Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan
Post Modernisme
Judul buku : Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan
Post Modernisme
Judul Asli : Min Faisal Tafriqah Ila Fasli Al-Maqal
Pengarang : Dr. Muhammed Arkoun
Penerjemah : Dr. Hasyim Shalih
Jumlah Halaman : 310
Penerbit : Al-Fikr, Surabaya
Pendahuluan:
Sebagai mana diketahui,
al-Ghazali telah berjuang dengan penanya dan bersungguh-sungguh dengan kalbunya
yang mukmin, kecerdasannya yang kuat, dan pengetahuannya yang luas dalam
menghadapi aliran-aliran pemikiran yang dominan di waktu itu, seperti aliran
filsafdat untuk menolak pandangan-pandangan metafoisik, aliran batiniyah untuk
menghentikan upaya-upaya politis dan seruan-seruan keagamaan ilmiyahnya.
Perlu diningat bahwa dua kitab
al-Ghazali dan ibn Rusyd, pada sisi produk pemikiran keduanya lebih
mengutamakan pertukaran pikiran dari fitnah
diantara umat Islam, tetapi hal ini lepas dari perhatian para ulama’ dan para
pemikir, serta tidak mewarnai mereka untuk mencapai ijtihad dalam
masalah-masalah.
Masalah-masalah tersebut bukan
hanya pelik bagi orang-orang Islam, tetapi juga bagi semua ”ahli kitab” secara
umum, yaitu problem penafsiran dan penakwilan terhadap nash-nash wahyu serta
cara-cara pengambilan hukum-hukum syari’ah dikalangan para fuqaha. Sudah jelas
bagi setiap Muslim bahwa masalah tafsir dan takwil telah menjadi masalah yang
paling penting dan pelik dalam hubungannya dengan struktur pengetahuan dan
bentuk kemasyarakatan bagi pengetahuan dan perjuangan ideologis pada masa itu.
Para sejarawan wajib
mensejarahkan kelalaian dalam pemikiran Islam sebagai suatu fenomena yang
berlangsung secara terus-menerus dan mencakup berbagai bidang keilmuan. Dari
semua polemik tersebut para pemikir selanjutnya berusaha mememukan titik tengah
dari para pemikir Islam sebelumnya, termasuk disini Muhammad Arkoun yang akan
menelusuri berbagai pemikiran para
pemikir Islam sebelumnya yang belum mampu menggugah semangat kaum
Muslimin hingga saat ini untuk mencapai kemajuan ilmu pengetahuan.
Isi Buku:
Mazhab
strukturalis telah meyakinkan kita dalam bidang linguistik dan antropologi
tentang kemungkinan tercapainya pembentukan ilmu-ilmu huminiora yang dingin dan
pasti, tanpa menerapkan suatu ketetapan nilai apapun pada ilmu-ilmu tersebut
atau pada bidang-bidang kajiannya. Seperti diketehui bahwa mazhab strukturalis
yang berkembang di Prancis selama masa terakhir ini berkeinginan untuk
memisahkan antara kajian agama-agama Asia yang hanya dikaji oleh sebagian spesialis
dari kelompok orientalis, demikian juga kondisi agama Yahudi dan Kristen.
Demikianlah kita menemukan bahwa jika kita telah mengambil metode modern bagi
pengkajian sejarah agama-agama, maka kita pasti akan berbenturan dengan
penentangan-penentangan yang biasa dikenal muncul dari orang-orang ”Mukmin”.
Sesungguhnya
hegemoni intelektual yang dipraktekkan Barat ini tetap berjalan secara efektif,
tetapi ia menutupinya dibalik wacana-wacana keilmuannya dan dibalik
perjuangannya untuk menegakkan hak-hak asasi manusia, kemudian dibalik
kegiatan-kegiatan kemanusiaan dan seruan kepada demokrasi, dan seterusnya. Hegemoni
ini secara keilmuan terlihat secara jelas pada preduksian yang menyebabkan
kristalisasi istilah-istilah dari jenis mitos, mitosisasi, mitologi dan mitologisasi.
Maka mereka dengan sangat mudah beralih
dari istilah mitos kepada mitologi tanpa mempertanyakan tingkatan-tingkatan
latar belakang penggunanan mitos dan teks-teks keagamaan yang besar dan
mendasar serta tujuan-tujuannya,atau pada teks-teks yang tertama tersebut.
Sesungguhnya mitos dalam pengertian ini mengambil dan menghimpun seluruh bentuk
perilaku ideal dan gambaran-gambaran simbol dengan medium penyusunan model bagi
makna. Jika kita melakukan analisis dan persiapan kritis ini terhadap pengetahuan
yang banyak beredar, maka kita akan mampu memahami sejauh mana urgensi
pengambilan pandangan antropologi dan manfaat dalam kajian modern bagi agama.
Dalm
menghadapi jeritan ideologi yang menyuarakan dengan lantang wacana-wacana
fundamentalis Islam kontemporer maka kami tidak menemukan kecuali wacana-wacana
informasi barat yang menjawabnya dengan logat dan cara yang sama. Jika kita
melihat masalah-masalah tersebut dari sudut pandang analisa kesejarahan,
peradaban, dan antropologi, maka kita seharusnya memahami fungsi kenabian
dengan sifatnya sebagai tindakan kretivitas dan produktif dari orang-orang
besar.sesungguhnya diskursus kenabian sebagaimana pada awal kemunculannya
menciptakan ”kewajiban makna” bagi orang-orang yang mengerti bagaiman
amendengarkan. Sebagaimana diketahui bahwa funsi kenabian tidak mungkin
menjalankan perannya kecuali pada suatu lingkungan pengetahuan yang lebih
mengutamakan mitos daripada sejarah, spiritual daripada temporal, dan hal-hal
yang sakral dengan sifatnya sebagai pengandali yang ketat terhadap yang profan
dengan sifatnya sebagai ruang yang menyebar di dalam kekuatan-kekuatan yang
saling tarik-menarik dan bersaing.
Seperti
diketahui bahwa pemikiran modern memberikan preseden bagi masalah kebenaran dan
tujuan pada setiap kali menjadi revolusi. pendekatan yang dilakukan antara
wahyu dan revolusi sama sekali bukanlah bersifat abriter. Setiap teks ini
merupakan wacana keagamaan dengan semua kekhususan yang telah disebutkan
sebelumnya, dari sudut pandang sejarah pemikiran sesungguhnya wacana wahyu
selalu melontarkan pemikiran konsep dan pandangan revolusioner bagi dunia.
Peninjauan Buku:
Setidaknya
ada empat pendekatan, yang menurutnya patut dipertimbangkan untuk digunakan
dalam study kebudayaan dan peradaban Islam era sekarang khususnya dan studi
agama pada umumnya. Keberagamaan manusia, selain terkait dengan
persoalan-persoalan akidah, keimanan digma, dan doktrin yang bersifat
konseptual dan ritus-ritus peribadatan yang bersifat praktis yang oleh Arkoun
corak pemahaman dan pendekatannya disebut sebagai pendekatan yang bercorak ”keimanan” juga terkait dengan aspek
kesejarahan yang melibatkan ruang dan waktu, pada dataran kesejahteraan ruang
dan waktu, munculnya institusi-institusi, himpunan-himpunan,
organisasi-organisasi dan kelembagaan agama pada umumnya, yang terkait dengan
kelembagaan sosial, politik, budaya, ekonomi, keamanan dan begitu seterusnya.
Gagasan-gagasan,
ide-ide, konsep-konsep, mazhab-mazhab, dan aliran-aliran yang dirumuskan dengan
golongan cendik pandai, ulama, penulis kitab dan buku-buku keagamaan yang
menggunakan metodologi keilmuan tertentu sebenarnya juga termasuk dalam wilayah
budaya dan kesejarahan. Menurut Arkoun, sayap kedua dari realitas keilmuan
agama ini perli didekati dengan metode pendekatan kesejarahan.
Bagi
siapapun yang hanya bisa mengkaji literatur keislaman klasik atau apa yang
sering sering diistilahkan di tanah air dengan literatur kitab kuning dibawah
payung tradisi pemahanan dan pengajaran agama yang melulu bersifat
doktrini-dogmatik sulit mengikuti gagasan dan pemikiran Muhamad Arkoun.
Pemikiran Muhammad Arkoun sudah banyak dikenalkan di tanah air, baik dalam
jurnal Ulumul Qur’an ataupun melalui buku-buku lainnya.
Pemikiran
intelektual Arkoun dilatar belakangi oleh dua peradaban, yakni Islam dan Barat,
lalu membentuk sebuah sinergi intelaktual yang sangat tipikal. Sejak awal dia
telah berdialektika dengan khazanah pemikiran Islam klasik, dan pada priode
selanjutnya dengan khazanah pemikiran Barat, klasik maupun kontempore. Praktis
bisa dikatakan, Arkoun merupakan salah satu dari intelektual muslim yang
langsung terjun kedalam wacana post modernisme.
Hebatnya, Arkoun tidak mudah
terjebak kedalam iklim nihilistik yang banyak diperlihatkan dalam karya-karya
filosof post modern Prancis. Bahkan Arkoun mampu memberikan terobosan
baru bagi dunia Islam, namun juga bagi dunia Barat yang tengah mengalami krisis
modernitas, yang ditandai denagn munculnya sikap exklusif dan Eropa-Sentris
yang berbenturan dengan wacana Pencerahan. Akibat arogansi ini adalah pemaksaan
model barat yang khas dengan dan unik sebagai produk historisitas mereka
terhadap dunia lain yang berujung pada hegemoni barat.
Tentu saja kerja Arkoun itu merupakan sebuah eksperimentasi yang langka
dan orisinil bagi khazanah pemikiran Islam mutakhir, sehingga menjadikan sosok
arkoun sangat fenomenal. Penguasaannya terhadap sumber-sumber wacana zIslam klasik
terlihat sangat mempuni dalam buku ini. Uniknya, arkoun membaca khazanah
peradaban Islam klasik itu agak berbeda disbanding intelektual muslim lain.
Sebab ia memandang semua kitab suci sebagai wacana “sejarah” yang harus tunduk
kepada norma-norma kesejarahan manusia. Pradikma dasar ini jelas memiliki
implikasi yang sama sekali berbeda dengan mereka yang memandangnya sebagai “
Closed Corpus” dan untuk itu bersifat meta-sejarah.
Demonstrasi intelektual yang
diperlihatkan Arkoun dalam buku ini sebenarnya sangat khas jika disbanding
karya-karya Arkoun lainnya. Sebab didalam buku inilah kita bisa mencermati
bagaimana kritisisme terhadap sejarah pemikiran itu semestinya dilakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar