan karya-karya tulisnya indah lagi menawan penaka bunga-bungaan yang tumbuh di lereng pegunungan. Di lapangan ilmu ia dirikan ma’had, tetap dibanjiri thullab dab thalibat menuntut ilmu dan menggali kitab. Ia kobarkan semangat generasi muda menggapai mustawa dengan karyanya Mi’raj al-Sibyan ila Sama’i ‘Ilm al-Bayan. Semoga Alah memanjangkan usianya dan dengan perantarannya ia memajukan ilmu pengetahuan agama di Ampanan bumi Selaparang. Terkirimlah salam penghormatan harum semerbak bagaikan kasturi dari tanah Suci menuju “Rinjani” (Syaikh Muhammad Zainuddin Aabdul Majid dalam Mi’raj al-Sibyan ila Sama’i ‘Ilm al-Bayan).
     Dengan demikian, TGKH Muhammad Zainuddin Adbul Majid selain dikenal sebagai ulama yang memiliki kepedulaian yang tinggi terhadap dunia pendidikan Islam, ia juga mampu menuliskan pikiran-pikirannya untuk memberikan warisan yang paling berharga bagi penerus-penerusnya.
 
6. Kiprah sosial-keagamaan
     Melihat kondisi masyarakat Lombok pada saat itu yang masih terbelenggu oleh kebodohan dan keterbelakangan, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid  merasa tertantang untuk membenahi masyarakatnya yang masih dalam jajahan Belanda, Jepang, Hindu Bali (Anak Agung Karangasem) melalui pencerdasan agama. Kepulangannya dari Mekah pada tahun 1934 ketika terjadi peperangan antara Raja Syarif Husein dengan Raja Abdul Aziz bin Abdurrahman sehingga ia kembali ke Lombok untuk membuka pengajian pemula untuk masyarakat dengan system halaqah.
     Pondok Pesantren yang didirikan diberi nama Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan (membela tanah air) sesuai dengan obsesinya untuk membela tanah air dari kaum penjajah. Dengan berbekal ilmu yang dimiliki, beliau mampu tampil sebagai seorang ulama yang mempunyai kompetensi besar dalam membentuk kader ulama. jenjang pendidikan yang khusus untuk mencetak kader ulama diberi nama Ma’had Darul Qur’an Wal Hadits. Sebagai seorang Mujahid, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid berupaya melakukan inovasi untuk meningkatkan pengetahuan agama masyarakat. Itu sebabnya, beliau membuat rintisan dengan memperkenalkan system madrasah dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran agama di NTB, membuka lembaga pendidikan khusus bagi wanita, mengadakan Syafatul Qubra, meciptakan hizib tarekat Nahdaltul Wathan, membuka sekolah umum di samping sekolah agama, menyususn nazham berbahasa Arab bercampur bahasa Indonesia.
     Berikut ini kiprah sosial-keagamaan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid:
1. Pada tahun 1943 mendirikan Pesantren Al-Mujahidin
2. Pada tahun 1937 mendirikan Madrasah NWDI
3. Pada tahun 1943 mendirikan Madrasah NBDI
4. Pada tahun 1945 pelopor kemerdekaan RI untuk daerah Lombok
5. Pada tahun 1946 Pelopor Penggempuran Nica di Selong Lombok Timur
6. Pada tahun 1947/1948 menjadi Amirul Hajji dari negara Indonesia Timur
7. Pada tahun 1948/1949 Anggota delegasi Negara Indonesia Timur ke Saudi Arabia
8. Pada tahun 1950 Konsultan NU Sunda Kecil
9. Pada tahun 1952 Ketua badan penasehat Masyumi Daerah Lombok
10. Pada tahun 1953 Mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan
11. Pada tahun 1953 Ketua Umum PBNW pertama
12. Pada tahun 1953 Merestui terbentuknnya NU dan PSII di Lombok
13. Pada tahun 1954 Merestui terbentuknya PERTI Cabang Lombok
14. Pada tahun 1955 Anggota Konstituante RI hasil Pemilu I 1955
15. Pada tahun 1964 Menjadi peserta KIAA (Konferensi Islam Asia Afrika) di Bandung
16. Pada tahun 1964 Mendirikan Akademi Paedagogik NW
17. Pada tahun 1965 Mendirikan Ma’had Darul Qur’an Wal Hadist Al Majidiah Asy Syafi’iyah Nadlatul Wathan
18. Pada tahun 1972/1982 Anggota MPR RI hasil Pemilu II dan III
19. Pada tahun 1971/1982 Penasehat Majelis Ulama’ Indonesia Pusat
20. Pada tahun 1974 Mendirikan Ma’had Lil Banat
21. Pada tahun 1975 Ketua Penasehat bidang Syara’ Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram
22. Pada tahun 1977 Menjadi Rektor Universitas Hamzan Wadi
23. Pada tahun 1977 Mendirikan Universitas Hamzan Wadi
24. Pada tahun 1977 Mendirikan Fakultas Tarbiyah Universitas Hamzan Wadi
25. Pada tahun 1978 Mendirikan STKIP Hamzan Wadi
26. Pada tahun 1978 Mendirikan Sekolah Ilmu Syari’ah Hamzan Wadi
27. Pada tahun 1982 Mendirikan Yayasan Pendidikan Hamzan Wadi
28. Pada tahun 1987 Mendirikan Universitas Nahdlatul Nathan di Mataram
29. Pada tahun 1987 Mendirikan Sekolah Ilmu Hukum Hamzan Wadi
30. Pada tahun 1990 Mendirikan Sekolah Ilmu Da’wah Hamzan Wadi
31. Pada tahun 1994 Mendirikan Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) putra putri
32. Pada tahun 1996 Mendirikan Institut Agama Islam Hamzan Wadi


                [1]Muhammad Zainuddin Abdul Majid, Nadzam Batu Ngompal Terjemah  Tuhfatul Atfal, (Jakarta: Nahdlatul Wathan Jakarta, 1996), h. 9.
                [2] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid 1904-1997, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2004), Cet, Ke-1, h. 122.
                [3] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan…,  h. 123.
                [4] Muhammad Zainuddin Abdul Majid, Nadzam Batu Ngompal…, h. 9-10.
                [5]Baiq adalah gelar kebangsawanan bagi perempuan yang secara stratifikasi social masyarakat Lombok berada satu tingkat di atas masyarakat umum, dan dua tingkat di bawah strata tertinggi, yakni Datu Bini dan Denda. Biasanya gelar Baiq ditujukan kepada mereka yang belum menikah. Setelah menikah gelar tersebut berubah menjadi Mamiq Bini.
                [6] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan …, h. 125.
                [7] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan …, h. 134.
                [8] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan …, h. 136.
                [9] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan…, h. 142.
                [10] Masnun, Tuan Guru KH Muhammad Zainuddin Abdul Majid Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam di Nusa Tenggara barat, (Jakarta: Pustaka Al-Miqdad, 2007), h. 28.
                [11] Harian Umum Suara Nusa, Kobarkan Semangat Kemerdekaan, (Mataram: tanggal 19 November 1997).  Masnun, Tuan Guru…, h. 29.
                [12] Masnun, Tuan Guru…, h. 30.
                [13] Abdullah Syafi’i (Pimpinan Pondok Pesanteren Al-Syafi’iyah Jakarta), dalam, Maulana Syeikh TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid Menjadi Tauladan Bagi Umat Islam, (Jakarta: Majalah Triwulan Sinar Lima, 1995), h. 31-32. Masnun, Tuan Guru…, h. 31.
                [14] Masnun, Tuan Guru…, h. 32.
                [15] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan…,  h. 144-145.
                [16]Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan…, h. 147.
                [17]Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah adalah faham teologis yang menekankan harmonitas antar dua variable, yaitu rasionalitas Mu’tazillah dan predetermenisme Jabariah. Faham ini secara teologis mengacu pada pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Faham ini kemudian memasuki wilayah fiqh yang dapat di temukan pada pemikiran Imam Mazahib al-Arba’ah, dan pada wilayah tasawuf dapat dilihat pada pemikiran sufistik Abu Hamid al-Gozali.
                [18] Muhammad Zainuddin Abdul Majid, Nadzam Batu Ngompal…, h. 15.
                [19] Muhammad Zainuddin Abdul Majid, Nadzam Batu Ngompal…, h. 16-17.

1 komentar: