A.
Pendahuluan
Aceh merupakan negara kota Islam
yang puncak kejayaannya pada paruh pertama abad ke-17 yaitu pada pemerintahan
Iskandar Muda (1603-1636). Kerajaan ini menurut A.H. Johns diindikasikan antara
lain oleh: guru-guru Islam pempunyai peran di istana dan dalam administrasi
pemerintahan. Dengan demikian, komunitas guru agama dan para ulama’, dengan
berbagai kegiatannya memberi arti berkembang dan bangsanya ilmu pengetahuan
diwilayah Aceh bahkan keluar Aceh.
Mempertimbangkan aktivitas ulama
sebagaimana digambarkan diatas dapat diasumsikan bahwa pendidikan berkembang
sedemikian pesat di Aceh, setidaknya memberi gerak baru bagi kehidupan sosial
yang berlaku dan pengaruhnya sangat terasa pada dekade belakangan, dan dalam
kerangka ini adalah menarik untuk mengetahui lembaga kependidikan di kesultanan
Aceh Dsrussalam, apalagi telah dipahami Aceh menjadi pusat kerajaan maritim
yang perkasa yang sangat Islami dimasa lampau.
B. Sejarah
Singkat Kesultanan Aceh
Pada abad ke-9 telah berdiri
kerajaan Islam Peureulak, dengan ibu kotanya Bandar Khalifah. Penamaan Bandar
khalifah merupakan kenabgan terhadap nakhoda khalifah yang pertama sekali
membawa Agama Islam ke sana. Di samping membagi tugas tenegaraan menjadi lima
bidang, yang masing-masing masih dipakai oleh seorang wasir, kesultanan
Peureulak yang mempunyai majelis fatwa yang dikepalai seorang Mufti, yang
diangkat ulama. Lebih jauh disebutkan sistem ini tidak mengalami perubahan yang
berarti sampai diintegrasikannya Peureulak kedalam kesultanan Aceh Darussalam.
Dalam usahanya untuk meenguasai
jalur pelayaran selat Malaka dan daerah sekitarnya, angkatan laut Sriwijaya
pada tahun 1986 M menyerang Peureulak. Kedua sultan Peureulak bersatu melawan
serangan ini, namun peperangan ini berahit tahun 1006 M, karena Sriwijaya
menarik pasukannya untuk menghadapi serangan dari Majapahit. Pada masa itu
Sayyid Maulana Muhammad Syah wafat, sehingga puncak pemerintahan dipimpin oleh
Mahdun Alaidin Malik Ibrahim Syah Johan yang berdaulat. Setelah mengalami
pergantian sultan beberapa kali, maka sultan terakhir bernama Mahdun Malik
Abdul Aziz naik tahta (1263-1292). Pada masa itu telah berdiri pula karajaan
Islam di daerah Pase yang dipimpin oleh Sultan Malik Al Saleh. Sultan Pase
mengawini Putri Sultan Puerlak dan pase disatukan dengan raja MAlik Al Saleh.
Raja ini tercatat dalam sejarah sebagai raja pertama Kerajaan Samudra Pase, dan
dikenal sebagagi raja yang tulus, shaleh dan rendah hati.
Lebih lanjut diriwayatkan Sultan
Muhammad MAlik Al Zahir berkuasa dari tahun 1289-1326. ia kemudian digantikan
dengan piutranya Sultan Ahmad Laid Kudzahir. Pada saai ini kerajaan Samudra
Pase telah tumbuh dan berkembang dan menjalin hubungan dagang dengan bangak
negara.
Ketentraman Pase terganggu Portugis
setelah menaklukan Malaka tahun 1551. setelah itu, perlawanan menentang
penjajah merupakan sejarah panjang yang dilalui daerah Aceh.
Proklamasi kesultanan Aceh
Darussalam berlangsung pada hari jum’at bulan Ramadhan 601 H (1205 M) dengan
raja pertama Sultan Alaidin Johan Syah
Proklamasi Kesultanan Aceh
Darussalam berlangsung pada hari Jumat bulan Ramadhan 601 H (1205 M) dengan
Raja Pertama Sultan Alaidin Johan Syah. Di samping membangun ibu kota Negara
yang baru, yaitu Banda Darussalam (Banda Aceh) sekarang, ia juga mendirikan
tempat peristirahatan di daerah dataran tinggi, di atas kampong Mamprai. Dan di
tempat inilah Sultan dimakamkan, demikian pula kedua puteranya, Sultan Ahmad
Syah dan Sultan Mahmujd Syah. Lebih lanjut A. Hasjmy menyebut sejumlah sultan
Alaidin Mughayat Syah (1511-1530).
Dalam perjalanan sejarahnya,
Kerajaan Aceh Darussalam pernah mengalami zaman-zaman naik menanjak di puncak
kebesaran dan adakalanya mengalami masalah kemunduran. Tercatat, masa-masa
semenjak Sultan Alaidin Mughayat Syah sampai kepada masa Ratu Tajul Alam Safiatuddin
adalah zaman gemilang, sementara zaman-zaman setelah itu, setelah pemerintahan
Ratu Nurul Alam Naqiyatuddin sampai kepada Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah,
adalah masa suram yang terus menurun. Sultan Alaidin Ali Mughayat Syah,
al-Qahhar, Iskandar Muda raja Kerajaan Aceh Darussalam.
C.
KEBERADAAN DAN AKTIVITAS ULAMA PADA KESULTANAN ACEH DARUSSALAM ABAD XVI-XVII
Di atas telah dijelaskan, sejak
Kesultanan Peureulak sampai Aceh Darussalam, sultan didampingi lima wazir dan
sebuah majelis fatwa. Keadaan ini memberi petunjuk bahwa peranan ulama dalam
system pemerintahan yang ada sangatlah penting. Senada juga bias dilihat dalam
struktur pemerintahan “gampong” yang terdiri dari: keuchik, teungku, dan
ureueng tuha. Namun, jika diperhatikan system yang berlaku pada satu sisi
kedudukan ulama berada diluar struktur
kekuasaan.
Ketika Ibnu Bathutah
(1345/46)singgah di Samudera Pasai, ia melihat pentingnya peranan ulama dan
fuqaha di istana Sultan yang terdiri dari berbagai bangsa terutama Persia. Para
ulama tersebut merupakan penasehat Sultan dan puteranya. Di sana terjadi
diskusi soal-soal keagamaan. Hal ini tampaknya berlanjut pada kerajaan Aceh
Darussalam.
A.H.Johns menjelaskan semasa
pemerintahan Iskandar Muda ulama banyak didatangkan ke Aceh dari Asia selatan
dan Haramayn dengan membawa referensi actual termasuk tafsir, fiqih, dan
tasawuf. Di samping itu para ulama juga banyak yang pergi ke pusat-pusat
intelektual muslim, seperti Hijaz dan Yaman, dengan motivasi yang tinggi untuk
belajar, sekaligus menunaikan ibadah haji. Aceh selalu mengadakan kontak dengan
dunia Arab, berhubungan dengan kesultanan di India (Mughal), Afrika Timur, dan
mengiringi duta-duta ke Istanbul. Selanjutnya, A.H.Johns berteori bahwa
munculnya tokoh-tokoh ulama-ulama intelektual bermula dari istana, karena
mereka memperoleh perlindungan dari Sultan. Dengan demikian munculnya
tokoh-tokoh seperti Syamsuddin As-Sumatrani, Abdurrauf Singkel, Hamzah Fanzuri
dan Nuruddin Arraniri tidak terlepas dari kondisi social yang ada pada saat itu.
Qanun Meukuta Alam juga menunjukkan
bahwa keterkaitan antara raja dan ulama sedemikian rupa. Di antara
lembaga-lembaga Negara, ada bidang Negara yang tugasnya meliputi pendidikan dan
ilmu pengetahuan, yaitu:
1. Balai
Setia Hukana’ yang dapat disamakan dengan lembaga ilmu pengetahuan, tempat
berkumpulnya para sarjana dan hukama untuk membahas dan mengembangkan ilmu
pengetahuan.
2. Balai
Setia Ulama; yang dapat disamakan dengan jawatan pendidikan, yang bertugas
mengurus masalah-masalah pendidikan.
3. Balai
Jama’ah Himpunan Ulama; yang dapat disamakan dengan Majelis Ulama Indonesia.
D.
LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN DAN FUNGSINYA
Saat Iskandar Mudaberkuasa, banyak
penduduk dari Aceh yang banyak tahu tulis baca dan berhitung. Iskandar Muda
mempunyai minat yang besar untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga untuk
itu banyak dayah (pesantren)yang didirikannya, bermunculan pula ulama-ulama
terkenal.
Para ulama memahami hokum-hukum
Islam sedalam-dalamnya. Pengetahuan mereka meliputi Syaraf, nahwu, yang
dengannya mereka mendalami buku-buku yang ditulis dalam bahasa Arab. Selain
itu, ditemukan pula buku-buku berbahasa melayu.
Di Aceh tercatat sejumlah lembaga
pendidikan yang terbentuk berdasarkan konteks social, yang masih dapat
ditemukan sampai sekarang, khas keacehan. Lembaga-lembaga yang dimaksud antara
lain:
1. Meunasah.
2. Rangkang.
3. Dayah.
E. KITAB /
KARYA-KARYA ULAMA YANG DIHASILKAN PADA MASA KESULTANAN ACEH DARUSSALAM ABAD
XVI-XVII
1. Karya-karya
Hamzah Fansuri.
Hamzah
Fansuri yang hidup antara pertengahan abad ke-16 hingga abad ke-17,
karya-karyanya dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, pertama karya yang
berbentuk prosa, yaitu, Zinat al-Muwahidin (Hiasan para ahli tauhid)
atau disebut juga Syarah al-Asyigin, Asrar al-Arifin,dan Muntahi Kedua,
karya yang berbentuk syair, terdiri atas Syair Perahu, Syair Dagang, Syair
Burung Pinggi..
2. Karya-karya
dan pembaharuan al raniri
Al raniri adalah penulis produktif dan terpelajar. Menurut
berbagai sumber ia menulis tidak kurang dari 29 karya. Tetapi tidak semuanya
ditulis semasa karirnya tujuh tahun di Aceh. Karyanya yang paling banyak
ditelaah adalah al shirath al mustaqim sebagian kitab ini ditulis
sebelum ia datang ke Aceh. Karya-karyanya kebanyakan membicaraakan tentang
tasauf, kalam, fiqh, hadits, sejarah, dan perbandingan agama.
3. Karya-Karya
dan pembaharuan Al Sinkili
Al Sinkili sepanjang karirnya di Aceh, dia mendapat perlindungan
dari para sultanah. Dia menulis sekitar 22 karya, yang membahas tentang fiqh,
tafsir, kalam,dan tasauf. Karya utamanya dalam bidang fiqh adalah Mirat Al
Thullab Fi Tasyil Ma’rifah Al Ahkam Al Syariah Li Al Malik Al Wahhab. Kitab
lain yang ditulis Al Sinkili dalam bidang fiqh adalah kitab Al Faraidh, yang
diambil Mirat Al Tullab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar