Sabtu, 13 Oktober 2012

SUBYEK PENDIDIKAN II

A. Surat An-Nahl: 43-44[1]
!$tBur $uZù=yör& ÆÏB y7Î=ö6s% žwÎ) Zw%y`Í ûÓÇrqœR öNÍköŽs9Î) 4 (#þqè=t«ó¡sù Ÿ@÷dr& ̍ø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. Ÿw tbqçHs>÷ès? ÇÍÌÈ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ

“Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka  dan supaya mereka memikirkan,”


Tafsir ayat:
!$tBur $uZù=yör& ÆÏB y7Î=ö6s% žwÎ) Zw%y`Í ûÓÇrqœR öNÍköŽs9Î) 4
Dan tidaklah kami utus sebelum kamu (Muhammad) seorang rasul kepada kaum-kaumnya untuk mengajak kepada ketauhidan (pengesaan Allah) dan untuk menunaikan perintahnya, kecuali seorang laki-laki dari anak adam yang diberikan wahyu kepada mereka bukan malaikat.
Hadits dari Ibnu Abbas ra: Sesungguhnya Allah ketika mengutus nabi Muhammad saw kaum arab telah mengingkari terhadap kenabian nabi Muhammad mereka berkata: Allah adalah zat yang paling mulia dari pada orang (manusia) yang diutusnya. Maka Allah menurunkan Ayat:


4 (#þqè=t«ó¡sù Ÿ@÷dr& ̍ø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. Ÿw tbqçHs>÷ès?
Maka bertanyalah kalian (penduduk kurais) kepada ahli kitab yang terdahulu dari orang orang yahudi dan nasrani, apakah seorang manusia itu dijadikan Rasul untuk kami semua ataukah malaikat: apabila malaikat maka ingkarilah dan apabila manusia maka jangan engkau ingkari sebagai mana nabi Muhammad dijadikan Rasul.
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur
Dan tidaklah kami mengutus kecuali seorang laki-laki yang dibekali dengan petunjuk dan hujjah yang telah engkau saksikan untuk membuktikan kenabian mereka serta kitab-kitab yang didalamnya terdapat hukum-hukum dan sariat yang disampaikan oleh Rasul dari Allah pada hamba-hambanya.

3!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î)
Dan telah kami turunkan Al-Qur’an kepada nabi Muhammad sebagai pengingat dan nasehat-nasehat untuk manusia supaya mereka mengetahui apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka yaitu hukum-hukum dan syariat serta penjelasan-penjelasan atas apa yang tidak mereka ketahui dari hukum-hukum tersebut yaitu balasan / pahala bagi mereka dan pemahaman atas rahasia-rahasia syariat.

öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ  
Supaya mereka terbuka atas pemikiran mereka akan rahasia-rahasia dan ibarat / perumpamaan yang dalam Al-Qur’an. Dan mereka terhindar dari jalan orang-orang pendusta dan pendosa seperti apa-apa yang telah menimpa mereka (adzab).
Asbabun nuzul ayat:[2]
            Ketika Muhammab bin Abdillah diangkat sebagai Rasulullah orang-orang arab mengingkarinya. Mereka mengatakan “Apakah Allah yang maha agung mengutus seorang anak manusia sebagai utusannya? Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat kedua dari surat yusuf kemudian Allah juga menurunkan ayat ke 43-44 ini sebagai ketegasan bagi mereka. Allah SWT tidak hanya mengutus Muhammad sebagai rasul tetapi dikalangan orang-orang terdahulu pun telah diutus para utusan yang hadir dari tengah kaum mereka. Dan bagi mereka yang tetap membangkang dari dakwah Rasul balasannya adalah amuk api neraka. Bahkan tidak jarang mendapat musibah didunia. (HR Ibnu Katsir dari Dhahak dari Ibnu Abbas)
Pada ayat ini diuraikan kesesatan pandangan kaum musyrikin menyangkut kerasulan Nabi Muhammad saw. Dalam penolakan terhadap apa yang diturunkan Allah SWT mereka selalu berkata bahwa manusia tidak wajar menjadi rasul atau utusan Allah, atau paling tidak ia harus disertai oleh malaikat. Nah, ayat ini menegaskan bahwa: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu kepada umat manusia kapan dan di manapun kecuali orang-orang lelaki yakni jenis manusia pilihan, bukan malaikat yang Kami beri wahyu kepada mereka antara lain melalui malaikat Jibril. Maka wahai orang-orang yang ragu atau tidak tahu bertanyalah kepada ahl dzikr yakni orang-orang yang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Walaupun penggalan ayat ini turun dalam konteks tertentu, yakni objek pertanyaan, serta siapa yang ditanya tertentu pula, namun karena redaksinya yang bersifat umum, maka ia dapat dipahami pula sebagai perintah bertanya apa saja yang tidak diketahui atau diragukan kebenarannya kepada siapapun yang tahu dan tidak tertuduh objektivitasnya.
Ayat di atas mengubah redaksinya dari persona ketiga menjadi persona kedua yang ditujukan langsung kepada mitra bicara, dalam hal ini adalah Nabi Muhammad saw. Agaknya hal ini mengisyaratkan penghormatan kepada beliau dan bahwa beliau termasuk dalam kelompok rasul-rasul yang diutus Allah, bahkan kedudukan beliau tidak kurang.
Penyebutan anugerah Allah kepada Nabi Muhammad secara khusus dan bahwa yang dianugerahkan-Nya itu adalah adz-dzikr mengesankan perbedaan kedudukan beliau dengan para nabi dan para rasul sebelumnya. Dalam konteks ini Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidak seorang nabipun kecuali telah dianugerahkan Allah apa (bukti-bukti indrawi) yang menjadikan manusia percaya padanya. Dan sesungguhnya aku dianugerahi wahyu (al-Qur'an) yang bersifat immaterial dan kekal sepanjang masa, maka aku mengharap menjadi yang paling banyak pengikutnya di hari kemudian". (HR.Bukhori).

B. Surat Al-Kahfi: 66[3]
tA$s% ¼çms9 4ÓyqãB ö@yd y7ãèÎ7¨?r& #n?tã br& Ç`yJÏk=yèè? $£JÏB |MôJÏk=ãã #Yô©â ÇÏÏÈ
“Musa Berkata kepada Khidhr: "Bolehkah Aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang Telah diajarkan kepadamu?"
Tafsir ayat:
Apakah engkau berkenan mengajarkan aku tentang apa-apa yang tidak aku ketahui dalam kehidupan ini? Para mufassir berpendapat bahwa ini adalah merupakan dialog nabi Musa dengan ketawaduannya sebagai seorang nabi yang mulia (sebagai murid). Dan dari semua itu supaya manusia mengikuti apa-apa yang telah dicontohkan oleh nabi musa as (dalam waktu belajar).
Dalam tafsir yang lain mengatakan:[4]
        Allah SWT memberitahukan perkataan Musa kepada Khidir yang diberi ilmu tertentu oleh Allah, ilmu yang tidak dieritahukan kepada Musa, sebagaimana Allahpun memberi Musa ilmu yang tidak diberikan kepada nabi Khidir. “Musa berkata kepada Khidir, “Bolehkah aku mengikutimu” sebagi permintaan belas kasihan, bukan untuk memaksa. Inilah adab seorang pelajar terhadap gurunya. Adapun ucapan Musa, “Agar engkau mengajariku sebagian ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu” merupakan permintaan bimbingan terhadap ilmu bermanfaat dan amal shaleh yang telah diajarkan Allah kepada Khidir. Pada saat itulah Khidir “menjawab” kepada Musa, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. “Maksudnya, kamu tidak akan sanggup menyertaiku lantaran kamu akan melihat tindakan-tindakanku yang bertentangan dengan syariatmu. Masing-masing kita memiliki ilmu Allah yang tidak saling kita kuasai. “Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Kamu tidak akan menyukaiku lantaran apa yang tidak kamu ketahui. Sebenarnya apa yang aku perlihatkan itu adalah sesuai dengan hikmah dan kemaslahatan dari Allah. Namun, hal itu hanya diketahui oleh aku.
        Musa berkata,” Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar” terhadap tindakan-tindakanmu. “Dan aku tidak menentangmu dalam suatu urusan apapun”. Pada saat itulah, Khidir memberi syarat kepada Musa, “Khidir berkata “Jika kamu mengikuti aku maka janganlah kmu nenanyakan kepadaku tentang apapun sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu”, yakni sebelum aku menjelaskan tindakanku jangan kamu bertanya kepadaku.
        Dalam pertemuan kedua tokoh pada ayat ini diceritakan Nabi Musa yang terkesan banyak menanyakan sesuatu kepada salah satu hamba Allah yang memiliki ilmu khusus. Sementara jawaban dari orang tersebut menyatakan bahwa Nabi Musa tidak akan sanggup untuk sabar bersamanya. Dan bagaimana Nabi Musa dapat sabar atas sesuatu, sementara ia belum menjangkau secara menyeluruh beritanya.
        Ucapan hamba Allah ini, memberi isyarat bahwa seorang pendidik hendaknya menuntun anak didiknya dan memberitahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu, bahkan mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu jika sang pendidik mengetahui bahwa potensi anak didiknya tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajarinya.

C. Hubungan Antara Subyek Pendidikan dengan Obyek Pendidikan
1. Subyek Pendidikan[5]
        Subyek pendidikan atau yang biasa disebut dngan guru adalah seorang pemimpin sejati, pembimbing dan pengarah yang bijaksana. Pencetak para tokoh dan pemimpin umat. Oleh karena itu, seorang guru dituntut harus memiliki berbagai sifat dan sikap antara lain:
a.   Seorang guru harus manusia pilihan
b.  Seorang guru hendaklah mampu mempersiapkan dirinya sesempurna mungkin
c.   Seorang guru juga hendaknya tidak pernah tamak dan bathil dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari
d.  Seorang guru hendaknya dapat menyakini Islam sebagai konsep Ilahi dimana dia hidup dengan konsep itu
e.   Seorang guru harus memiliki sikap yang terpuji
f.   Penampilan seorang guru hendaknya selalu sopan dan rapi
g.  Serorang guru seyogyanya juga mampu menjadi pemimpin yang shalih
h.  Seruan dan ajaran seorang guru hendaknya tercermin pula dalam sikap keluarganya dan atau para sahabatnya
i.Seorang guru harus menyukai dan mencintai muridnya
2. Obyek Pendidikan[6]
Pendidikan ibarat uanga logam, selalu memiliki dua sisi. Yakni, satu pihak bertugas mengajar, sedangkan pihak lain tugasnya belajar. Satu sisi memberi, sisi lain menerima.
Anak didik, merupakan salah satu dari dua sisi tersebut. Yang memiliki tugas menerima konsep pendidikan, agar dirinya terbentuk Insan Muslim. Yang kenal dan tahu akan Tuhan dan agamanya. Memiliki akhlak Al-Qur’an. Bersifat, bersikap, dan bertindak sesuai dengan kaidah Al-Qur’an. Berfikir dan berbuat demi kepentingan ummat. Serta selalu turut ambil bagian dalam kegiatan pembangunan manusia seutuhnya. Selain giat memajikan kegiatan ummat lewat alam nyata, karena ilmunya telah mereka kuasai dengan baik.
3. Hubungan Antar Keduanya[7]
Dalam pengelolaan belajar mengajar, guru dan mirud memegang peranan penting. Guru mengajar dan murid belajar. Jika tugas pokok guru adalah “mengajar” maka tugas pokok murid adalah “belajar”. Keduanya amat berkaitan dan saling bergantungan, satu sama lain tidak terpisahkan dan berjalan serempak dalam proses belajar mengajar.
Dalam surat An-Nurr yang berbunyi:
žw (#qè=yèøgrB uä!$tãߊ ÉAqߧ9$# öNà6oY÷t/ Ïä!%tæßx. Nä3ÅÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ 4
Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain) ...." (An-Nuur: 63).
Sebagai seorang murid yang taat kepada guru hendanua tidak memanggil gurunya dengan sebutan namanya, sebagaimana kalian saling memanggil antara sesama kalian. Jika engkau mengetahui kesalahan atau kebimbangan gurumu, janganlah jadikan itu alasan untuk meremehkannya, karena itulah yang akan menjadi sebab engkau tidak akan memperoleh ilmu, dan siapakah orangnya yang tidak pernah salah?
Sebagai obyek, murid menerima pelajaran bimbingan dan berbagai tugas serta perintah dari guru dan sekolah, dan sebagai subyek ia menentukan dirinya sesuai dengan potensi yang dimilikinya dalam rangka mencapai hasil belajar. Tugas-tugas murid sebagai subyek senantiasa berkaitan dengan kedudukannya sebagai obyek.
Dengandasar pandangan tersebut diartas, maka tugas murid dapat dilihat dari berbagai aspek, sejalan dengan aspek tugas guru, yaitu aspek yang berhubungan dengan belajar, aspek yang berhubungan dengan bimbingan, dan aspek yang berhubungan dengan administrasi. Selain dari itu murid pun bertugas pula untuk menjaga hubungan baik dengan guru maupun dengan sesame temannya dan untuk senantiasa meningkatkan keefektifan belajar bagi kepentingan dirinya sendiri.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi. A. Mustafa, Tafsir Al-Maraghi, Darul Fikr, Bairut, 2002.
Al-rifai. Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3,    Gema Insani, Jakarta;2000.
Drajat. Zakiah, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Bumi Aksara, Jakarta; 2001.
Isa. Kamal Muhammad, Menejemen Pendidikan Islam, PT Fika Hati Aneska, Jakarta;1994.
Mahali. A. Mudjab, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur’an Surat Al-Baqarah-         AnNas, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta; 2002


      [1] A. Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Darul Fikr, Bairut, 2002. hal-88-89
      [2] A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur’an Surat Al-Baqarah-AnNas, (Jakarta; PT Radja Grafindo Persada, 2002)
     [3] A. Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi.....hal, 170
     [4] Muhammad Nasib Al-rifai, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3, (Jakarta; Gema Insani, 2000), hal-157
      [5] Zakiah Drajat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta; Bumi Aksara, 2001), hal-264
      [6] Kamal Muhammad Isa, Menejemen Pendidikan Islam, (Jakarta; PT Fika Hati Aneska, 1994), hal-79
     [7] Kamal Muhammad Isa, Menejemen Pendidikan Islam, (Jakarta; PT Fika Hati Aneska, 1994), hal-64

Tidak ada komentar:

Posting Komentar