PENDAHULUAN
Pada
dasarnya, Psikologi Islam lebih mengarah pada pendekatan kajian sains dengan
kajian ilmu agama; yang secara spesifiknya adalah mendekatkan kajian psikologi
pada umumnya dengan kajian al-Qur`an. Dengan demikian maka dipahami bahwa
landasan filsafat ilmu dari psikologi Islam adalah konsep manusia menurut
al-Qur`an. Mujib mengemukakan bahwa dalam konsep manusia menurut al-Qur`an
adalah konsep yang menyatakan bahwa manusia bukan hanya terstruktur dari
jasmani; tapi juga ruhani. Sinergi keduanya inilah yang membentuk nafsani. Dari
ketiga sistem inilah terbentuk kepribadian individu manusia.[1]
Psikologi
islam sedikit banyak berkaitan juga dengan ilmu jiwa agama yang berkaitan
dengan God Sport, disini kita akan membahas sedikit banayak hal-hal yang
mempengahuhi kecerdasan spiritual, namun pada pembahasan kali ini kami
memfokuskan pembahasan ini pada ruang lingkup suara hati sebagai landasan
kecerdasan spiritual, terlepas dari semua itu, pembahasan ini juga berkaitan
dengan kecerdasan emosional.
Timbullah
sebuah pertanyaan besar bagi seluru umat manusia mengenai dari mana suara hati
itu lahir dan siapa yang mempengaruhinya? Berbagai kalangan mencoba menjawab
debgan beberapa nilai atau value dalam kehidupan ini, dengan berbagai
teori. Sigmun Freud misalnya, dalam teori psikoanalisis-nya mengatakan bahwa value
ini terjadi karena pengaruh lingkungan yag membentuk nilai-nilai pada jiwa
manusia. Namun kemudian, ada pertanyaan tentang yang begitu menggelitik ketika
menelaah teori Froud ini, ”Mengapa seluruh manusia dimuka bumi memiliki nilai
atau ultimate value yang sama, meskipin dilahirkan ditempat dad an
lingkungan ang berbeda?”[2]
Menurut Ary Ginanjar pendapat Freud masih terpengaruh oleh Darwinisme,
yang menyatakan bahwa manusia itu tercipta karena pengaruh evolusi, sehingga
Froud pun berfikir bahwa jiwa manusia sepenhnya terbentuk oleh pengaruh
lingkungan. Ini membuktikan bahwa sifat-sifat spiritual sudah ada semenjak
manusia dilahirkan dan dapat dirasakan setelah seseorang menginjak usia dewasa.
SUARA HATI SEBAGAI LANDASAN
KECERDASAN SPIRITUAL
A. Pengertian Suara Hati
Etimologi dari kata Yunani "suneidêsis" (padanan katanya
dalam bahasa Latin conscientia, kata dari mana kita kenal kata "conscience"
dalam bahasa Inggris) memberi kesan bahwa artinya yang biasa ialah pengetahuan
pendamping, atau kecakapan untuk pengetahuan bersama dengan dirinya sendiri.
Kata dalam bahasa Indonesia "hati-nurani" menyerap dari kata serapan
Arab "nurani" (terang, ada cahayanya), sehingga kata ini menjadi
sangat indah yang bermakna "cahayanya hati". Dengan kata lain, hati-nurani
mengandung didalamnya lebih daripada hanya kesadaran atau penginderaan, karena
kata ini mencakup juga penghakiman atas suatu perbuatan yang dilakukan dengan
sadar.[3]
Sebenarnya ini sesuai dengan arti yang menjadi tolok ukur bagi suara hati
yang terdapat dalam bahasa Yunani populer, yaitu sakit yang diderita orang
sebagai manusia, jika dalam perbuatan-perbuatannya yang dimulai atau yang sudah
selesai ia melanggar batas-batas moral tabiatnya. Hati-nurani ialah alat bagi
penghakiman moral, penuh derita dan mutlak, karena penghakiman itu ialah
penghakiman Ilahi atas perbuatan-perbuatan seseorang yang sudah berlangsung
atau sedang berlangsung. Hati-nurani yang bertindak sebagai saksi dan pawang
yang baik dalam aspek negatif maupun positif seorangan.[4]
Hati nurani akan menjadi pembimbing
terhadap apa yang harus di tempuh dan apa yang harus di perbuat.[5] Artinya
setiap manusia sebenarnya telah memiliki sebuah radar hati sebagai
pembimbingnuya. Menurut KH. Habib Adnan, agama Islam adalah agama fitrah sesuai
dengan kebutuahan, dan kebutuhan manisia. Kebenaran Islam senantiasa selaras
dengan suara hati manusia. Dengan demikian seluruh ajaran Islam merupakan
tuntunan suara hati manusia.[6]
Oleh karena itu, memegang teguh kata hati nurani merupakan tantangan hidup yang
perlu dikembangkan dalam menghadapi perubahan kehidupan yang demikian yang
cepat dan dinamis dewasa ini.[7]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa agama Islam dapat dijadikan sebagai landasan
pembangunan kecerdasan emosi dan spiritual, dimana suara hati adalah menjadi
landasannya.
B. Ruang Lingkup dan Sumber Suara
Hati
Pada dasarnya hati manusia itu bersifat Universal dengan catatan manusia
itu telah mencapai titik fitrah (God Sport) dan terbebas dari segala
pradigma dan belenggu. Dalam keadan seperti ini manusia merasakan ketenangan
jiwa yang mendasari segala tingkah lakunya, dan menggunakan suara hati sebagai
penuntun hidupnya menuju sebuah kebenaran, dan semua itu bersumber dari yang
maha kuasa yaitu Allah. Sebagaimana Firnan Allah SWT dalam surat As Sajadah
Ayat: 9 yang artinya:
“Kemudian dia menyempurnakan
dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan dan (perasaan) hati; (tetapi) kamu sedikit sekali
bersyukur”.[8]
Dalam surat ini dijelaskan bahwa Allah telah meniupkan ruh ciptaan-Nya
yang bersifat mulia kepada manusia, maka sebenarna Allah telah meniupkan pula
keinginan-Nya kedalam hati manusia.
Adapun dalam menyikapi lebih dalam mengenai hati nurani manusia yang
bersifat Universal telah dijelaskan pula dalam surat Al-A’faf ayat 22-24 yang artinya:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini
Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi
saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap Ini (keesaan Tuhan)",[9]
Dalam ayat ini dijelaskan ketika manusia mengakui dan
mengangguk kepada Allah bahwa Allahlah Tuhannya. Anggukan yang membenarkan
suara hati itu masih terus berjalan dan masih bias dirasakan hingga saat ini,
kecuali hati yang tertutup.
Untuk lebih memperjelas mengenai bahasan ini alangkah
baiknya kita mengambil salah satu contoh: Ketika Anda sedang makan dipinggir
jalan, tiba-tiba ada seorang anak perempuan berusia lima tahun berdiri tepat
didepan anda, menatap makanan yang anda pegang denga penuh harap, suara hati
apa yang muncul pada saat itu? Jawabannya adalah suara hati yang mendorong kita
“ingin memberi” tatkala anda sedang memakan makanan anda.[10]
Dari sini terlihat jelas bahwa suara hati itu benar bersifat
Universal, itu semua dikarenakan adanya fitrah manusia yang memiliki rasa
ketuhanan dan memiliki kebaikan hati nurani namun hal ini tidak terjadi kepada
orang yang hatinya telah tertutup, walaupun demikian ia pun masih bias
merasakan hal ini namun dengan kadar yang rendah.
Jika dibandingkan dengan literature-literatur Barat yang
menjelaskan tentang kecerdasan emosi, maka dapat diketahui dan dirasakan bahwa
suara hati itu adalah dorongan dari sifat-sifat Allah yang terdapat dalam
Al-Qur’an. Jadi dapat dikatakan bahwa suara hati itu bersumber dari sifat-sifat
Allah yang terdapat dalam Al-Qu’an. Dalam Al-Qur’an terdapat 99 sifat Allah
yang merupakan sumber dari segala suara hati mannusia. Sifat-sifat inilah yang
sering muncul sebagai suatu dorongan yang diirasakan di berbagai situasi
berbeda. Bisa berupa larangan, peringatan, atau sebaliknya, sebuah keinginan
bahkan juga bimbingan.[11]
Untuk memahami sura hati, perlu disadari secara sungguh-sugguh
bahwa semua sifat itu dirancang melalui satu kesatuan tauhid, yang tidak dapat
diberi sendiri secara terpisah, namun sifat esa atau satu. Semua dilaksanakan
secara seimbang begitulah cerminan dari Allah yang maha bijaksana. Maka untuk
memiliki suatu kecerdasan emosi, sepatutnalah kita berpedoman serta mempelajari
cara keseluruhan mengenai sifat-sifat Allah itu, itulah sumber dari suara hati
kita.
C. Perbedaan Paradigma dengan Suara
Hati
Paradigma atau persepsi adalah lapisan
belenggu yang menutupi Gog Sport. persepsi tercipta karena
pengaruh-pengaruh luar yang membentuk paradigma dan pikiran kita. Sedangkan
dalam God Sport terdapat suara-suara hati yang bersumber dari
sifat-sifat Illahi. God Sport yang berisi bayangan-bayangan sifat Tuhan
itu telah built in dalam diri manusia. Ia merupakan kesadaran dasar
manusia, yang di sebut dengan proto kesadaran. Tetapi tentu tidak dapat
dibandingkan dengan derajat ketinggian Tuhan yang memiliki sifat Maha Tinggi dibandingkan dengan sifat manusia yang hanya taqarrub
saja, atau kecenderungan manusia yang hanya mengikuti sifat penciptaNya. Ini
perlu ditekankan berkali-kali agar jangan salah persepsi dengan mengatakan,
“Dalam diriku ada Tuhan!” ini adalah alur pemikiran yang kurang tepat. Oleh
karena itu, manusia hanya mengabdi serta patuh pada keinginan Tuhan. Dan hal
ini dapat dirasaka melalui dorongan, motif atau suara hati yang bersifat mulia
dan luhur seperti ingin selalu melakukan keadilan, kebenaran dan berlaku
bijaksana, bertanggung jawab, serta cinta sejati dan kasih sayang murni..
Dunia psikologi Barat belum sampai pada
tahap memilih apalagi mendefinisikan jenis-jenis suara hati itu. Sering kali
terjadi pencampur adukan antara persepsi, suara hati dan emosi. Mereka sering
kali mengalami kesulitan untuk menjelaskan dari mana dorongan suara hati itu
berasal. Akibatnya, sulit bagi mereka untuk menyebutkan satu-persatu jenis
suara hati spiritual. Mengapa? Karena mereka kurang memahami dari mana suara
hati itu bersumber dan bermuara. Mereka
masih menganut teori Darwin yang mengatakan bahwa suara hati tercipta oleh
lingkungan (behaviorisme). Akan tetapi menurut Ary Ginanjar sangat jelas bahwa
nilai atau value yang tercipta dari lingkungan itu hanya merupakan paradigma
atau persepsi belaka, bukan suara hati Illahiyah yang murni sifatnya.[12]
Jika mempergunakan istilah dalam Islam maka
emosi termasuk dalam nafs Amarah, paradigma atau persepsi bias
dikatagorikan dalam nafs lawwamah. Sedangkan suara hati spiritual
termasuk kedalam kategori nafs mutmainnah.
Terkadang kita sering keliru dalam membaca
diri kita. Apakah kita sedang mengikuti emosi, suara hati atau berkaca dengan
bingkai persepsi. Tetapi kita sering berteriak bahwa ini adalah suara hati.
Ketiganya terletak pada pusat orbit manusia, atau pusat dorongan motivasi
manusia, yang menggerakkan manusia.
Bayangkanlah jika seluruh aktifitas kita
atau perilaku kita terdorong dan termotivasi hanya karena emosi dan persepsi,
bukan karena suara hati! Dan ini justru yang paling abanyak terjadi, sehingga
tidak heran kalau orang lebih banyak mengikuti kepentingan dan prasangka diri
sendiri, dari pada merasakan dan mendengarkan sura-suara kebaikan dari dalam
hati nurani. Dan ini kemudian berujung pada ketidak seimbangan tata surya jiwa.
Secara umum belenggu tang terbentuk oleh
persepsi dan paradigma terbagi menjadi tujuh jenis:[13]
1. Prasangka negative
2. Pengaruh prinsip hidup
3. Pengaruh pengalaman
4. Pengaruh kepentingan
5. Pengaruh sudut pandang
6. Pemgaruh pembanding
7. Pengaruh literature
D. Pengertian Kecerdasan Spiritual
Danah
Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan
untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk
menempatkan prilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan
kaya, kecerdasan untuk menillai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna di banding dengan yang lain.[14]
Sedangkan didalam ESQ, kecerdasan
spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terehadap setiap perilaku
dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah,
menuju manusia yang bersifat seutuhnya (hanif) dan memiliki pola
pemikiran tauhid (integralistik) serta berprinsip “hanya karena Allah”.[15]
Kecerdasan spiritual adalah fasilitas yang
berkembang jutaan tahun, yang memungkinkan otak untuk menemukan dan menggunakan
makna dalam memecahkan persoalan, biasa disebut kecerdasan jiwa. Ia adalah
kecerdasan yang dapat membantu kita menyembuhkan dan membangun diri kita secara
utuh.[16]
Dari beberapa pengertian diatas terdapat
berbagai segi yang terlihat kurang koheren atau berkesesuaian antara yang satu
dengan yang lainnya, namun diantara pengertian diatas tidak ada yang terlihat
bertolak belakang dari segi cangkupannya semuanya berkesinambungan mengenai
perilaku dan kecerdasan jiwa dalam bertindak.
E. Kecerdasan Spiritual Tidak Sama dengan
Beragama
Kecerdasan spiritual tidak mesti sama
dengan agama. Bagi sebagian orang kecerdasan spiritual mungkin menemukan cara
mengungkapkan melalui agama formal, tetapi beragama tidak menjamin kecerdasan
spiritual tinggi. Banyak orang humanis dan ateis memiliki kecerdasan spiritual
sangat tinggi ; sebaliknya, banyak orang-otang yang aktif beragama memiliki
kecerdasan spiritual yang sangat rendah. Beberapa penelitian oleh para psikolog
Gordon Allport, lima puluh tahun silam, menunjukan bahwa orang memiliki
pengalaman keagamaan lebih banyak diluar batas-batas arus utama lembaga
keagamaan daripada didalamnya.[17]
Agama formal adalah seperangkat aturan dan
kepercayaan yang dibebankan secara external. Ia bersifat top-down, diwarisi
dari pendeta, nabi, dan kitab suci atau ditanamkan melalui keluarga dan
teradisi. Kecerdasan spiritual sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, adalah
kemampuan internal bawaan otak dan jiwa manusia, yang sumber terdalamnya adalah
inti alam semesta sendiri. Keerdasan spiritual adalah fasilitas yang berkembang
selama jutaan tahun, yang memungkinkan otak untuk menemukan dan menggunakan
makna dalam memecahkan persoalan. Perubahan-perubahan pesat di Dunia Barat
selama tiga abad ini mengakibatkan agama konvensional harus berjuang untuk
menjadi bermakna. Kini kita harus memanfaatkan kecerdasan spiritual bawaan kita
untuk menemukan jalan-jalan baru dan menemukan beberapa expresi makna yang
sega, yaitu sesuatu yang menyentuh dan membimbing kita dari dalam.
Kecerdasan spiritual adalah kecedasan
jiwa. Ia adalah kecerdasan yang dapat membantu kita menyembuhkan dan membangun
diri kita secara utuh. Banyak sekali diantara kita yang yang saat ini menjalani
hidup yang penuh luka dan berantakan. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan
yang berada di bagian diri yang dalam, berhubungan dengan kearifan diluar ego
atau pikiran standar.[18]
F. Meningkatkan Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan
spiritual kolektif dalam masyarakat moderen adalah rendah. Kita berada dalam
budaya yang secara spiritual bodoh yang ditandai oleh materialisme, kelayakan,
egoisme diri yang sempit, kehilangan makna dan komitmen. Secara umum kita dapat
meningkatkan kecerdasan spiritual kita dengan dengan meningkatkan penggunaan
proses tersier psikologis kita, yaitu kecenderungan kita untuk bertanya
mengapa, umtuk mencari keterkaitan antara segala sesuatu untuk membawa ke permukaan
asumsi-asumsi mengenai makna dibalik atau didalam sesuatu, menjadi lebih suka
merenung, sedikit menjangkau diluar diri kita, bertanggung jawab, lebih sadar
diri, lebih jujur terhadap diri sendiri, dan lebih pemberani, tak lupa pula dapat
berkonsentrasi untuk mendengarkan suara hati.
Melalui kecerdasan spiritual kita secara
lebih terlatih dan melalui kejujuran serta keberanian diri yang dibutuhkan bagi
pelatihan semacam itu, kita dapat berhubungan kembali dengan sumber dan makna
terdalam didalam diri kita kita dapat menggunakan penghubungan itu untuk
mencapai tujuan dan proses yang lebih luas dari diri kita. Dalam pengabdian
semacam itu, kita akan menemukan keselamatan kita. Keselamatan terdalam kita
mungkin terletak pada pengabdian imajinasi kita sendiri yang dalam.
G. Letak Suara Hati dalam Landasan Kecerdasan
Spiritual
Kita akan mencoba mengambil perumampaan mengenai letak suara hati
tersebut sebagai landasan spirituan, salah satu contohnya adalah puasa. Puasa
sungguh merupakan salah satu teknik pengembangan pribadi muslim, baik dari
fisik maupun psikis. Semua itu dapat kita lihat dari segi kecerdasan emosi dan
kecerdasan spiritual. Bagi remaja yang lazimnya berkarakter intelektual tengah
mengalai perkembangan pesat, kritis tapi dari sisi emosi labil dan dalam proses
pencarian diri, maka puasa merupakan teknik penyeimbang dari gejolak jiwa
remajanya itu.
Puasa akan meredam sisi negative kecendrungannya dan mengoptimalkan
potensi serta kemampuan positifnya. Puasa mengembangkan sikap ihsan dan sabar
yang sesuai dengan pilar-pilar kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual.
Bahkan ihsan dan sabar merupakan pintu masuk pada pengembangan kecerdasan emosi
dan kecerdasan spiritual. Dan kesemuanya itu berdasarkan atau bersumber dari
suara hati, yang menuntun kita menuju
jalan yang fitrah jalan menuju kebenaran.
Kecerdasan spiritual ditandai dengan kemampuan merasakan kehdiran Tuhan
yang ada gilirannya berimplikasi pada ketenangan jiwa. Kehadiran Allah SWT
hanya akan dapat dirasakan bila hati bersih dari aneka kotoran dan penyakit.
Barulah kita dapat merasakan kehadiran Tihan, juga dapat membedakan emosi,
pasadigma, persepsi dan suara hati, apakah yang kita rasakan itu adalah salah
satu dari hal-hal itu yang dapat mempengaruhu jiwa tersebut. Puasa adalah
teknik penyucian jiwa dari kotoran dan penyakit hati. Penyakit hati, seperti
keangkuhan, dengki, berambisi pada posisi tertentu dan riya merupakan sumber
keserahan jiwa (stress).
Penyakit-penyakit hati itu akan tumbuh subur pada masa remaja yang
mengalami fluktuasi gejolak jiwa akibat rasionya mempertanyakan kmbali konsep
agama dan Tuhan, ambisinya yang melampaui pertimbangan akal sehatnya, dan
kebutuhan pada pengakuan social yang sering kali menampakkan dirinya pada
tatanan aksesoris dari pada esensi kemampuannya mengelola hidupsecara mandiri.
Inilah yang dapat mengakibatkan goyahnya hati nurani dan membuat paradigma
seolah-olah adalah suara hati, dan membuatnya sukar untuk mengetahui apakah ini
paradugma, emosi, tersepsi ataukah suara hati.
Kecerdasan spiritual ditandai dengan kemampuan mengelola emosi. Sedangkan
sabar adalah kata lain dari kemampuan mengendalikan emosi. Dalam sikap sabar
rerkanung 4C, yaitu:
1.
Commitment, yaitu niat atau tekad yang menghunjam
dalam kalbu
untuk mencapai cita.
untuk mencapai cita.
2.
Consistence, yaitu satu padunya isi hati dan fikiran dengan
ucapan dan tindakan.
ucapan dan tindakan.
3.
Consequence, yaitu siap dan sabar menanggung risiko.
4.
Continues, yaitu sikap sabar melalui proses tahap demi tahap
secara berkelanjutan.
secara berkelanjutan.
Demikianlah konsep sabar sebagai penawar dalam mmengelola emosi dan emosi
erat kaitannya dengan spiritual, yautu untuk mrningkatkan spiritual harus
terlebih dahulu mengendalikan emosi atau mengelola kecerdasan emosional.
Dari uraian diatas secara tidak langsung kita dapat menyadari bahwa suara
hati adalah salah satu lanasan kecerdasan spiritual, yang dapat menuntun jiwa
kita kearah fitrah yang telah ditakdirkan Tuhan terhadap seluruh umat manusia.
KESIMPULAN
Hati-nurani ialah alat bagi penghakiman moral, penuh derita dan mutlak,
karena penghakiman itu ialah penghakiman Ilahi atas perbuatan-perbuatan
seseorang yang sudah berlangsung atau sedang berlangsung. Hati-nurani yang
bertindak sebagai saksi dan pawang yang baik dalam aspek negatif maupun positif
seorangan. Hati nurani akan menjadi pembimbing terhadap apa yang harus di
tempuh dan apa yang harus di perbuat.
Pada dasarnya hati manusia itu bersifat Universal dengan catatan manusia
itu telah mencapai titik fitrah (God Sport) dan terbebas dari segala
pradigma dan belenggu. Dalam keadan seperti ini manusia merasakan ketenangan
jiwa yang mendasari segala tingkah lakunya, dan menggunakan suara hati sebagai
penuntun hidupnya menuju sebuah kebenaran, dan semua itu bersumber dari yang
maha kuasa yaitu Allah.
Jika dibandingkan dengan literature-literatur Barat yang
menjelaskan tentang kecerdasan emosi, maka dapat diketahui dan dirasakan bahwa
suara hati itu adalah dorongan dari sifat-sifat Allah yang terdapat dalam
Al-Qur’an. Jadi dapat dikatakan bahwa suara hati itu bersumber dari sifat-sifat
Allah yang terdapat dalam Al-Qu’an. Sifat-sifat inilah yang sering muncul
sebagai suatu dorongan yang diirasakan di berbagai situasi berbeda. Bisa berupa
larangan, peringatan, atau sebaliknya, sebuah keinginan bahkan juga bimbingan.
Kecerdasan spiritual adalah kecedasan jiwa. Ia adalah kecerdasan yang
dapat membantu kita menyembuhkan dan membangun diri kita secara utuh.
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang berada di bagian diri yang dalam,
berhubungan dengan kearifan diluar ego atau pikiran standar.
Kecerdasan spiritual ditandai dengan kemampuan merasakan kehdiran Tuhan
yang ada gilirannya berimplikasi pada ketenangan jiwa. Kehadiran Allah SWT
hanya akan dapat dirasakan bila hati bersih dari aneka kotoran dan penyakit.
Barulah kita dapat merasakan kehadiran Tihan. Dari uraian diatas secara tidak
langsung kita dapat menyadari bahwa suara hati adalah salah satu lanasan
kecerdasan spiritual, yang dapat menuntun jiwa kita kearah fitrah yang telah
ditakdirkan Tuhan terhadap seluruh umat manusia.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun ESQ Emotional
Spiritual Questient Berdasarkan Enam Rukun Iman dan Lima Rukun Islam, Jakarta:
Arga, Cet. 17, 2004.
Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses
Membangkitkan ESQ Power Sumber Inner Journey Melalui Al-Ihsan, Jakarta:
Arga, 2003.
Zohar, Danah dan Ian Marshall. SQ memanfaatkan
Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik Untuk Memaknai
Kehidupan, Bandung: Mizan Media Utama, Cet. III, 2001.
Adnan, H. S.
Habib. Agama Masyarakat Dan Reformasi Kehidupan.
http://tafany.wordpress.com/2007/08/18/sinopsis-kajian-psikologi-islam/.22/04/2008.
[1]
http://tafany.wordpress.com/2007/08/18/sinopsis-kajian-psikologi-islam/.22/04/2008
[2]
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power Sumber Inner
Journey Melalui Al-Ihsan, (Jakarta: Arga, 2003), h. 85.
[3]
"The New Bible Dictionary", Inter-Varsity Press: London, (c) 1988, p
371-372.
Yohannes/ Biblika. 22/04/2008.
Yohannes/ Biblika. 22/04/2008.
[4] http://www.sarapanpagi.org/hati-nurani-vt178.html.22/04/2008.
[6] H.
S. Habib Adnan, Agama Masyarakat…,hlm. 10
[8]
Al-Qur’anul Karim, Surat As Sajdah Ayat: 9
[9]
Al-Qur’anul Karim, Surat Al-A’far Ayat : 22-24
[10]
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun ESQ Emotional Spiritual
Questient Berdasarkan Enam Rukun Iman dan Lima Rukun Islam, (Jakarta:
Arga,2004), Cet. 17, h. 9-10
[11]
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun ESQ Emotional Spiritual
Questient Berdasarkan Enam Rukun Iman dan Lima Rukun Islam, (Jakarta:
Arga,2004), Cet. 17, h. 68
:)
BalasHapus