Senin, 02 Juli 2012

SUARA HATI SEBAGAI LANDASAN KECERDASAN SPIRITUAL

PENDAHULUAN

Pada dasarnya, Psikologi Islam lebih mengarah pada pendekatan kajian sains dengan kajian ilmu agama; yang secara spesifiknya adalah mendekatkan kajian psikologi pada umumnya dengan kajian al-Qur`an. Dengan demikian maka dipahami bahwa landasan filsafat ilmu dari psikologi Islam adalah konsep manusia menurut al-Qur`an. Mujib mengemukakan bahwa dalam konsep manusia menurut al-Qur`an adalah konsep yang menyatakan bahwa manusia bukan hanya terstruktur dari jasmani; tapi juga ruhani. Sinergi keduanya inilah yang membentuk nafsani. Dari ketiga sistem inilah terbentuk kepribadian individu manusia.[1]
Psikologi islam sedikit banyak berkaitan juga dengan ilmu jiwa agama yang berkaitan dengan God Sport, disini kita akan membahas sedikit banayak hal-hal yang mempengahuhi kecerdasan spiritual, namun pada pembahasan kali ini kami memfokuskan pembahasan ini pada ruang lingkup suara hati sebagai landasan kecerdasan spiritual, terlepas dari semua itu, pembahasan ini juga berkaitan dengan kecerdasan emosional.

Timbullah sebuah pertanyaan besar bagi seluru umat manusia mengenai dari mana suara hati itu lahir dan siapa yang mempengaruhinya? Berbagai kalangan mencoba menjawab debgan beberapa nilai atau value dalam kehidupan ini, dengan berbagai teori. Sigmun Freud misalnya, dalam teori psikoanalisis-nya mengatakan bahwa value ini terjadi karena pengaruh lingkungan yag membentuk nilai-nilai pada jiwa manusia. Namun kemudian, ada pertanyaan tentang yang begitu menggelitik ketika menelaah teori Froud ini, ”Mengapa seluruh manusia dimuka bumi memiliki nilai atau ultimate value yang sama, meskipin dilahirkan ditempat dad an lingkungan ang berbeda?”[2]
Menurut Ary Ginanjar pendapat Freud masih terpengaruh oleh Darwinisme, yang menyatakan bahwa manusia itu tercipta karena pengaruh evolusi, sehingga Froud pun berfikir bahwa jiwa manusia sepenhnya terbentuk oleh pengaruh lingkungan. Ini membuktikan bahwa sifat-sifat spiritual sudah ada semenjak manusia dilahirkan dan dapat dirasakan setelah seseorang menginjak usia dewasa.

SUARA HATI SEBAGAI LANDASAN
KECERDASAN SPIRITUAL

A. Pengertian Suara Hati
Etimologi dari kata Yunani "suneidêsis" (padanan katanya dalam bahasa Latin conscientia, kata dari mana kita kenal kata "conscience" dalam bahasa Inggris) memberi kesan bahwa artinya yang biasa ialah pengetahuan pendamping, atau kecakapan untuk pengetahuan bersama dengan dirinya sendiri. Kata dalam bahasa Indonesia "hati-nurani" menyerap dari kata serapan Arab "nurani" (terang, ada cahayanya), sehingga kata ini menjadi sangat indah yang bermakna "cahayanya hati". Dengan kata lain, hati-nurani mengandung didalamnya lebih daripada hanya kesadaran atau penginderaan, karena kata ini mencakup juga penghakiman atas suatu perbuatan yang dilakukan dengan sadar.[3]
Sebenarnya ini sesuai dengan arti yang menjadi tolok ukur bagi suara hati yang terdapat dalam bahasa Yunani populer, yaitu sakit yang diderita orang sebagai manusia, jika dalam perbuatan-perbuatannya yang dimulai atau yang sudah selesai ia melanggar batas-batas moral tabiatnya. Hati-nurani ialah alat bagi penghakiman moral, penuh derita dan mutlak, karena penghakiman itu ialah penghakiman Ilahi atas perbuatan-perbuatan seseorang yang sudah berlangsung atau sedang berlangsung. Hati-nurani yang bertindak sebagai saksi dan pawang yang baik dalam aspek negatif maupun positif seorangan.[4]
      Hati nurani akan menjadi pembimbing terhadap apa yang harus di tempuh dan apa yang harus di perbuat.[5] Artinya setiap manusia sebenarnya telah memiliki sebuah radar hati sebagai pembimbingnuya. Menurut KH. Habib Adnan, agama Islam adalah agama fitrah sesuai dengan kebutuahan, dan kebutuhan manisia. Kebenaran Islam senantiasa selaras dengan suara hati manusia. Dengan demikian seluruh ajaran Islam merupakan tuntunan suara hati manusia.[6] Oleh karena itu, memegang teguh kata hati nurani merupakan tantangan hidup yang perlu dikembangkan dalam menghadapi perubahan kehidupan yang demikian yang cepat dan dinamis dewasa ini.[7] Jadi, dapat disimpulkan bahwa agama Islam dapat dijadikan sebagai landasan pembangunan kecerdasan emosi dan spiritual, dimana suara hati adalah menjadi landasannya.

B. Ruang Lingkup dan Sumber Suara Hati
Pada dasarnya hati manusia itu bersifat Universal dengan catatan manusia itu telah mencapai titik fitrah (God Sport) dan terbebas dari segala pradigma dan belenggu. Dalam keadan seperti ini manusia merasakan ketenangan jiwa yang mendasari segala tingkah lakunya, dan menggunakan suara hati sebagai penuntun hidupnya menuju sebuah kebenaran, dan semua itu bersumber dari yang maha kuasa yaitu Allah. Sebagaimana Firnan Allah SWT dalam surat As Sajadah Ayat: 9 yang artinya:

Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan (perasaan) hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”.[8]

Dalam surat ini dijelaskan bahwa Allah telah meniupkan ruh ciptaan-Nya yang bersifat mulia kepada manusia, maka sebenarna Allah telah meniupkan pula keinginan-Nya kedalam hati manusia.
Adapun dalam menyikapi lebih dalam mengenai hati nurani manusia yang bersifat Universal telah dijelaskan pula dalam surat Al-A’faf ayat 22-24 yang artinya:

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)",[9]

Dalam ayat ini dijelaskan ketika manusia mengakui dan mengangguk kepada Allah bahwa Allahlah Tuhannya. Anggukan yang membenarkan suara hati itu masih terus berjalan dan masih bias dirasakan hingga saat ini, kecuali hati yang tertutup.
Untuk lebih memperjelas mengenai bahasan ini alangkah baiknya kita mengambil salah satu contoh: Ketika Anda sedang makan dipinggir jalan, tiba-tiba ada seorang anak perempuan berusia lima tahun berdiri tepat didepan anda, menatap makanan yang anda pegang denga penuh harap, suara hati apa yang muncul pada saat itu? Jawabannya adalah suara hati yang mendorong kita “ingin memberi” tatkala anda sedang memakan makanan anda.[10]
Dari sini terlihat jelas bahwa suara hati itu benar bersifat Universal, itu semua dikarenakan adanya fitrah manusia yang memiliki rasa ketuhanan dan memiliki kebaikan hati nurani namun hal ini tidak terjadi kepada orang yang hatinya telah tertutup, walaupun demikian ia pun masih bias merasakan hal ini namun dengan kadar yang rendah.
Jika dibandingkan dengan literature-literatur Barat yang menjelaskan tentang kecerdasan emosi, maka dapat diketahui dan dirasakan bahwa suara hati itu adalah dorongan dari sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an. Jadi dapat dikatakan bahwa suara hati itu bersumber dari sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Qu’an. Dalam Al-Qur’an terdapat 99 sifat Allah yang merupakan sumber dari segala suara hati mannusia. Sifat-sifat inilah yang sering muncul sebagai suatu dorongan yang diirasakan di berbagai situasi berbeda. Bisa berupa larangan, peringatan, atau sebaliknya, sebuah keinginan bahkan juga bimbingan.[11]
Untuk memahami sura hati, perlu disadari secara sungguh-sugguh bahwa semua sifat itu dirancang melalui satu kesatuan tauhid, yang tidak dapat diberi sendiri secara terpisah, namun sifat esa atau satu. Semua dilaksanakan secara seimbang begitulah cerminan dari Allah yang maha bijaksana. Maka untuk memiliki suatu kecerdasan emosi, sepatutnalah kita berpedoman serta mempelajari cara keseluruhan mengenai sifat-sifat Allah itu, itulah sumber dari suara hati kita.

C. Perbedaan Paradigma dengan Suara Hati
      Paradigma atau persepsi adalah lapisan belenggu yang menutupi Gog Sport. persepsi tercipta karena pengaruh-pengaruh luar yang membentuk paradigma dan pikiran kita. Sedangkan dalam God Sport terdapat suara-suara hati yang bersumber dari sifat-sifat Illahi. God Sport yang berisi bayangan-bayangan sifat Tuhan itu telah built in dalam diri manusia. Ia merupakan kesadaran dasar manusia, yang di sebut dengan proto kesadaran. Tetapi tentu tidak dapat dibandingkan dengan derajat ketinggian Tuhan yang memiliki sifat Maha Tinggi  dibandingkan dengan sifat manusia yang hanya taqarrub saja, atau kecenderungan manusia yang hanya mengikuti sifat penciptaNya. Ini perlu ditekankan berkali-kali agar jangan salah persepsi dengan mengatakan, “Dalam diriku ada Tuhan!” ini adalah alur pemikiran yang kurang tepat. Oleh karena itu, manusia hanya mengabdi serta patuh pada keinginan Tuhan. Dan hal ini dapat dirasaka melalui dorongan, motif atau suara hati yang bersifat mulia dan luhur seperti ingin selalu melakukan keadilan, kebenaran dan berlaku bijaksana, bertanggung jawab, serta cinta sejati dan kasih sayang murni..
      Dunia psikologi Barat belum sampai pada tahap memilih apalagi mendefinisikan jenis-jenis suara hati itu. Sering kali terjadi pencampur adukan antara persepsi, suara hati dan emosi. Mereka sering kali mengalami kesulitan untuk menjelaskan dari mana dorongan suara hati itu berasal. Akibatnya, sulit bagi mereka untuk menyebutkan satu-persatu jenis suara hati spiritual. Mengapa? Karena mereka kurang memahami dari mana suara hati itu bersumber  dan bermuara. Mereka masih menganut teori Darwin yang mengatakan bahwa suara hati tercipta oleh lingkungan (behaviorisme). Akan tetapi menurut Ary Ginanjar sangat jelas bahwa nilai atau value yang tercipta dari lingkungan itu hanya merupakan paradigma atau persepsi belaka, bukan suara hati Illahiyah yang murni sifatnya.[12]
      Jika mempergunakan istilah dalam Islam maka emosi termasuk dalam nafs Amarah, paradigma atau persepsi bias dikatagorikan dalam nafs lawwamah. Sedangkan suara hati spiritual termasuk kedalam kategori nafs mutmainnah.
      Terkadang kita sering keliru dalam membaca diri kita. Apakah kita sedang mengikuti emosi, suara hati atau berkaca dengan bingkai persepsi. Tetapi kita sering berteriak bahwa ini adalah suara hati. Ketiganya terletak pada pusat orbit manusia, atau pusat dorongan motivasi manusia, yang menggerakkan manusia.
      Bayangkanlah jika seluruh aktifitas kita atau perilaku kita terdorong dan termotivasi hanya karena emosi dan persepsi, bukan karena suara hati! Dan ini justru yang paling abanyak terjadi, sehingga tidak heran kalau orang lebih banyak mengikuti kepentingan dan prasangka diri sendiri, dari pada merasakan dan mendengarkan sura-suara kebaikan dari dalam hati nurani. Dan ini kemudian berujung pada ketidak seimbangan tata surya jiwa.
      Secara umum belenggu tang terbentuk oleh persepsi dan paradigma terbagi menjadi tujuh jenis:[13]
1.      Prasangka negative
2.      Pengaruh prinsip hidup
3.      Pengaruh pengalaman
4.      Pengaruh kepentingan
5.      Pengaruh sudut pandang
6.      Pemgaruh pembanding
7.      Pengaruh literature

D. Pengertian Kecerdasan Spiritual
     Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan prilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menillai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna di banding dengan yang lain.[14]
      Sedangkan didalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terehadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang bersifat seutuhnya (hanif) dan memiliki pola pemikiran tauhid (integralistik) serta berprinsip “hanya karena Allah”.[15]
      Kecerdasan spiritual adalah fasilitas yang berkembang jutaan tahun, yang memungkinkan otak untuk menemukan dan menggunakan makna dalam memecahkan persoalan, biasa disebut kecerdasan jiwa. Ia adalah kecerdasan yang dapat membantu kita menyembuhkan dan membangun diri kita secara utuh.[16]
      Dari beberapa pengertian diatas terdapat berbagai segi yang terlihat kurang koheren atau berkesesuaian antara yang satu dengan yang lainnya, namun diantara pengertian diatas tidak ada yang terlihat bertolak belakang dari segi cangkupannya semuanya berkesinambungan mengenai perilaku dan kecerdasan jiwa dalam bertindak.

E. Kecerdasan Spiritual Tidak Sama dengan Beragama
      Kecerdasan spiritual tidak mesti sama dengan agama. Bagi sebagian orang kecerdasan spiritual mungkin menemukan cara mengungkapkan melalui agama formal, tetapi beragama tidak menjamin kecerdasan spiritual tinggi. Banyak orang humanis dan ateis memiliki kecerdasan spiritual sangat tinggi ; sebaliknya, banyak orang-otang yang aktif beragama memiliki kecerdasan spiritual yang sangat rendah. Beberapa penelitian oleh para psikolog Gordon Allport, lima puluh tahun silam, menunjukan bahwa orang memiliki pengalaman keagamaan lebih banyak diluar batas-batas arus utama lembaga keagamaan daripada didalamnya.[17]
      Agama formal adalah seperangkat aturan dan kepercayaan yang dibebankan secara external. Ia bersifat top-down, diwarisi dari pendeta, nabi, dan kitab suci atau ditanamkan melalui keluarga dan teradisi. Kecerdasan spiritual sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, adalah kemampuan internal bawaan otak dan jiwa manusia, yang sumber terdalamnya adalah inti alam semesta sendiri. Keerdasan spiritual adalah fasilitas yang berkembang selama jutaan tahun, yang memungkinkan otak untuk menemukan dan menggunakan makna dalam memecahkan persoalan. Perubahan-perubahan pesat di Dunia Barat selama tiga abad ini mengakibatkan agama konvensional harus berjuang untuk menjadi bermakna. Kini kita harus memanfaatkan kecerdasan spiritual bawaan kita untuk menemukan jalan-jalan baru dan menemukan beberapa expresi makna yang sega, yaitu sesuatu yang menyentuh dan membimbing kita dari dalam.
      Kecerdasan spiritual adalah kecedasan jiwa. Ia adalah kecerdasan yang dapat membantu kita menyembuhkan dan membangun diri kita secara utuh. Banyak sekali diantara kita yang yang saat ini menjalani hidup yang penuh luka dan berantakan. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang berada di bagian diri yang dalam, berhubungan dengan kearifan diluar ego atau pikiran standar.[18]

F. Meningkatkan Kecerdasan Spiritual
     Kecerdasan spiritual kolektif dalam masyarakat moderen adalah rendah. Kita berada dalam budaya yang secara spiritual bodoh yang ditandai oleh materialisme, kelayakan, egoisme diri yang sempit, kehilangan makna dan komitmen. Secara umum kita dapat meningkatkan kecerdasan spiritual kita dengan dengan meningkatkan penggunaan proses tersier psikologis kita, yaitu kecenderungan kita untuk bertanya mengapa, umtuk mencari keterkaitan antara segala sesuatu untuk membawa ke permukaan asumsi-asumsi mengenai makna dibalik atau didalam sesuatu, menjadi lebih suka merenung, sedikit menjangkau diluar diri kita, bertanggung jawab, lebih sadar diri, lebih jujur terhadap diri sendiri, dan lebih pemberani, tak lupa pula dapat berkonsentrasi untuk mendengarkan suara hati.
      Melalui kecerdasan spiritual kita secara lebih terlatih dan melalui kejujuran serta keberanian diri yang dibutuhkan bagi pelatihan semacam itu, kita dapat berhubungan kembali dengan sumber dan makna terdalam didalam diri kita kita dapat menggunakan penghubungan itu untuk mencapai tujuan dan proses yang lebih luas dari diri kita. Dalam pengabdian semacam itu, kita akan menemukan keselamatan kita. Keselamatan terdalam kita mungkin terletak pada pengabdian imajinasi kita sendiri yang dalam.
     
G. Letak Suara Hati dalam Landasan Kecerdasan Spiritual
Kita akan mencoba mengambil perumampaan mengenai letak suara hati tersebut sebagai landasan spirituan, salah satu contohnya adalah puasa. Puasa sungguh merupakan salah satu teknik pengembangan pribadi muslim, baik dari fisik maupun psikis. Semua itu dapat kita lihat dari segi kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Bagi remaja yang lazimnya berkarakter intelektual tengah mengalai perkembangan pesat, kritis tapi dari sisi emosi labil dan dalam proses pencarian diri, maka puasa merupakan teknik penyeimbang dari gejolak jiwa remajanya itu.
Puasa akan meredam sisi negative kecendrungannya dan mengoptimalkan potensi serta kemampuan positifnya. Puasa mengembangkan sikap ihsan dan sabar yang sesuai dengan pilar-pilar kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Bahkan ihsan dan sabar merupakan pintu masuk pada pengembangan kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Dan kesemuanya itu berdasarkan atau bersumber dari suara hati, yang menuntun kita menuju  jalan yang fitrah jalan menuju kebenaran.
Kecerdasan spiritual ditandai dengan kemampuan merasakan kehdiran Tuhan yang ada gilirannya berimplikasi pada ketenangan jiwa. Kehadiran Allah SWT hanya akan dapat dirasakan bila hati bersih dari aneka kotoran dan penyakit. Barulah kita dapat merasakan kehadiran Tihan, juga dapat membedakan emosi, pasadigma, persepsi dan suara hati, apakah yang kita rasakan itu adalah salah satu dari hal-hal itu yang dapat mempengaruhu jiwa tersebut. Puasa adalah teknik penyucian jiwa dari kotoran dan penyakit hati. Penyakit hati, seperti keangkuhan, dengki, berambisi pada posisi tertentu dan riya merupakan sumber keserahan jiwa (stress).
Penyakit-penyakit hati itu akan tumbuh subur pada masa remaja yang mengalami fluktuasi gejolak jiwa akibat rasionya mempertanyakan kmbali konsep agama dan Tuhan, ambisinya yang melampaui pertimbangan akal sehatnya, dan kebutuhan pada pengakuan social yang sering kali menampakkan dirinya pada tatanan aksesoris dari pada esensi kemampuannya mengelola hidupsecara mandiri. Inilah yang dapat mengakibatkan goyahnya hati nurani dan membuat paradigma seolah-olah adalah suara hati, dan membuatnya sukar untuk mengetahui apakah ini paradugma, emosi, tersepsi ataukah suara hati.
Kecerdasan spiritual ditandai dengan kemampuan mengelola emosi. Sedangkan sabar adalah kata lain dari kemampuan mengendalikan emosi. Dalam sikap sabar rerkanung 4C, yaitu:
1.          Commitment, yaitu niat atau tekad yang menghunjam dalam kalbu
untuk mencapai cita.
2.          Consistence, yaitu satu padunya isi hati dan fikiran dengan
ucapan dan tindakan.
3.          Consequence, yaitu siap dan sabar menanggung risiko.
4.          Continues, yaitu sikap sabar melalui proses tahap demi tahap
secara berkelanjutan
.
Demikianlah konsep sabar sebagai penawar dalam mmengelola emosi dan emosi erat kaitannya dengan spiritual, yautu untuk mrningkatkan spiritual harus terlebih dahulu mengendalikan emosi atau mengelola kecerdasan emosional.
Dari uraian diatas secara tidak langsung kita dapat menyadari bahwa suara hati adalah salah satu lanasan kecerdasan spiritual, yang dapat menuntun jiwa kita kearah fitrah yang telah ditakdirkan Tuhan terhadap seluruh umat manusia.                        

KESIMPULAN

Hati-nurani ialah alat bagi penghakiman moral, penuh derita dan mutlak, karena penghakiman itu ialah penghakiman Ilahi atas perbuatan-perbuatan seseorang yang sudah berlangsung atau sedang berlangsung. Hati-nurani yang bertindak sebagai saksi dan pawang yang baik dalam aspek negatif maupun positif seorangan. Hati nurani akan menjadi pembimbing terhadap apa yang harus di tempuh dan apa yang harus di perbuat.
Pada dasarnya hati manusia itu bersifat Universal dengan catatan manusia itu telah mencapai titik fitrah (God Sport) dan terbebas dari segala pradigma dan belenggu. Dalam keadan seperti ini manusia merasakan ketenangan jiwa yang mendasari segala tingkah lakunya, dan menggunakan suara hati sebagai penuntun hidupnya menuju sebuah kebenaran, dan semua itu bersumber dari yang maha kuasa yaitu Allah.
Jika dibandingkan dengan literature-literatur Barat yang menjelaskan tentang kecerdasan emosi, maka dapat diketahui dan dirasakan bahwa suara hati itu adalah dorongan dari sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an. Jadi dapat dikatakan bahwa suara hati itu bersumber dari sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Qu’an. Sifat-sifat inilah yang sering muncul sebagai suatu dorongan yang diirasakan di berbagai situasi berbeda. Bisa berupa larangan, peringatan, atau sebaliknya, sebuah keinginan bahkan juga bimbingan.
Kecerdasan spiritual adalah kecedasan jiwa. Ia adalah kecerdasan yang dapat membantu kita menyembuhkan dan membangun diri kita secara utuh. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang berada di bagian diri yang dalam, berhubungan dengan kearifan diluar ego atau pikiran standar.
Kecerdasan spiritual ditandai dengan kemampuan merasakan kehdiran Tuhan yang ada gilirannya berimplikasi pada ketenangan jiwa. Kehadiran Allah SWT hanya akan dapat dirasakan bila hati bersih dari aneka kotoran dan penyakit. Barulah kita dapat merasakan kehadiran Tihan. Dari uraian diatas secara tidak langsung kita dapat menyadari bahwa suara hati adalah salah satu lanasan kecerdasan spiritual, yang dapat menuntun jiwa kita kearah fitrah yang telah ditakdirkan Tuhan terhadap seluruh umat manusia.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun ESQ Emotional Spiritual Questient Berdasarkan Enam Rukun Iman dan Lima Rukun Islam, Jakarta: Arga, Cet. 17, 2004.
Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power Sumber Inner Journey Melalui Al-Ihsan, Jakarta: Arga, 2003.
Zohar, Danah dan Ian Marshall. SQ memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan, Bandung: Mizan Media Utama, Cet. III, 2001.
Adnan, H. S. Habib. Agama Masyarakat Dan Reformasi Kehidupan.


[1] http://tafany.wordpress.com/2007/08/18/sinopsis-kajian-psikologi-islam/.22/04/2008
[2] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power Sumber Inner Journey Melalui Al-Ihsan, (Jakarta: Arga, 2003), h. 85.
[3] "The New Bible Dictionary", Inter-Varsity Press: London, (c) 1988, p 371-372.
Yohannes/ Biblika. 22/04/2008.
[4] http://www.sarapanpagi.org/hati-nurani-vt178.html.22/04/2008.
        [5] H. S. Habib Adnan, Agama Masyarakat dan Reformasi Kehidupan, h. 28.
[6] H. S. Habib Adnan, Agama Masyarakat…,hlm. 10
        [7] H. S. Habib Adnan, Agama Masyarakat…, hlm. 13
[8] Al-Qur’anul Karim, Surat As Sajdah Ayat: 9
[9] Al-Qur’anul Karim, Surat Al-A’far Ayat : 22-24
[10] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun ESQ Emotional Spiritual Questient Berdasarkan Enam Rukun Iman dan Lima Rukun Islam, (Jakarta: Arga,2004), Cet. 17, h. 9-10
[11] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun ESQ Emotional Spiritual Questient Berdasarkan Enam Rukun Iman dan Lima Rukun Islam, (Jakarta: Arga,2004), Cet. 17, h. 68
        [12]Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power Sumber Inner Journey Melalui Al-Ihsan, (Jakarta: Arga, 2003), h. 142
        [13] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan…, hlm. 147
        [14] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun ESQ Emotional Spiritual Questient Berdasarkan Enam Rukun Iman dan Lima Rukun Islam, , (Jakarta: Arga, 2004), Cet. 17, h. 57.
        [15] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun…, hlm. 57.
        [16] Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik Dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan, (Bandung: Mizan Media Utama, 2001), Cet. III, h. 8.
        [17] Danah Zohar Dan Ian Marshall, SQ memanfaatkan…,hlm. 8.
        [18] Danah Zohar Dan Ian Marshall, SQ memanfaatkan…, hlm. 9.

1 komentar: