Selasa, 13 Maret 2012

PENDIDIKAN ISLAM KESULTANAN ACEH DARUSSALAM ABAD XVI-XVII


A. Pendahuluan
            Aceh merupakan negara kota Islam yang puncak kejayaannya pada paruh pertama abad ke-17 yaitu pada pemerintahan Iskandar Muda (1603-1636). Kerajaan ini menurut A.H. Johns diindikasikan antara lain oleh: guru-guru Islam pempunyai peran di istana dan dalam administrasi pemerintahan. Dengan demikian, komunitas guru agama dan para ulama’, dengan berbagai kegiatannya memberi arti berkembang dan bangsanya ilmu pengetahuan diwilayah Aceh bahkan keluar Aceh.
            Mempertimbangkan aktivitas ulama sebagaimana digambarkan diatas dapat diasumsikan bahwa pendidikan berkembang sedemikian pesat di Aceh, setidaknya memberi gerak baru bagi kehidupan sosial yang berlaku dan pengaruhnya sangat terasa pada dekade belakangan, dan dalam kerangka ini adalah menarik untuk mengetahui lembaga kependidikan di kesultanan Aceh Dsrussalam, apalagi telah dipahami Aceh menjadi pusat kerajaan maritim yang perkasa yang sangat Islami dimasa lampau.


B. Sejarah Singkat Kesultanan Aceh
            Pada abad ke-9 telah berdiri kerajaan Islam Peureulak, dengan ibu kotanya Bandar Khalifah. Penamaan Bandar khalifah merupakan kenabgan terhadap nakhoda khalifah yang pertama sekali membawa Agama Islam ke sana. Di samping membagi tugas tenegaraan menjadi lima bidang, yang masing-masing masih dipakai oleh seorang wasir, kesultanan Peureulak yang mempunyai majelis fatwa yang dikepalai seorang Mufti, yang diangkat ulama. Lebih jauh disebutkan sistem ini tidak mengalami perubahan yang berarti sampai diintegrasikannya Peureulak kedalam kesultanan Aceh Darussalam.
            Dalam usahanya untuk meenguasai jalur pelayaran selat Malaka dan daerah sekitarnya, angkatan laut Sriwijaya pada tahun 1986 M menyerang Peureulak. Kedua sultan Peureulak bersatu melawan serangan ini, namun peperangan ini berahit tahun 1006 M, karena Sriwijaya menarik pasukannya untuk menghadapi serangan dari Majapahit. Pada masa itu Sayyid Maulana Muhammad Syah wafat, sehingga puncak pemerintahan dipimpin oleh Mahdun Alaidin Malik Ibrahim Syah Johan yang berdaulat. Setelah mengalami pergantian sultan beberapa kali, maka sultan terakhir bernama Mahdun Malik Abdul Aziz naik tahta (1263-1292). Pada masa itu telah berdiri pula karajaan Islam di daerah Pase yang dipimpin oleh Sultan Malik Al Saleh. Sultan Pase mengawini Putri Sultan Puerlak dan pase disatukan dengan raja MAlik Al Saleh. Raja ini tercatat dalam sejarah sebagai raja pertama Kerajaan Samudra Pase, dan dikenal sebagagi raja yang tulus, shaleh dan rendah hati.
            Lebih lanjut diriwayatkan Sultan Muhammad MAlik Al Zahir berkuasa dari tahun 1289-1326. ia kemudian digantikan dengan piutranya Sultan Ahmad Laid Kudzahir. Pada saai ini kerajaan Samudra Pase telah tumbuh dan berkembang dan menjalin hubungan dagang dengan bangak negara.
            Ketentraman Pase terganggu Portugis setelah menaklukan Malaka tahun 1551. setelah itu, perlawanan menentang penjajah merupakan sejarah panjang yang dilalui daerah Aceh.
            Proklamasi kesultanan Aceh Darussalam berlangsung pada hari jum’at bulan Ramadhan 601 H (1205 M) dengan raja pertama Sultan Alaidin Johan Syah
              Proklamasi Kesultanan Aceh Darussalam berlangsung pada hari Jumat bulan Ramadhan 601 H (1205 M) dengan Raja Pertama Sultan Alaidin Johan Syah. Di samping membangun ibu kota Negara yang baru, yaitu Banda Darussalam (Banda Aceh) sekarang, ia juga mendirikan tempat peristirahatan di daerah dataran tinggi, di atas kampong Mamprai. Dan di tempat inilah Sultan dimakamkan, demikian pula kedua puteranya, Sultan Ahmad Syah dan Sultan Mahmujd Syah. Lebih lanjut A. Hasjmy menyebut sejumlah sultan Alaidin Mughayat Syah (1511-1530).
            Dalam perjalanan sejarahnya, Kerajaan Aceh Darussalam pernah mengalami zaman-zaman naik menanjak di puncak kebesaran dan adakalanya mengalami masalah kemunduran. Tercatat, masa-masa semenjak Sultan Alaidin Mughayat Syah sampai kepada masa Ratu Tajul Alam Safiatuddin adalah zaman gemilang, sementara zaman-zaman setelah itu, setelah pemerintahan Ratu Nurul Alam Naqiyatuddin sampai kepada Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, adalah masa suram yang terus menurun. Sultan Alaidin Ali Mughayat Syah, al-Qahhar, Iskandar Muda raja Kerajaan Aceh Darussalam.

C. KEBERADAAN DAN AKTIVITAS ULAMA PADA KESULTANAN ACEH DARUSSALAM ABAD XVI-XVII
            Di atas telah dijelaskan, sejak Kesultanan Peureulak sampai Aceh Darussalam, sultan didampingi lima wazir dan sebuah majelis fatwa. Keadaan ini memberi petunjuk bahwa peranan ulama dalam system pemerintahan yang ada sangatlah penting. Senada juga bias dilihat dalam struktur pemerintahan “gampong” yang terdiri dari: keuchik, teungku, dan ureueng tuha. Namun, jika diperhatikan system yang berlaku pada satu sisi kedudukan ulama berada  diluar struktur kekuasaan.
            Ketika Ibnu Bathutah (1345/46)singgah di Samudera Pasai, ia melihat pentingnya peranan ulama dan fuqaha di istana Sultan yang terdiri dari berbagai bangsa terutama Persia. Para ulama tersebut merupakan penasehat Sultan dan puteranya. Di sana terjadi diskusi soal-soal keagamaan. Hal ini tampaknya berlanjut pada kerajaan Aceh Darussalam.
            A.H.Johns menjelaskan semasa pemerintahan Iskandar Muda ulama banyak didatangkan ke Aceh dari Asia selatan dan Haramayn dengan membawa referensi actual termasuk tafsir, fiqih, dan tasawuf. Di samping itu para ulama juga banyak yang pergi ke pusat-pusat intelektual muslim, seperti Hijaz dan Yaman, dengan motivasi yang tinggi untuk belajar, sekaligus menunaikan ibadah haji. Aceh selalu mengadakan kontak dengan dunia Arab, berhubungan dengan kesultanan di India (Mughal), Afrika Timur, dan mengiringi duta-duta ke Istanbul. Selanjutnya, A.H.Johns berteori bahwa munculnya tokoh-tokoh ulama-ulama intelektual bermula dari istana, karena mereka memperoleh perlindungan dari Sultan. Dengan demikian munculnya tokoh-tokoh seperti Syamsuddin As-Sumatrani, Abdurrauf Singkel, Hamzah Fanzuri dan Nuruddin Arraniri tidak terlepas dari kondisi social yang ada pada saat itu.
            Qanun Meukuta Alam juga menunjukkan bahwa keterkaitan antara raja dan ulama sedemikian rupa. Di antara lembaga-lembaga Negara, ada bidang Negara yang tugasnya meliputi pendidikan dan ilmu pengetahuan, yaitu:
1.      Balai Setia Hukana’ yang dapat disamakan dengan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para sarjana dan hukama untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2.      Balai Setia Ulama; yang dapat disamakan dengan jawatan pendidikan, yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan.
3.      Balai Jama’ah Himpunan Ulama; yang dapat disamakan dengan Majelis Ulama Indonesia.

D. LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN DAN FUNGSINYA
            Saat Iskandar Mudaberkuasa, banyak penduduk dari Aceh yang banyak tahu tulis baca dan berhitung. Iskandar Muda mempunyai minat yang besar untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga untuk itu banyak dayah (pesantren)yang didirikannya, bermunculan pula ulama-ulama terkenal.
            Para ulama memahami hokum-hukum Islam sedalam-dalamnya. Pengetahuan mereka meliputi Syaraf, nahwu, yang dengannya mereka mendalami buku-buku yang ditulis dalam bahasa Arab. Selain itu, ditemukan pula buku-buku berbahasa melayu.
            Di Aceh tercatat sejumlah lembaga pendidikan yang terbentuk berdasarkan konteks social, yang masih dapat ditemukan sampai sekarang, khas keacehan. Lembaga-lembaga yang dimaksud antara lain:
1.      Meunasah.
2.      Rangkang.
3.      Dayah.

E. KITAB / KARYA-KARYA ULAMA YANG DIHASILKAN PADA MASA KESULTANAN ACEH DARUSSALAM ABAD XVI-XVII
1.      Karya-karya Hamzah Fansuri.
Hamzah Fansuri yang hidup antara pertengahan abad ke-16 hingga abad ke-17, karya-karyanya dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, pertama karya yang berbentuk prosa, yaitu, Zinat al-Muwahidin (Hiasan para ahli tauhid) atau disebut juga Syarah al-Asyigin, Asrar al-Arifin,dan Muntahi Kedua, karya yang berbentuk syair, terdiri atas Syair Perahu, Syair Dagang, Syair Burung Pinggi..
 2.      Karya-karya dan pembaharuan al raniri
Al raniri adalah penulis produktif dan terpelajar. Menurut berbagai sumber ia menulis tidak kurang dari 29 karya. Tetapi tidak semuanya ditulis semasa karirnya tujuh tahun di Aceh. Karyanya yang paling banyak ditelaah adalah al shirath al mustaqim sebagian kitab ini ditulis sebelum ia datang ke Aceh. Karya-karyanya kebanyakan membicaraakan tentang tasauf, kalam, fiqh, hadits, sejarah, dan perbandingan agama.
3.      Karya-Karya dan pembaharuan Al Sinkili
Al Sinkili sepanjang karirnya di Aceh, dia mendapat perlindungan dari para sultanah. Dia menulis sekitar 22 karya, yang membahas tentang fiqh, tafsir, kalam,dan tasauf. Karya utamanya dalam bidang fiqh adalah Mirat Al Thullab Fi Tasyil Ma’rifah Al Ahkam Al Syariah Li Al Malik Al Wahhab. Kitab lain yang ditulis Al Sinkili dalam bidang fiqh adalah kitab Al Faraidh, yang diambil Mirat Al Tullab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar