Ilmu social dinamakan demikian,
karena ilmu tersebut mengambil masyarakat atau kehiduapan bersama sebagai objek
yang dipelajari. Ilmu ilmu social belum memiliki kaidah dan dalil yang tetap
dimana oleh bagian yang terbesar masyarakat, oleh karena itu ilmu social belum
lama berkembang, sadangkan yang menjadi objeknya masyarakat terus berubah.
Sifat masyarakat terus berubah-ubah, hingga belum dapat diselidiki dianalisis
secara tuntas hubungan antara unsure-unsur dalam kehidupan masyarakat yang
lebih mendalam. Lain halnya dengan ilmu pengetahuan alam yang telah lama
berkembang, sehingga telah memiliki kaidah dan dalil yang teratur dan diterima
oleh masyarakat, dikarenakan objeknya bukan manusia. Ilmu social yang masih
muda usianya, baru sampai pada tahap analisis dinamika artinya baru dalam
datara tentang analisis dataran masyarakat manusia yang bergerak. (Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar).
Ditengah kehidupan masyarakat,
banyak sumber pengetahuan yang bersifat taken for granted, sumber tanpa perlu
diolah lagi tetapi diyakini akan membantu memahami realitas kehidupan ini.
Masyarakat dapat langsung begitu saja memakai pengetahuan taken for granted
tersebut sebagai sebuah pegangan yang diyakini benar atau berguna untuk
meemmahami dunia dimana ia hidup. Jenis pengetahuan tanpa diolah lagi tentu
saja banyak dan tersebar, mulai dari system keyakinan, tradisi agama, pandangan
hidup ideology, paradigma dan juga teori, dan termasuk didalamnya teori social.
Dalam masyarakat intelektual, terutama dalam tradisi positivisme lazim untuk
mengambil sumber pengetahuan taken forr granted tersebut dari ranah paradigma
dan teori. Kendati demikian, teori sebenarnnya bukan hanya untuk kalangan
intelektual atau kalangan expert, mesti tidak sedikit yang berpandaangan hanya
kalangan intelektual atau akademisi saja yang membaca realitas social tidak
dengan telanjang, melainkan dengan kacamata teori tertentu. Memanga telah
menjadi tradisi dikalangan intelektual dalam membaca realitas social dengan
menggunakan kacamata atau teori tertentu. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
Dalam beberapa hal, teori ilmiah
berbeda dengan asumsi-asumsi yang telah ada dalam kehidupan sehari-hari dan
secara tidak sadar telah dimiliki orang. Pengetahuan yang dimiliki oleh
seseorang dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi suatu teori yang merupakan
bagaian dari kegaitan ilmiah. Dalam memamasuki era pelahiran ini merupakan
kajian dari teori yang eksplisit, sehingga menjadi objektif, kritis, dan lebih
abastrak dari pada yang dilakasanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam proses
pemebentukan teori tidak pernah muncul dari awal, tidak mungkin bagi ahli teori
social untuk menghilangkan pengaruh-pengaruh pengalaman social pribadinya, tau
pengaruh dari pengalaman ini cara pandang dunia social. Proses pembentukan
teori berlandaskan pada images fundamenatal tertentu mengenai kenyataan social.
Gambaran tersebut dapat melingkupi asumsi filosofis, dasar mengenai sifat
manusia dan masyarakat, atau sekurang-kurangnya pandangan yang mengatakan bahwa
keterturan tertentu akan dapat diramalkan dalam dunia social. Teori ilmiah
lebih menggunakan metodologi dan bersifat empiris. (Doyle Paul Jonshon, Teori
Sosiologi Klasik dan Modern)
Pengklasifikasian dalam ilmu
social terdapat tiga perfektif besar yang berkembang selama ini, yakni
perfektif structural fungsional, structural konflik serta konstruksionisme.
Ketiga aliran tersebut masing-masing mengkritik dengan mematahkan proposisi,
konsep maupun teori yang ditawarkan satu sama lain. Namun kritik tersebut tidak
dapat menggoyahkan hegemoni mereka masing-masing dan ketiganya masih memiliki
pengikut yang setia. Ketiga teori social tersebut, merupakan upaya dalam
memahami realitas kehidupan. Dengan teori social diharapkan orang dapat
menghimpunddan memaknai informasi secara sistematik bukan sja untuk menyumbang
pengembangan teori, tetapi ebih penting lagi untuk memecahkan persolan dan
untuk tujuan keberhasilan dalam mengarungi pergumulan kehidupan. (Zainuddin
Maliki, Narasi Agung)
Micheal Root dalam philosophy of
social science, membedakan jenis ilmu social, yakni ilmu social yang bercorak
liberal dan ilmu social bercorak perfeksionis. Ilmu social liberal dikarenakan
ia tidak berusaha mempromosikan suatu cita-cita social, nilai keajikan
tertentu. Akar dari gagasan liberal ialah liberalisme dalam politik. Peneliti
dalam ilmu ini bersifat neutralisme, tetapi tidak pernah terjadi dalam ilmu
social. Lain halnya dengan ilmu social yang bercorak perfeksionis berusaha
mencari wahana dari cita-cita mengenai kebajikan, jadi dalam ilmi ini bersifat
partisipan. Ilmu social ini bersifat tidak bebas nilai, menghargai objek-objek
ubjek yang diteliti dan bahkan menjadikannya sebagai subjek. Data yang baik
dalam pandangan cita-cita liberal merupakan yang bebas dari muatan nilai, moral
dan kebajikan objek penelitiannya, tetapi hal ini tidak akan pernah terjadi
walaupun dalam penelitiannya bekerja keras. Contoh dari ilmu osial perfeksiois
marxisme dan feminisme. Marxisme mencita-citakan masyarakat tanpa kelas,
sedangkan feminisme masyarakat tanpa eksploitasi seksual. Keduanya memiliki
persamaan anti eksploitasi dan dominasi. Selanjutnya Root mengusulka agar dalam
cita-cita ilmu social liberal diganti dengan ilmu social perfeksionis yang
communitarian, yakni ilmui sosial yang memperhatikan nilai-nilai pada sebuah
objek penelitian, komunitas. Ilmu social communitarian adalah ilmu social jenis
partisipatory reseach, bukan ilmu osial empiris analitis dan bukan juga ilmu
social terapan. (Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid)
Paradigma Ilmu Sosial
Paradigma dapat didefinisikan
bermacam-macam sesuai dengan sudut pandang masing-masing orang. Ada yang
menyatakan paradigma merupakan citra yang fundamental dari pokok permasalahan
suatu ilmu. Paradigma menggariskan apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan-pernyataan
yang seharusnya dikemukan dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam
menafsirkan jawaban yang diperolehnya. Paradigma diibaratkan sebuah jendela
tempat orang mengamati dunia luar, tempat orang bertolak menjelajahi dunia
dengan wawasannya (world view). (Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian
Social). George Ritzer mendefisikan tentang paradigma gambaran fundamental
mengenai subjek ilmu pengetahuan. Ia memberikan batasan apa yang harus dikaji,
pertanyaan yang harus diajukan, bagaimana harus dijawab, dan aturan-aturan yang
harus diikuti dalam memahami jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan unit
consensus yang amat luas dalam ilmu pengetahuan dan dipakai untuk memalakukan
pemilihan masyarakat ilmu pengetahuan (sub-masyarakat) yang satu dengan
masyarakat pengetahuan yang lain. Dengan paradigma menjadikan suatu pengetahuan
akan mendapatkan informasi teori yang dapat mengkoordinasikan pengetahuan dan
memberikannya makna. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung)
Sebagai suatu konsep paradigma pertama
kali dikenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya the structure of scientific
revolution, kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs melalui bukuya
socilology of sociology 1970. Tujuan utama dalam bukunya Kuhn; ia menentang
asumsi yang berlaku secara umum dikalangan ilmuan mengenai perkembangan ilmu
pengetahuan. Kalangan ilmuan pada umumnya berdiri bahwa perkembangan kemajuan
ilmu pengetahuan terjadi secara komulatif. Kuhn menilai pandangan demikian
merupakan mitos yang harus dihilangkan. Sedangkan tesisnya bahwa perkembangan
ilmu pengetahuan bukan terjadi secara komulatif tetapi secara revolusi.
Perubahan yang utama dan penting dalam ilmu pengetahuan terjadi akibat dari
revolusi, bukan karena perkembangan secara komulatif. (George Ritzer, Sosiologi
Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar