A. Surat An-Nahl: 43-44[1]
!$tBur $uZù=yör& ÆÏB y7Î=ö6s% wÎ)
Zw%y`Í
ûÓÇrqR
öNÍkös9Î)
4
(#þqè=t«ó¡sù @÷dr& Ìø.Ïe%!$#
bÎ) óOçGYä.
w tbqçHs>÷ès? ÇÍÌÈ
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/
Ìç/9$#ur 3
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$#
tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR
öNÍkös9Î)
öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt
ÇÍÍÈ
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang
lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, Keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,”
Tafsir ayat:
!$tBur
$uZù=yör& ÆÏB y7Î=ö6s%
wÎ)
Zw%y`Í ûÓÇrqR öNÍkös9Î)
4
Dan tidaklah kami utus sebelum
kamu (Muhammad) seorang rasul kepada kaum-kaumnya untuk mengajak kepada
ketauhidan (pengesaan Allah) dan untuk menunaikan perintahnya, kecuali seorang
laki-laki dari anak adam yang diberikan wahyu kepada mereka bukan malaikat.
Hadits dari Ibnu Abbas ra: Sesungguhnya Allah ketika mengutus nabi
Muhammad saw kaum arab telah mengingkari terhadap kenabian nabi Muhammad mereka
berkata: Allah adalah zat yang paling mulia dari pada orang (manusia) yang
diutusnya. Maka Allah menurunkan Ayat:
4 (#þqè=t«ó¡sù
@÷dr&
Ìø.Ïe%!$#
bÎ) óOçGYä. w
tbqçHs>÷ès?
Maka bertanyalah kalian (penduduk kurais) kepada ahli kitab yang
terdahulu dari orang orang yahudi dan nasrani, apakah seorang manusia itu
dijadikan Rasul untuk kami semua ataukah malaikat: apabila malaikat maka
ingkarilah dan apabila manusia maka jangan engkau ingkari sebagai mana nabi
Muhammad dijadikan Rasul.
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/
Ìç/9$#ur
Dan tidaklah kami mengutus kecuali seorang laki-laki yang dibekali dengan
petunjuk dan hujjah yang telah engkau saksikan untuk membuktikan kenabian
mereka serta kitab-kitab yang didalamnya terdapat hukum-hukum dan sariat yang
disampaikan oleh Rasul dari Allah pada hamba-hambanya.
3!$uZø9tRr&ur
y7øs9Î)
tò2Ïe%!$#
tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9
$tB tAÌhçR öNÍkös9Î)
Dan telah kami turunkan Al-Qur’an kepada nabi Muhammad sebagai pengingat
dan nasehat-nasehat untuk manusia supaya mereka mengetahui apa-apa yang telah
diturunkan kepada mereka yaitu hukum-hukum dan syariat serta
penjelasan-penjelasan atas apa yang tidak mereka ketahui dari hukum-hukum
tersebut yaitu balasan / pahala bagi mereka dan pemahaman atas rahasia-rahasia
syariat.
öNßg¯=yès9ur
crã©3xÿtGt
Supaya mereka terbuka atas pemikiran mereka akan rahasia-rahasia dan
ibarat / perumpamaan yang dalam Al-Qur’an. Dan mereka terhindar dari jalan
orang-orang pendusta dan pendosa seperti apa-apa yang telah menimpa mereka
(adzab).
Asbabun
nuzul ayat:[2]
Ketika Muhammab bin Abdillah
diangkat sebagai Rasulullah orang-orang arab mengingkarinya. Mereka mengatakan
“Apakah Allah yang maha agung mengutus seorang anak manusia sebagai utusannya?
Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat kedua dari surat yusuf kemudian
Allah juga menurunkan ayat ke 43-44 ini sebagai ketegasan bagi mereka. Allah
SWT tidak hanya mengutus Muhammad sebagai rasul tetapi dikalangan orang-orang
terdahulu pun telah diutus para utusan yang hadir dari tengah kaum mereka. Dan
bagi mereka yang tetap membangkang dari dakwah Rasul balasannya adalah amuk api
neraka. Bahkan tidak jarang mendapat musibah didunia. (HR Ibnu Katsir dari
Dhahak dari Ibnu Abbas)
Pada ayat ini diuraikan kesesatan pandangan kaum musyrikin menyangkut
kerasulan Nabi Muhammad saw. Dalam penolakan terhadap apa yang diturunkan Allah
SWT mereka selalu berkata bahwa manusia tidak wajar menjadi rasul atau utusan
Allah, atau paling tidak ia harus disertai oleh malaikat. Nah, ayat ini
menegaskan bahwa: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu kepada umat manusia
kapan dan di manapun kecuali orang-orang lelaki yakni jenis manusia pilihan,
bukan malaikat yang Kami beri wahyu kepada mereka antara lain melalui malaikat
Jibril. Maka wahai orang-orang yang ragu atau tidak tahu bertanyalah kepada ahl
dzikr yakni orang-orang yang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Walaupun penggalan ayat ini turun dalam konteks tertentu, yakni objek
pertanyaan, serta siapa yang ditanya tertentu pula, namun karena redaksinya
yang bersifat umum, maka ia dapat dipahami pula sebagai perintah bertanya apa
saja yang tidak diketahui atau diragukan kebenarannya kepada siapapun yang tahu
dan tidak tertuduh objektivitasnya.
Ayat di atas mengubah redaksinya dari persona ketiga menjadi persona
kedua yang ditujukan langsung kepada mitra bicara, dalam hal ini adalah Nabi
Muhammad saw. Agaknya hal ini mengisyaratkan penghormatan kepada beliau dan
bahwa beliau termasuk dalam kelompok rasul-rasul yang diutus Allah, bahkan
kedudukan beliau tidak kurang.
Penyebutan anugerah Allah kepada Nabi Muhammad secara khusus dan bahwa
yang dianugerahkan-Nya itu adalah adz-dzikr mengesankan perbedaan kedudukan
beliau dengan para nabi dan para rasul sebelumnya. Dalam konteks ini Nabi
Muhammad SAW bersabda: “Tidak seorang
nabipun kecuali telah dianugerahkan Allah apa (bukti-bukti indrawi) yang
menjadikan manusia percaya padanya. Dan sesungguhnya aku dianugerahi wahyu
(al-Qur'an) yang bersifat immaterial dan kekal sepanjang masa, maka aku
mengharap menjadi yang paling banyak pengikutnya di hari kemudian".
(HR.Bukhori).
B.
Surat Al-Kahfi: 66[3]
tA$s% ¼çms9 4ÓyqãB ö@yd y7ãèÎ7¨?r& #n?tã br& Ç`yJÏk=yèè? $£JÏB |MôJÏk=ãã #Yô©â ÇÏÏÈ
“Musa Berkata kepada Khidhr: "Bolehkah Aku mengikutimu
supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang Telah
diajarkan kepadamu?"
Tafsir
ayat:
Apakah engkau berkenan mengajarkan aku tentang
apa-apa yang tidak aku ketahui dalam kehidupan ini? Para mufassir berpendapat
bahwa ini adalah merupakan dialog nabi Musa dengan ketawaduannya sebagai
seorang nabi yang mulia (sebagai murid). Dan dari semua itu supaya manusia
mengikuti apa-apa yang telah dicontohkan oleh nabi musa as (dalam waktu
belajar).
Dalam tafsir yang lain mengatakan:[4]
Allah SWT memberitahukan perkataan Musa
kepada Khidir yang diberi ilmu tertentu oleh Allah, ilmu yang tidak
dieritahukan kepada Musa, sebagaimana Allahpun memberi Musa ilmu yang tidak
diberikan kepada nabi Khidir. “Musa berkata kepada Khidir, “Bolehkah aku
mengikutimu” sebagi permintaan belas kasihan, bukan untuk memaksa. Inilah adab
seorang pelajar terhadap gurunya. Adapun ucapan Musa, “Agar engkau mengajariku
sebagian ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu”
merupakan permintaan bimbingan terhadap ilmu bermanfaat dan amal shaleh yang
telah diajarkan Allah kepada Khidir. Pada saat itulah Khidir “menjawab” kepada
Musa, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.
“Maksudnya, kamu tidak akan sanggup menyertaiku lantaran kamu akan melihat
tindakan-tindakanku yang bertentangan dengan syariatmu. Masing-masing kita
memiliki ilmu Allah yang tidak saling kita kuasai. “Dan bagaimana kamu dapat
sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal
itu?” Kamu tidak akan menyukaiku lantaran apa yang tidak kamu ketahui.
Sebenarnya apa yang aku perlihatkan itu adalah sesuai dengan hikmah dan
kemaslahatan dari Allah. Namun, hal itu hanya diketahui oleh aku.
Musa berkata,” Insya Allah kamu akan
mendapati aku sebagai seorang yang sabar” terhadap tindakan-tindakanmu. “Dan
aku tidak menentangmu dalam suatu urusan apapun”. Pada saat itulah, Khidir
memberi syarat kepada Musa, “Khidir berkata “Jika kamu mengikuti aku maka
janganlah kmu nenanyakan kepadaku tentang apapun sampai aku sendiri
menerangkannya kepadamu”, yakni sebelum aku menjelaskan tindakanku jangan kamu
bertanya kepadaku.
Dalam pertemuan kedua tokoh pada ayat
ini diceritakan Nabi Musa yang terkesan banyak menanyakan sesuatu kepada salah
satu hamba Allah yang memiliki ilmu khusus. Sementara jawaban dari orang
tersebut menyatakan bahwa Nabi Musa tidak akan sanggup untuk sabar bersamanya.
Dan bagaimana Nabi Musa dapat sabar atas sesuatu, sementara ia belum menjangkau
secara menyeluruh beritanya.
Ucapan hamba Allah ini, memberi isyarat
bahwa seorang pendidik hendaknya menuntun anak didiknya dan memberitahu
kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu, bahkan
mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu jika sang pendidik mengetahui bahwa
potensi anak didiknya tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajarinya.
C.
Hubungan Antara Subyek Pendidikan dengan Obyek Pendidikan
1.
Subyek Pendidikan[5]
Subyek pendidikan atau yang biasa
disebut dngan guru adalah seorang pemimpin sejati, pembimbing dan pengarah yang
bijaksana. Pencetak para tokoh dan pemimpin umat. Oleh karena itu, seorang guru
dituntut harus memiliki berbagai sifat dan sikap antara lain:
a.
Seorang guru harus
manusia pilihan
b. Seorang guru hendaklah mampu mempersiapkan
dirinya sesempurna mungkin
c.
Seorang guru juga
hendaknya tidak pernah tamak dan bathil dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari
d. Seorang guru hendaknya dapat menyakini
Islam sebagai konsep Ilahi dimana dia hidup dengan konsep itu
e.
Seorang guru harus
memiliki sikap yang terpuji
f.
Penampilan seorang
guru hendaknya selalu sopan dan rapi
g. Serorang guru seyogyanya juga mampu
menjadi pemimpin yang shalih
h. Seruan dan ajaran seorang guru hendaknya
tercermin pula dalam sikap keluarganya dan atau para sahabatnya
i.Seorang
guru harus menyukai dan mencintai muridnya
2.
Obyek Pendidikan[6]
Pendidikan
ibarat uanga logam, selalu memiliki dua sisi. Yakni, satu pihak bertugas
mengajar, sedangkan pihak lain tugasnya belajar. Satu sisi memberi, sisi lain
menerima.
Anak
didik, merupakan salah satu dari dua sisi tersebut. Yang memiliki tugas
menerima konsep pendidikan, agar dirinya terbentuk Insan Muslim. Yang kenal dan
tahu akan Tuhan dan agamanya. Memiliki akhlak Al-Qur’an. Bersifat, bersikap,
dan bertindak sesuai dengan kaidah Al-Qur’an. Berfikir dan berbuat demi
kepentingan ummat. Serta selalu turut ambil bagian dalam kegiatan pembangunan
manusia seutuhnya. Selain giat memajikan kegiatan ummat lewat alam nyata,
karena ilmunya telah mereka kuasai dengan baik.
3.
Hubungan Antar Keduanya[7]
Dalam
pengelolaan belajar mengajar, guru dan mirud memegang peranan penting. Guru
mengajar dan murid belajar. Jika tugas pokok guru adalah “mengajar” maka tugas
pokok murid adalah “belajar”. Keduanya amat berkaitan dan saling bergantungan,
satu sama lain tidak terpisahkan dan berjalan serempak dalam proses belajar
mengajar.
Dalam
surat An-Nurr yang berbunyi:
w
(#qè=yèøgrB uä!$tãß
ÉAqߧ9$#
öNà6oY÷t/
Ïä!%tæßx.
Nä3ÅÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ 4
Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti
panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain) ...." (An-Nuur:
63).
Sebagai seorang murid yang taat kepada guru hendanua tidak memanggil
gurunya dengan sebutan namanya, sebagaimana kalian saling memanggil antara
sesama kalian. Jika engkau mengetahui kesalahan atau kebimbangan gurumu, janganlah jadikan itu alasan untuk meremehkannya,
karena itulah yang akan menjadi sebab engkau tidak akan memperoleh ilmu, dan
siapakah orangnya yang tidak pernah salah?
Sebagai
obyek, murid menerima pelajaran bimbingan dan berbagai tugas serta perintah
dari guru dan sekolah, dan sebagai subyek ia menentukan dirinya sesuai dengan
potensi yang dimilikinya dalam rangka mencapai hasil belajar. Tugas-tugas murid
sebagai subyek senantiasa berkaitan dengan kedudukannya sebagai obyek.
Dengandasar
pandangan tersebut diartas, maka tugas murid dapat dilihat dari berbagai aspek,
sejalan dengan aspek tugas guru, yaitu aspek yang berhubungan dengan belajar,
aspek yang berhubungan dengan bimbingan, dan aspek yang berhubungan dengan
administrasi. Selain dari itu murid pun bertugas pula untuk menjaga hubungan baik
dengan guru maupun dengan sesame temannya dan untuk senantiasa meningkatkan
keefektifan belajar bagi kepentingan dirinya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi. A. Mustafa, Tafsir Al-Maraghi,
Darul Fikr, Bairut, 2002.
Al-rifai.
Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3,
Gema Insani, Jakarta;2000.
Drajat. Zakiah, Metodik Khusus Pengajaran
Agama Islam, Bumi Aksara, Jakarta; 2001.
Isa. Kamal Muhammad, Menejemen
Pendidikan Islam, PT Fika Hati Aneska, Jakarta;1994.
Mahali.
A. Mudjab, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur’an Surat Al-Baqarah- AnNas, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta;
2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar