PENDAHULUAN
Pengetahuan berkembang dari rasa
ingin tahu, yang merupakan ciri khas manusia karena manusia adalah satu-satunya
makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh. Binatang juga
mempunyai pengetahuan namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan
hidupnya.
Manusia mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan
hidup ini dia memiliki hal-hal baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk
kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Mausia mengembangkan kebudayaan,
manusia memberi makan kepada kehidupan, manusia “memanusiakan diri dalam
hidupnya” dan masih banyak lagi pernyataan semacam ini, semua itu pada
hakikatnya menyimpulkan bahwa manusia dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu
dalam hidupnya yang lebih tinggi dari seedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang
menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya dan pengetahuan ini jugalah
yang mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di muka bumi ini.
Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia yang disebabkan dua hal utama,
yakni pertama manusia mempunya bahasa yang mampu mengomunikasikan
informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua,
yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan dengan cepat dan
mantap adalah kemampuan berfikir menurut suatu alur kerangka berfikir tertentu.
DASAR-DASAR PENGETAHUAN
A. Definisi Pengetahuan
Secara etimologi pengetahuan
berasal dari kata dalam bahasa inggris yaitu knowledge. Dalam Encyclopedia
of Phisolophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang
benar.[1]
Sedangkan secara terminologi
akan dikemukakan beberapa definisi tentang pengetahuan. Menurut Drs. Sidi
Gazalba, pengetahuan adalah apa yang diketahuai atau hasil pekerjaan tahu.
Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, lnsaf, mengerti, dan
pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran.[2]
Dalam kamus filsafat
dijelaskan bahwa pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia
secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui
(subjek) memiliki yang diketahui (objek) dalam dirinya sendiri sedemikian aktif
sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam
kesatuan aktif.[3]
Lebih lanjut lagi dijelaskan
bahwa pengetahuan dalam arti luas berarti semua kehadiran internasional objek
dalam subjek. Namun dalam arti sempit dan berbeda dengan imajinasi atau
pemikiran belaka, pengetahuan hanya berarti putusan yang benar dan pasti (Kebenaran,
Kepastian). Disini subjek sadar akan hubungan objek dengan eksistensi. Pada
umumnya, adalah tepat kalau mengatakan pengetahuan hanya merupakan pengalaman “sadar”.
Karena sangat sulit melihat bagaimaa persisnya suatu pribadi dapat sadar akan
suatu eksisten tanpa kehadiran eksisten itu di dalam dirinya.[4]
Orang pragmatis, terutama John
Dewey tidak membedakan pengetahuan dengan kebenaran. Jadi pengetahuan itu harus
benar, kalau tidak benar adalah kontradiksi.[5]
B. Jenis Pengetahuan
Beranjak dari pengetahuan
adalah kebenaran dan kebenaran adalah pengetahuan, maka di dalam kehidupan
manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran. Burhanudin Salam,
mengatakan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat, yaitu:
1. Pengetahuan biasa
Yakni pengetahuan yang didalam
filsafat dikatakan dengan istilah common sense, dan sering diartikan
dengan good sense, karena seseorang memiliki sesuatu dimana ia menerima
secara baik. Semua orang menyebutnya sesuatu itu merah karena memang itu merah,
benda itu panas karena memang dirasakan panas dan sebagainya.
Dengan common sense,
semua orang sampai pada keyakinan secara umum tentang sesuatu, dimana
mereka akan berpendapat sama semuanya. Common sense diperoleh dari
pengalaman sehari-hari, seperti air dapat dipakai untuk menyiram bunga, makanan
dapat memuaskan rasa lapar, musim kemarau akan mengeringkan tadah hujan dan sebagainya.[6]
2. Pengetahuan ilmu
Yaitu ilmu sebagai terjemahan
dari science. Dalam pengertian yang sempit sciense diartikan
untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam, yang sifatnya kuantitatif dan
objektif.[7]
Ilmu pada prinsipnya merupakan
usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense,
suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan
sehari-hari. Namun, dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti
dengan menggunakan berbagai metode.
Ilmu dapat merupakan suatu
metode berfikir secara objektif, tujuannya untuk mengembangkan dan memberi
makna terhadap dunia faktual. Pengetahuan yang diperoleh dengan ilmu,
diperolehnya melalui observasi, eksperimen, klasifikasi. Analisis ilmu itu
oblektif dan mengenyampingkan unsur pribadi, pemikiran ligika diutamakan,
netral, dalam arti tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat kedirian,
karena dimulai dengan fakta. Ilmu merupakan milik manusia secara komprehensif.
Ilmu merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai
hal-hal yang dipelajarinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan logika dan
dapat diamati pancaindera manusia.
3. Pengatahuan filsafat
Yakni pengetahuan yang
diperoleh dari pemukiran yang bersifat kontemlatif dan spekulatiif.
Pengetaahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian
tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang sempit dan
rigid, filsafat membahas hal yang lebih luas dan mendalam. Filsafat biasanya
memberikan pengetahuan yang relatif dan kritis, sehingga ilmu yang tadinya kaku
dan cenderung tertutup menjadi longgar kembali.
4. Pengetahuan agama
Yakni
pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para utusanNya. Pengetahuan
agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama. Pengetahuan
mengandung beberapa hal yang pokok, yakni ajaran tentang cara berhubungan
dengan Tuhan, yang sering juga disebut dengan hubungan vertikal dan cara
berhubungan dengan sesama manusia, yang seeing disebut dengan hubungan
horizontal. Pengetahuan agama yang lebih penting disamping informasi tentang
Tuhan, juga informasi tentang Hari Akhir. Iman kepada Hari Akhir merupakan
ajaran pokok agama dan sekaligus merupakan ajaran yang membuat manusia optimis
akan masa depannya. Menurut para pengamat, agama masih bertahan sampai sekarang
karena adanya doktri tentang hidup setelah mati karenanya masih dinutuhkan.
C. Hakikat Pengtahuan
Pengetahuan
pada dasarnya adalah keadaan mental. Megetahui sesuatu adalah menyusun pendapat
tentang suatu objek, dengan kata lain menyusun gambaran tentang fakta yang ada
di luar akal. Persoalannya kemudian adalah apakah gambaran itu sesuai dengan
fahta atau tidak? Apakah gambaran itu benar? Atau apakah gambaran itu dekat
pada kebenaaran atau jauh dari kebenaran?
Ada dua teori untuk mengetahui hakekat
pengetahuan itu, yaitu:
1.
Realisme
Teori ini mempunyai pandangan realistis
terhadap alam. Pengetahuan menurut relisme adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya
dari apa yang ada dalam alam nyata (dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau
gambaran yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang ada di luar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti gambaran
yang terdapat dalam foto. Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa
pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan.
Ajaran
realisme percaya bahwa sesuatu atau lain cara, ada hal-hal yang hanya terdapat
didalam dan tentang dirinya sendiri, serta yang hakikatnya tidak terpengaruh
oleh seseorang.
2. Idealisme
Teori
ini menjelaskan bahwa untuk mendapatkan penmgetahuan yang benar-benar sesuai
dengan kenyataan adalah mestahil, pengetahuan adalah proses mental atau proses
psikologis yang bersifat subjektif,oleh karena itu pengetahuan bagi seseorang
idealis hanya merupakan gambaran subjektif tentang realitas, penetahuan menurut
teori ini tidak menggambarkan hakikat kebenaran.
D. Teori Pengetahuan
Pengetahuan
(knowledge atau ilmu )adalah
bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari
"berpikir ". Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia
( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu
hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan " barangkali "
keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain
karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui
oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki
pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang mejadi
tolak ukur kebenaran ?
Pertanyaan-pertanyaan
di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah
terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun
ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak
menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang
mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu
yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke
dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan
diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara
memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan
ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam
sudut pandang dan ideologi.
Atas dasar itu,
manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas- perlu
membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi
menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada
dalam benak, tetapi ia menjadi objek.
Para pemikir
menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan epistemologi (teori pengetahuan atau nadzariyyah
al ma'rifah).
Epistemologi
menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang
lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini
sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan
filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti,
Mutahhari dengan bukunya "Syinakht", Muhammad Baqir Shadr dengan
"Falsafatuna"-nya, Jawad Amuli dengan "Nadzariyyah al
Ma'rifah"-nya dan Ja'far Subhani dengan "Nadzariyyah al
Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di
sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq.
Mereka -barat-
sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan
kondisi yang mereka hadapi. Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan
kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah
cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual. Adalah
Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa
yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan
dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari
runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama
Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia
(baca: realita).
Maka dari itu,
bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang
kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah
ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah
lenyap. Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan
lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya,
Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya.
Berbeda dengan
barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam
agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat
beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi
karena interpretasi dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan
agama dan ilmu saling mendukung. Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga
sebagai ilmuwan seperti : Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al
Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang lainnya. Oleh karena itu, ledakan
intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia Islam relatif
stabil dan tenang.
E. Sumber Pengetahuan
Ada
beberapa pendapat mengenai sumber pengetahuan antara lain:
a. Empiris
Menurut
aliran ini mausia memperoleh pengetahuan melalui pengaklamannya.
b. Rasionalis
Menurut
aliran ini akal merupakan dasar kepastia pengetahuan, pengetahuan yang benar
diperoleh dan diukur dengan akal, manusia memperoleh pengetahuan melalui
kegiatan menangkap objek.
c. Intuisi
Intuisi
merupakan hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggikemampuan inimirip dengan
insting namun berbeda debgan kesadaran dan kebebasannya.
d. Wahyu
Wahyu
adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantaraan
para Nabi.
F. Mungkinkah Manusia itu Mempunyai
Pengetahuan ?
Masalah
epistemologis yang sejak dahulu dan juga sekarang menjadi bahan kajian adalah,
apakah berpengetahuan itu mungkin ? Apakah dunia (baca: realita) bisa diketahui
? Sekilas masalah ini konyol dan menggelikan. Tetapi terdapat beberapa orang
yang mengingkari pengetahuan atau meragukan pengetahuan. Misalnya, bapak kaum sophis,
Georgias, pernah dikutip darinya sebuah ungkapan berikut, "Segala sesuatu
tidak ada. Jika adapun, maka
tidak dapat diketahui, atau jika dapat diketahui, maka tidak bisa
diinformasikan."
Mereka mempunyai
beberapa alasan yang cukup kuat ketika berpendapat bahwa pengetahuan sesuatu
yang tidak ada atau tidak dapat dipercaya. Pyrrho salah seorang dari mereka
menyebutkan bahwa manusia ketika ingin mengetahui sesuatu menggunakan dua alat
yakni, indra dan akal. Indra yang merupakan alat pengetahuan yang paling dasar
mempunyai banyak kesalahan, baik indra penglihat, pendengar, peraba, pencium
dan perasa. Mereka mengatakan satu indra saja mempunyai kesalahan ratusan. Jika
demikian adanya, maka bagaimana pengetahuan lewat indra dapat dipercaya ?
Demikian pula halnya dengan akal.
Manusia seringkali
salah dalam berpikir. Bukti yang paling jelas bahwa di antara para filusuf sendiri
terdapat perbedaan yang jelas tidak mungkin semua benar pasti ada yang salah.
Maka akalpun tidak dapat dipercaya. Oleh karena alat pengetahuan hanya dua saja
dan keduanya mungkin bersalah, maka pengetahuan tidak dapat dipercaya.
Pyrrho ketika
berdalil bahwa pengetahuan tidak mungkin karena kasalahan-kesalahan yang indra
dan akal, sebenarnya, ia telah mengetahui (baca: meyakini) bahwa pengetahuan
tidak mungkin. Dan itu merupakan pengetahuan. Itu pertama. Kedua, ketika ia
mengatakan bahwa indra dan akal seringkali bersalah, atau katakan, selalu
bersalah, berarti ia mengetahui bahwa indra dan akal itu salah. Dan itu adalah
pengetahuan juga.
Alasan yang
dikemukakan oleh Pyrrho tidak sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan sesuatu
yang tidak mungkin. Alasan itu hanya dapat membuktikan bahwa ada kesalahan
dalam akal dan indra tetapi tidak semua pengetahuan lewat keduanya salah. Oleh
karen itu mesti ada cara agar akal dan indra tidak bersalah.
Menurut Ibnu Sina,
ada cara lain yang lebih efektif untuk menghadapi mereka, yaitu pukullah
mereka. Kalau dia merasakan kesakitan berarti mereka mengetahui adanya sakit (akhir
dawa' kay).
G. Syarat dan Penghalang Pengetahuan
Meskipun
berpengetahuan tidak bisa dipisahkan dari manusia, namun seringkali ada hal-hal
yang mestinya diketahui oleh manusia, ternyata tidak diketahui olehnya.
Oleh karena itu ada beberapa pra-syarat untuk memiliki
pengetahuan, yaitu :
- Konsentrasi
Orang yang tidak mengkonsentasikan (memfokuskan)
indra dan akal pikirannya pada benda-benda di luar, maka dia tidak akan
mengetahui apa yang ada di sekitarnya.
- Akal yang sehat
Orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat
berpikir dengan baik. Akal yang tidak sehat ini mungkin karena penyakit, cacat
bawaan atau pendidikan yang tidak benar.
- Indra yang sehat
Orang yang salah satu atau semua indranya cacat maka tidak
mengetahui alam materi yang ada di sekitarnya.
Jika syarat-syarat
ini terpenuhi maka seseorang akan mendapatkan pengetahuan lewat indra dan akal.
Kemudian pengetahuan daat dimiliki lewat hati. Pengetahuan ini akan diraih
dengan syarat-syarat seperti, membersihkan hati dari kemaksiatan, memfokuskan
hati kepada alam yang lebih tinggi, mengosongkan hati dari fanatisme dan
mengikuti aturan-aturan sayr dan suluk. Seorang yang hatinya
seperti itu akan terpantul di dalamnya cahaya Ilahi dan kesempurnaanNya.
Ketika
syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka pengetahuan akan terhalang dari manusia.
Secara spesifik ada beberapa sifat yang menjadi penghalang pengetahuan, seperti
sombong, fanatisme, taqlid buta (tanpa dasar yang kuat), kepongahan karena
ilmu, jiwa yang lemah (jiwa yang mudah dipengaruhi pribadi-pribadi besar) dan
mencintai materi secara berlebihan.
H. Science / Ilmu Pengetahuan
‘Science’
merupakan bagian dari himpunan informasi yang termasuk dalam pengetahuan
ilmiah, dan berisikan informasi yang memberikan gambaran tentang struktur dari
sistem-sistem serta penjelasan tentang pola-laku sistem-sistem tersebut. Sistem
yang dimaksud dapat berupa sistem alami, maupun sistem yang merupakan rekaan
pemikiran manusia mengenai pola laku hubungan dalamtatanan kehidupan masyarakat
yang diinstitusionalisasikan.
Dalam bahasa Inggris dapat dirumuskan sebagai berikut: ‘Science
is a sub-set of the information set on [human] scientific knowledge that
describes the structure of systems and provides explanation on their
behavioural patterns, wether natural or human institutionalized ones’.
Pergerakan yang dialami oleh pengetahuan sederhana menuju pada pembenaran
ilmu pengetahuan sehingga menjadi ilmu pengetahuan diperlukan sebuah landasan
dan proses sehingga ilmu pengetahuan (science atau sains) dapat dibangun.
Landasan dan proses pembangunan ilmu pengetahuan itu merupakan sebuah penilaian
(judgement) yang dilibatkan pada proses pembangunan ilmu pengetahuan.
Dalam pembangungan ilmu pengetahuan juga diperlukan beberapa
tiang penyangga agar ilmu pengetahuan dapat menjadi sebuah paham yang
mengandung makna universalitas. Beberapa tiang penyangga dalam pembangunan ilmu
pengetahuan itu sebenarnya berupa penilaian yang terdiri dari ontologi,
epistemologi dan aksiologi.
Perlunya penilaian dalam pembangunan ilmu pengetahuan
alasannya adalah agar pembenaran yang dilakukan terhadap ilmu pengetahuan dapat
diterima sebagai pembenaran secara umum. Sampai sejauh ini, didunia akademik
anutan pembenaran ilmu pengetahuan dilandaskan pada proses berpikir secara
ilmiah.
Oleh karena itu, proses berpikir di dunia ilmiah mempunyai
cara-cara tersendiri sehingga dapat dijadikan pembeda dengan proses berpikir
yang ada diluar dunia ilmiah. Dengan alasan itu berpikir ilmiah dalam ilmu
pengetahuan harus mengikuti cara filsafat pengetahuan atau epistemologi,
sementara dalam epistemologi dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan
memperoleh pengetahuan secara ilmiah disebut filsafat ilmu.
I. Penalaran
Kemampuan
menalar ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan
rahasia kekuasaan-kekuasaanNya. Secara simbolik manusia memakan buah
pengetahuan lewat Adam dan Hawa dan setelah itu manusia harus hidup berbekal
pengetahuan ini.[8]
Manusia
adalah satu-satunya mahluk yang mengembangkan pengetahuan ini secara
sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan namun pengetahuan ini
terbatas untuk krlangsungan hidupnya. Seekor kera tahu mana buah jambu yang
enak, seperti itulah contoh pengetahuan yang dimiliki oleh binatang.
Manusia
mengembangkan pengetahuannya mengatasi kebutuhan kelangsungan hidup ini. Dia
memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan sekedar
untuk kelangsungan hidup, namun makna kepada kehidupan. Semua itu pada
hakekatnya menyimpulkan bahwa manusia itu dalam hidupnya mempunyai tujuan
tertentu yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang
meyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya, dan pengetahuan ini jugalah
yang mendorong manusia menjadi mahluk yang bersifat khas dimuka bumi ini.
Pengetahuan
ini mampu dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama yakni:
1. Manusia mempunyai
bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang
melatarbelakangi informasi tersebut.
2. Manusia mampu
mengembangkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap, adalah kemampuan berfikir
menurut suatu alur kerangka berfikir tertentu. Secara garis besar cara
berfikir seperti ini disebut penalaran.
Dua kelebihan inilah yang memungkinkan
manusia mengembangkan pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan
pikiran yang mampu menalar. Tentu saja tidak semua pengetahuan berasal dari
proses penalaran sebab berfikirpun tidak semuanya berdasarkan penalaran.
Manusia bukan semata-mata mahluk yang berfikir namun manusia adalah mahluk yang
berfikir, merasa, mengindra, dan totalitas pengetahuannya berasal dari ketiga
sumber tersebut, disamping wahyu yang merupakan komunikasi Sang pencipta denga
mahlukNya.
J.
Hakekat Penalaran
Penalaran merupakan suatu proses berfikir
dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya
merupakan mahluk yamg berfikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan
tindakannya yang bersumber pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan
merasa atau berfikir. Penalaran
menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berfikir dan bukan
dengan pesasaan, meskipun seperti yang dikatakan Pascal, hatipun memiliki
logika tersendiri. Meskipun demikian patut kita sadari bahwa tidak semua
kegiatan berfikir menyandarkan diri pada penalaran. Jadi penalaran merupakan
kegiatan berfikir yang mempunyai karakterstik tertentu dalam menentukan
kebenaran.
Berfikir merupakan suatu kegiatan untuk
menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah
tidak sama maka oleh sebab itu kegiatan
proses berfikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itupun juga
berbeda-beda. Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang
disebut dengan kriteria bebenaran, dan
kriteria kebenaran ini merupakan lamdasan bagi proses penemuan kebenaran
tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran dimana tiap-tiap
jenis penalaran mempunyai kriteria kebenarannya masing-masing.
Sebagai suatu kegiatan berfikir maka
penalaran mempunyai ciri-ciri tertenu. Ciri yang pertama adalah adanya suatu
pola berfikir yang secara luas dapat disebut ligika. Dalam hal ini maka dapat dikatakan bahwa tiap
bentuk penalaran mempunyai logikanya tersendiri. Atau dapat juga disimpulkan
bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu proses berfikir logis, dimana
berfikir logis disini harus diartikan sebagai kegiatan berfikir menurut suatu
pola tertentu, atau dengan perkataan lain, menurut logika tertentu. Hal ini
patut kita sadari bahwa berfikir logis itu mempunyai konotasi yang bersifat
jamak (plural) dan berfikir tunggal (singular). Suatu kegiatan
bergikir bisa disebut logis ditinjau
dari suatu logika tertentu, dan mungkin tidak logis bila ditinjau dari sudut
logika yang lain. Hal ini sering menimbulkan gejala apa yang dapat kita sebut
sebagai kekacauan penalaran yang disebabkan olek tidak konsistennya kita dalam
mempergunakan pola berfikir tertentu.
Ciri
yang kedua dari penalaran adalah sifat analitik dari proses berfikirnya.
Penalaran merupakan suatu kegiatan berfikir yang menyandarkan diri kepada suatu
analisis dan kerangka berfikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut adalah
logika penalaran yang bersangkutan. Artinya penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan
analisis yang mempergunakan logika ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya
yang mempergunakan logikanya sendiri pula. Sifat analitik ini, kalau kita kaji
lebih jauh, merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berfikir tersebut maka
tidak akan ada kegiatan analisis, sebab analisis pada hakikatnya merupakan
suatu kegiatan berfikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.
Seperti
kita sebutkan terdahulu tidak smua kegiatan berfikir mendasarkan diri pada
penalaran. Berdasarkan kriteria penlaran tersebut diatas maka dapat kita
katakana bahwa tidak semua kegiatan befikir berfifat logis dan analisis. Atau
lebih jauh dapat kita simpulkan: cara berfikir yang tidak termasuk ke dalam
penalaran bersifat tidak logis dan tidak
analitik. Dengan demikian maka kita dapat membedakan secara garis besar
ciri-ciri berfikir menurut penalaran dan berfikir yang bukan berdasarkan
penalaran.
Perasaan
merupakan suatu penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran, berfikir
juga ada yang tidak berdasarkan penalaran seperti intuisi. Intuisi merupakan
suatu kegiatan berfikir yang non analitik yang tidak mendararkan diri pada
suatu pola berfikir tertentu. Disamping itu masih banyak bentuk lain dalam
usaha manusia untuk mendapatkan pengetahuan yaitu wahyu. Ditinjau dari hakikat
uasahanya dalam rangka menemukan kebenaran, kita dapat membedakan dua jenis
pengethuan. Pertama, pengetahuan yang didapatkan sebagai hasil usaha manusia
untuk menemukan kebenaran baik melalui penalkaran maupun lewat kegiatan lain
seperti perasaan.
Kedua,
pengetahuan juga dapat ditinjau dari sumber yang memberikan pengetahuan
tersebut. Jadi dalam hal ini bukan saja kita berbicara mengenai pola penemuan
kebenaran melainkan juga telah mencakup materi pengetahuan yang berasal dari
sumber kebenaran tertentu. Untuk melakukan kegiatan tersbut maka kegiatan
penalaran itu harus diisi dengan materi pengetahuan yang berasal dari sumber
pengetahuan pada darasnya pengetahuan yang dugunakan dengan penalaran bersumber
pada rasio dan fakta. Rasio merupakan sumber kebenaran mengembangkan faham yang
kemudian disebut dengan rasionalisme, sedangkan fakta yang dapat tertangkap
lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenara mengembangkan faham
empirisme. Usaha yang kita lakukan dalam mengembangkan kekuatan penalara
merupakan bagian dari usaha untuk meningkatkan mutu ilmu dan teknologi. Oleh
karena itu maka dalam rangka mengkaji penalaran ilmiah kita terlebih dahulu
harus menelaah dengan seksama penalaran deduktif dan induktif. Setelah itu akan
ditelaah bermacam-macam sumber pengetahuan yang ada yaitu rasio, pengalaman,
intuisi dan wahyu.
K. Filsafat
Filsafat berasal
dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata
"philos" dan "shopia" yang berarti pecinta pengetahuan.
Konon yang pertama kali menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates.
(dan masih konon juga) Dia menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama,
kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya,
dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih
untuk disebut pecinta pengetahuan.
Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat
beberapa orang yang menganggap diri mereka orang yang pandai (shopis).
Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap benar adalah
benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan. Kebenaran yang riil
tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka
ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum
tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan
seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa
kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia
berhasil dalam upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski dia
berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai
sindiran kepada mereka yang sok pandai.
Kemudian
perjuangannya dilanjutkan oleh Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh
Aristoteles. Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang
kemudian dikenal dengan logika (mantiq) Aristotelian.
Pada mulanya kata
filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi
filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis.
Filsafat teoritis mencakup:
1. Ilmu pengetahuan
alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan dan astronomi;
2. Ilmu eksakta dan
matematika;
3. Ilmu tentang
ketuhanan dan methafisika.
Filsafat praktis mencakup:
1. Norma-norma (akhlak);
2. Urusan rumah tangga;
3. Sosial dan politik.
Filusuf adalah orang yang mengetahui semua cabang-cabang ilmu pengetahuan tadi.
L.
Peran Filsafat Ilmu Dalam Ilmu Pengetahuan
Menurut Didi (1997) ilmu pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan
ilmiah) harus diperoleh dengan cara sadar, melakukan sesuatu tehadap objek,
didasarkan pada suatu sistem, prosesnya menggunakan cara yang lazim, mengikuti
metode serta melakukannya dengan cara berurutan yang kemudian diakhiri dengan
verifikasi atau pemeriksaan tentang kebenaran ilimiahnya (kesahihan).
Dengan demikian pendekatan filsafat ilmu mempunyai implikasi
pada sistematika pengetahuan sehingga memerlukan prosedur, harus memenuhi aspek
metodologi, bersifat teknis dan normatif akademik. Pada kenyataannya filsafat
ilmu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, perkembangannya seiring dengan
pemikiran tertinggi yang dicapai manusia. Oleh karena itu filsafat sains modern
yang ada sekarang merupakan output perkembangan filsafat ilmu terkini yang
telah dihasilkan oleh pemikiran manusia.
Filsafat ilmu dalam perkembangannya dipengaruhi oleh
pemikiran yang dipakai dalam membangun ilmu pengetahuan, tokoh pemikir dalam
filsafat ilmu yang telah mempengaruhi pemikiran sains modern yaitu Rene
Descartes (aliran rasionalitas) dan John Locke (aliran empirikal) yang telah
meletakkan dasar rasionalitas dan empirisme pada proses berpikir.
Kemampuan rasional dalam proses berpikir dipergunakan sebagai
alat penggali empiris sehingga terselenggara proses “create” ilmu pengetahuan. Akumulasi penelaahan empiris dengan
menggunakan rasionalitas yang dikemas melalui metodologi diharapkan dapat
menghasilkan dan memperkuat ilmu pengetahuan menjadi semakin rasional. Akan
tetapi, salah satu kelemahan dalam cara berpikir ilmiah adalah justru terletak
pada penafsiran cara berpikir ilmiah sebagai cara berpikir rasional, sehingga
dalam pandangan yang dangkal akan mengalami kesukaran membedakan pengetahuan
ilmiah dengan pengetahuan yang rasional.
Oleh sebab itu, hakikat berpikir rasional sebenarnya
merupakan sebagian dari berpikir ilmiah sehingga kecenderungan berpikir
rasional ini menyebabkan ketidakmampuan menghasilkan jawaban yang dapat
dipercaya secara keilmuan melainkan berhenti pada hipotesis yang merupakan
jawaban sementara. Kalau sebelumnya terdapat kecenderungan berpikir secara
rasional, maka dengan meningkatnya intensitas penelitian maka kecenderungan
berpikir rasional ini akan beralih pada kecenderungan berpikir secara empiris.
Dengan demikian penggabungan cara berpikir rasional dan cara
berpikir empiris yang selanjutnya dipakai dalam penelitian ilmiah hakikatnya
merupakan implementasi dari metode ilmiah. Berdasarkan terminologi,
empiris mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan pemerhatian atau
eksperimen, bukan teori atau sesuatu
yang berdasarkan pengalaman (terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan,
pengamatan yang telah dilakukan).
Dengan demikian sesuatu yang empiris itu sangat tergantung
kepada fakta (sesuatu yang benar dan dapat dibuktikan), hanya saja fakta yang dibuktikan
melalui penginderaan dalam dunia nyata bukanlah fakta yang sudah sempurna telah
diamati, melainkan penafsiran dari sebagian pengamatan. Terjadinya sebagian
pengamatan pada fakta disebabkan oleh pengamatan manusia yang tidak sempurna
sehingga mengakibatkan semua penafsiran manusia mengandung penambahan yang
mungkin berubah dengan berubahnya pengamatan.
Rasional mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan
taakulan, menurut pertimbangan atau pikiran yang wajar, waras atau sesuatu yang
dihasilkan menurut pikiran dan timbangan yang logis, menurut pikiran yang
sehat, cocok dengan akal, menurut rasio, menurut nisbah (patut).
Dengan demikian rasionalitas mencakup dua sumber pengetahuan,
yaitu; pertama, penginderaan (sensasi) dan kedua, sifat alami (fitrah).
Implikasi dari sensasi dan fitrah di atas bisa berpengaruh pada bentuk
pemahaman rasional sebagai pandangan yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak
hanya didapatkan dari proses penginderaan saja, karena proses penginderaan
hanya merupakan upaya memahami empirikal. Sementara, pemahaman rasional
mengandung makna bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan
pengetahuan-pengetahuan yang tidak muncul dari hasil penginderaan saja.
Kematangan berpikir ilmiah sangat ditentukan oleh kematangan
berpikir rasional dan berpikir empiris yang didasarkan pada fakta (objektif),
karena kematangan itu mempunyai dampak pada kualitas ilmu pengetahuan. Sehingga
jika berpikir ilmiah tidak dilandasi oleh rasionalisme, empirisme dan
objektivitas maka berpikir itu tidak dapat dikatakan suatu proses berpikir
ilmiah. Karena itu sesuatu yang memiliki citra rasional, empiris dan objektif
dalam ilmu pengetahuan dipandang menjamin kebenarannya, dengan demikian
rasionalisme, empirisme dan objektivitas merupakan dogma dalam ilmu
pengetahuan.
Dogma yaitu kepercayaan atau sistem kepercayaan yang dianggap
benar dan seharusnya dapat diterima oleh orang ramai tanpa sebarang pertikaian
atau pokok ajaran yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak
boleh dibantah dan diragukan. Paradigma ialah lingkungan atau batasan pemikiran
pada sesuatu masa yang dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan, kemahiran, dan
kesadaran yang ada atau model dalam ilmu pengetahuan, kerangka berpikir dan. Dari terminologi di atas dogma dan
paradigma sebenarnya mempunyai kaitan makna, karena paradigma merupakan kata
lain dari paradogma atau dogma primer.
Dogma primer ialah
prinsip dasar dan landasan aksiom yang kadar kebenarannya sudah tidak
dipertanyakan lagi, karena sudah self evident atau benar dengan sendirinya.
Akibatnya dari kebutuhan terhadap adanya paradigma dalam membangun ilmu
pengetahuan (sains) membawa dampak pada kebutuhan adanya rasionalisme,
empirisme dan objektivitas. Artinya, apabila pengetahuan yang dibangun dan
dikembangkan tidak memenuhi aspek rasional, empirikal dan objektif maka
kebenaran pengetahuannya perlu dipertanyakan lagi atau tidak mempunyai kesahihan.
Oleh karena itu
membangun ilmu pengetahuan diperlukan konsistensi yang terus berpegang pada
paradigma yang membentuknya. Kearifan memperbaiki paradigma ilmu
pengetahuan nampaknya sangat diperlukan agar ilmu pengetahuan seiring dengan
tantangan zaman, karena ilmu pengetahuan tidak hidup dengan dirinya sendiri,
tetapi harus mempunyai manfaat kepada kehidupan dunia. Oleh karena itu kita
tidak bisa mengatakan ilmu pengetahuan dapat berkembang oleh dirinya sendiri,
jika kita memilih berpikir seperti itu maka sebenarnya kita telah berupaya
memperlebar jurang ketidakmampuan ilmu pengetahuan menjawab permasalahan kehidupan.
Hal ini perlu
dipahami secara bijak karena permasalahan kehidupan saat ini sudah mencapai
pada suatu keadaan yang kritis, yaitu krisis yang kompleks dan multidimensi
(intlektual, moral dan spiritual) yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan. Dengan
demikian jika kita mempertanyakan penyesuaian apa yang dapat dilakukan ilmu
pengetahuan dengan kenyataan kehidupan (realitas), maka perubahan paradigma
ilmu pengetahuan merupakan jawaban untuk mengatasi krisis yang cukup serius.
M.
Kriteria Kebenaran
Tidak semua manusia memiliki
persaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya benar termasu anak kecil
dengan pikiran ke kakanak-kanakkannya memiliki kriteria kebenaran tersendiri
teopri kebenaran didasarkan kepada teori keherensi. Jika kita menganggap bahwa
semua manusia pasti akan mati hal ini adalah suatu pernyaataan yang benar maka
pernyataan bahwa si polan adalah seorang manusia dan si polan pasti akan mati.
Faham lain adalah kebenaran yang
berdasarkan teori korespondensi maka suatu pernyataan adalah benar jika materi
pemngetahuan yang dikandung pernyatan itu berkorespondensi dengan objek yang
dituju dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Kedua teori kebenaran ini digunakan dalam
car berfikir ilmiah. Penalaran teoritis yang berdasarkan ligika deduktif jelas
menggunakan teori koherensi. Sedangkan proses pembuktiannya dalam bentuk
pengumpulan fakta-fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu menggunakan
teori kebenaran yang lain atau yang lebih dikenal dengan teori kebenaran
pragmatis.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bagus,
Loren, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996, cet. I.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta:
PT Grafindo Persada, 2007).
Gazalba,
Sidi, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, cet. I.
http://syiena.wordpress.com/2008/03/21/filsafat-ilmu-pengetahuan/
Ismail,
Taufiq, Sadjak Ladang Djagung, Jakarta: Budaja Djaja, 1973.
Jalaludin, Filsafat Pendidikan
Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.
Salam,
Burhanuddin, Logika Materil, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, cet. I.
Salam,Burhanuddin,
Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, cet. IV.
Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Popular, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.
Watloly, Aholiab, Tanggung Jawab
Pengetahuan Mempertimbangkan Epistimologi Secara Kultural, Yogyakarta:
Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, 2001.
[1]
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Grafindo
Persada, 2007), hlm. 85.
[2] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), cet. I, hlm. 4.
[3] Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta:
Gramedia, 1996), cet. I, hlm. 803.
[4] Loren Bagus, Kamus Filsafat...,
hlm. 804.
[5] Burhanuddin Salam, Logika Materil, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1997), cet. I, hlm. 28.
[6] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2000), cet. IV, hlm. 6.
[7] Burhanuddin Salam, Pengantar
Filsafat…, hlm. 30.
[8] Taufiq Ismail, Sadjak Ladang Djagung (Jakarta:
Budaja Djaja, 1973), hlm. 54.
Tolong tinjau:
BalasHapus"pengetahuan" berasal dari kata dalam bahasa inggris yaitu knowledge.
Apa memang iya ?
Min..saya mau tanya,biografi sidi gazalba bagaimana min..mohon bantuan nya min ?
BalasHapus