PENDAHULUAN
Pemikiran yang menganggap
semua agama itu sama telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam
lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan
gerakan yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Ummat
Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal
ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan
atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah
dengan jelas sekali mengakomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah
pula menjelaskan hukum-hukum terkait.
Parahnya, pluralisme agama
malah dianggap realitas dan sunnatullah. Sebenarnya fahaman inipun bukan baru.
Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari
perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung
paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran
Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan
(pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja.
Padahal keduanya sangat
berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam
agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang
kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam
disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga
agenda penting globalisasi.
Untuk dapat memahami
pluralisme secara lebih menddalam, selanjutnya akan dibahas mengenai seluk
beluk pluralisme dan bagaimana pandangan para ulama mengenai perkembangannya di
Indonesia. Dalam pembahasan juga dibahas mengenai pembagian plurarrisme dan
faktor-faktor pluralisme di dalam Agama.
PLURALISME
A. Definisi Pluralisme Agama
Pluralisme
agama bisa dipahami dalam minimum tiga kategori. Pertama, kategori
sosial. Dalam pengertian ini, pluralisme agama berarti ”semua agama berhak
untuk ada dan hidup”. Secara sosial, kita harus belajar untuk toleran dan
bahkan menghormati iman atau kepercayaan dari penganut agama lainnya. Kedua,
kategori etika atau moral. Dalam hal ini pluralisme agama berarti bahwa ”semua
pandangan moral dari masing-masing agama bersifat relatif dan sah”. Jika kita
menganut pluralisme agama dalam nuansa etis, kita didorong untuk tidak
menghakimi penganut agama lain yang memiliki pandangan moral berbeda, misalnya
terhadap isu pernikahan, aborsi, hukuman gantung, eutanasia, dll. Ketiga,
kategori teologi-filosofi. Secara sederhana berarti ”agama-agama pada
hakekatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan”. Mungkin
kalimat yang lebih umum adalah ”banyak jalan menuju Roma”. Semua agama menuju
pada Allah, hanya jalannya yang berbeda-beda. Selanjutnya, dalam tulisan ini,
setiap kali kita menyebut pluralisme agama, yang dimaksudkan adalah pluralisme
agama dalam kategori teologi-filosofi ini.
Ada
pula yang mengattakan bahwa pluralisme adalah suatu kenyataan yang sebaiknya
diperkenalkan kepada generasi awal. mencampurkan adukan keyakinan adalah suatu
kemungkaran dengan demikian dengan tetap memegang teguh keyakinan dan
syariatnya dilaksanakan serta dengan mengadakan pembiaran kepada keyakinan
orang lain merupakan makana sesungguhnya dari ” lakum dinukum Walyadien” jika
pluralisme disikapi dengan saling curiga, saling salahkan dan saling melecehkan
atau merasa yang ia yakini harus diyakini pula oleh orang lain justru akan
menimbulkan konflik. yang paling penting adalah bagi mana kita sebagi umat
islam menggambarkan wajah islam yang sesungguhnya kepada generasi muda tanpa
adanyanya ekslusifisme golongan atau keyakinan.
Apabila gelombang pluralisme
agama ini kian meningkat diantara generasi Islam, sepertinya rasa skeptis akan
kepercayaan terhadap Islam akan terjadi penipisan dan kristenisasi yang
mendasari gerakan tersebut mungkin saja akan semakin meningkat. Tetapi
justifikasi dari umat Ismalam kanan yaitu fitnah atas plarisme ibnu a’rabi
sudah marak dan menjadi simbol bagi JIL, padahal ibnu arabi tidak pernah
memaparkannya.
B. Faktor-Faktor Pendorong Pluralisme
Agama
Fundamentalisme
agama disertai dengan manifestasinya yang salah adalah racun berbahaya yang
sedang berkembang luas. Walaupun demikian, saat ini pluralisme agama sebagai
”lawannya” juga menjelma menjadi virus yang cepat menular. Pluralisme agama
kenyataannya makin populer di kalangan orang-orang yang beragama maupun tidak
beragama, berpendidikan tinggi maupun rendah, teolog maupun kaum awam. Di
kalangan Muslim, walaupun MUI sudah menyatakan pluralisme agama sebagai ajaran
yang haram untuk dianut, tetapi perkembangannya tampaknya terus melaju. Ada
banyak faktor yang mendorong orang untuk mengadopsi pluralisme agama. Beberapa
faktor yang signifikan adalah:
1. Iklim Demokrasi
Dalam
iklim demokrasi, kata toleransi memegang peranan penting. Sejak kecil di negara
ini kita diajar untuk saling menghormati kemajemukan suku, bahasa dan agama.
Berbeda-beda tetapi satu jua. Begitulah motto yang mendorong banyak orang untuk
berpikir bahwa semua perbedaan yang ada pada dasarnya bersifat tidak hakiki.
Beranjak dari sini, kemudian toleransi terhadap keberadaan penganut agama lain
dan agama-agama lain mulai berkembang menjadi penyamarataan semua agama.
2. Pragmatisme
Dalam konteks Indonesia maupun
dunia yang penuh dengan konflik horisontal antar pemeluk agama, keharmonisan
merupakan tema yang digemakan dimana-mana. Aksi-aksi ”fanatik” dari pemeluk
agama yang bersifat destruktif dan tidak berguna bagi nilai-nilai kemanusiaan
membuat banyak orang menjadi muak. Dalam konteks ini, pragmatisme bertumbuh
subur. Banyak orang mulai tertarik pada ide bahwa menganut pluralisme agama
(menjadi pluralis) akan lebih baik daripada seorang penganut agama tertentu
yang ”fanatik”. Akhirnya, orang-orang ini terdorong untuk meyakini bahwa
keharmonisan dan kerukunan lebih mungkin dicapai dengan mempercayai pluralisme
agama daripada percaya bahwa hanya agama tertentu yang benar. Yang terakhir ini
tentu berbahaya bagi keharmonisan masyarakat. Begitulah pola pikir kaum
pragmatis.
3. Relativisme
Kebenaran itu relatif,
tergantung siapa yang melihatnya. Ini adalah pandangan yang populer. Dalam era
postmodern ini penganut relativisme percaya bahwa agama-agama yang ada juga
bersifat relatif. Masing-masing agama benar menurut penganutnya-komunitasnya.
Kita tidak berhak menghakimi iman orang lain. Akhirnya, kita selayaknya berkata
”agamamu benar menurutmu, agamaku benar menurutku. Kita sama-sama benar”.
Relativisme agama seolah-olah ingin membawa prinsip win-win solution ke dalam
area kebenaran.
4. Perenialisme
Mengutip Komarudin Hidayat,
filsafat perennial adalah kepercayaan bahwa Kebenaran Mutlak (The Truth)
hanyalah satu, tidak terbagi, tetapi dari Yang Satu ini memancar berbagai
“kebenaran” (truths). Sederhananya, Allah itu satu, tetapi masing-masing agama
meresponinya dan membahasakannya secara berbeda-beda, maka muncullah banyak
agama. Hakekat dari semua agama adalah sama, hanya tampilan luarnya yang
berbeda.
Smith merasa bahwa pemahaman
mengenai agama ini diperlukan jikalau kita ingin berlaku adil terhadap dunia
tempat kita hidup dan terhadap Tuhan sebagaimana di wahyukan oleh agama yang
kita anut. Semua agama, entah itu Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan sebagainya,
hendaknya harus dipahami sebagai suatu perjumpaan yang penting dan berubah-ubah
antara yang Illahi dan manusia. Dengan pemahaman ini, Smith mengharapkan adanya
toleransi antar umat beragama yang berbeda-beda tersebut.
Salah satu fatwa hasil
Musyawarah Nasional (Munas) Majelis Ulama Indonesia atau MUI ke VIII yang
dianggap kontoversial adalah pelarangan penyebaran paham pluralisme agama. MUI
menilai haram terhadap pandangan pluralisme bila konsep itu diartikan sebagai
pandangan yang menyebutkan bahwa semua agama adalah sama. Lebih lanjut MUI
menjelaskan bahwa yang diperbolehkan adalah pluralitas yang diartikan sebagai
kenyataan bahwa masyarakat memiliki agama yang berbeda-beda dan karenanya harus
saling menghormati dan berdampingan dengan baik.
Lebih lanjut lagi, Majelis
Ulama Indonesia, mengungkapkan melalui fatwanya tanggal 29 Juli 2005 juga telah
menyatakan bahwa paham Pluralisme Agama bertentangan dengan Islam dan haram
umat Islam memeluk paham ini. MUI mendefinisikan Pluralisme Agama sebagai suatu
paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran
setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh
mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup
berdampingan di surga. Dr. Anis Malik Thoha, pakar Pluralisme Agama, yang juga
Rois Syuriah NU Cabang Istimewa Malaysia, mendukung fatwa MUI tersebut dan
menyimpulkan bahwa Pluralisme Agama memang sebuah agama baru yang sangat
destruktif terhadap Islam dan agama-agama lain.
Dengan keluarnya buku ‘’Semua
Agama Tidak Sama’’ dari kalangan Hindu, maka sudah semakin jelas, bahwa paham
Pluralisme Agama memang merupakan racun, virus, atau parasit bagi agama-agama
yang ada. Sebab, paham ini memang tidak mengakui kebebaran mutlak satu agama.
Kaum Pluralis ingin
menciptakan satu teologi global atau universal (global theologi), menggantikan
keyakinan khas dari masing-masing pemeluk agama. Jadi, Pluralisme Agama adalah
musuh bersama agama-agama. Maka, aneh, jika ada orang yang mengaku sebagai
pemeluk agama tertentu, tetapi pada saat yang sama dia mengaku pluralis agama.
Jika ada yang mengaku seperti itu, maka ada dua kemungkinan, pertama : tidak
tahu atau tertipu, dan yang kedua : sengaja ingin merusak agama.
Selanjutnya Smith
mengungkapkan, pluralisme agama merupakan tahapan baru yang sedang dialami
pengalaman dunia menyangkut agama. Syarat utama tahapan ini ialah kita semua
diminta untuk memahami tradisi-tradisi keagamaan lain di samping tradisi
keagamaan kita sendiri. Membangun teologi di dalam benteng satu agama sudah
tidak memadai lagi. Smith mengawali pernyataan teologisnya tentang pluralisme
agama dengan menjelaskan adanya implikasi moral dan juga implikasi konseptual
wahyu. Pada tingkat moral, wahyu Tuhan mestilah menghendaki rekonsiliasi dan
rasa kebersamaan yang dalam. Sementara, pada taraf konseptual wahyu Smith mulai
dengan menyatakan bahwa setiap perumusan mengenai iman suatu agama harus juga
mencakup suatu doktrin mengenai ag Smith merasa bahwa pemahaman mengenai agama
ini diperlukan jikalau kita ingin berlaku adil terhadap dunia tempat kita hidup
dan terhadap Tuhan sebagaimana di wahyukan oleh agama yang kita anut. Semua
agama, entah itu Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan sebagainya, hendaknya harus
dipahami sebagai suatu perjumpaan yang penting dan berubah-ubah antara yang
Illahi dan manusia. Dengan pemahaman ini, Smith mengharapkan adanya toleransi
antar umat beragama yang berbeda-beda tersebut.
C. Pluralisme Menurut MUI
Keputusan fatwa majelis ulama
Indoneisa nomor : 7/Munas VII/MUI/II/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan
Sekularisme Agama, yang berisikan sebagai berikut:
Menimbang :
- Bahwa pada akhir-akhir ini berkembang paham pluralisme agama, liberalisme dan sekularisme serta paham-paham sejenis lainnya di kalangan masyarakat;
- Bahwa berkembangnya paham pluralisme agama, liberalisme dan sekularisme serta dikalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan Fatwa tentang masalah tersebut;
- Bahwa karena itu , MUI memandang perlu menetapkan Fatwa tentang paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama tersebut untuk di jadikan pedoman oleh umat Islam.
Memutuskan:
Pertama : Ketentuan Umum
- Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.
- Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.
- Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnaah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
- Sekualisme adalah memisahkan urusan dunia dari agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesame manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.
D. Pluralisme Menurut JIL
Perdebatan soal paham
pluralisme masih terus menghangat, setidaknya, selama beberapa hari ke
belakang, banyak media menyajikan tema soal pluralisme di rubrik Opini-nya.
Perdebatan yang dipicu oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan
haramnya paham pluralisme, sekulerisme, dan liberalisme itu, memang berpotensi
terus menghangat sebagai diskursus publik. Silang pendapat para pemikir
keagamaan dalam tataran teoritis konseptual di satu sisi, dan dalam tataran
praksis, publik juga merespon dengan nada yang berbeda, di sisi yang lain.
Persoalan pluralisme memang
‘layak’ diperdebatkan, baik pluralisme dalam tataran konseptual teoritis maupun
pluralisme dalam tataran praksis atau kenyataan hidup umat beragama. Sebelum
fatwa MUI keluar soal ini, wacana pluralisme sebetulnya sudah tumbuh seiring
dengan merebaknya pemikiran liberalisme di Indonesia tahun 70-an. Nurcholish
Madjid waktu itu yang menjadi ikon intelektualnya.
Wacana ini menjadi begitu
penting dan krusial, karena terkait dengan hal penting dan sensitif, yaitu
masalah teologis. Tidak semua umat beragama sepakat mengatakan bahwa ternyata
ada kebenaran lain di luar agamanya. Ajaran kitab suci masing-masing agama
selalu mengarahkan pemeluknya untuk meyakini bahwa hanya agama tersebut yang
paling benar. Meskipun, dalam beberapa hal, dalam kitab suci masing-masing
agama ada yang menyatakan secara tersirat adanya ‘jalan lain’ di luar agamanya,
yang bisa jadi juga merupakan jalan yang absah untuk dilalui dalam prosesi
menuju Tuhan.
Selain itu, pemahaman akan
Tuhan itu sendiri juga masih berpotensi memunculkan diskursus yang panjang.
Ibnu Arabi, misalnya, ketika mencoba memahami Tuhan, ia menemukan tiga hal
penting. Pertama, Tuhan yang mutlak dalam ‘kesendirian.’ Tuhan dalam tingkatan
ini tidak ada seorangpun yang dapat menjangkaunya. Hanya Dia sendiri yang tahu
akan diri-Nya sendiri.
Kedua, Tuhan yang sudah
tersifati. Misalnya ada sifat al-rahman, al-rahim, dan sebagainya. Teologi
Asy’ariyah dalam tradisi pemikiran Islam, misalnya, mengatakan adanya 20 sifat
yang ‘wajib’ bagi Tuhan dan 20 sifat yang ‘mustahil’ bagi-Nya. Ada pula yang
menetapkan adanya 99 nama atau sifat (al-asma al-husna) bagi Tuhan. Dalam
Kristen, paham trinitas dalam banyak hal juga terkait dengan sifat Tuhan yang
mereka yakini. Dalam Hindu, banyaknya para ‘dewa’ juga merupakan representasi
dari adanya sifat-sifat Tuhan seperti yang mereka yakini.
Dan, ketiga, Tuhan yang telah
‘bersemayam’ dalam akal pikiran manusia. Dalam tataran ini, masing-masing
manusia akan berbicara tentang Tuhan sesuai dengan apa yang ia baca dalam
akalnya. Ini berpotensi besar melahirkan aneka ragam bentuk dan pola
penafsiran. Tuhan yang dipahami oleh kalangan filsuf bisa jadi sangat berbeda
dengan Tuhan yang dipahami oleh kalangan sufi ataupun ahli fikih. Itu semua
merupakan hasil yang lahir dari sebab pergulatan pemikirannya ketika membaca
teks-teks suci. Wacana pluralisme adalah salah satunya.
Pada hakikatnya, tidak ada
satu manusiapun yang mampu memahami Tuhan dalam ‘realitas-Nya’ yang konkret dan
hakiki secara utuh. Manusia hanya dapat mendekati Tuhan, akan tetapi tidak akan
mampu menjangkau-Nya secara utuh. Al-Ghazali mengistilahkannya dengan satu
ungkapan yang sangat menarik, “Semakin aku mencoba mendekat untuk memahami
Tuhan, semakin aku sadar kalau aku tidak mampu memahami-Nya.” Konsekuensi
logisnya, setiap manusia sejatinya sedang menuju Tuhan. Tidak ada yang dapat
memastikan jalan kebenaran yang pasti dan mutlak untuk menuju-Nya.
E. Pluralisme Menurut HTI
Pluralisme adalah paham yang
menempatkan keragaman sebagai nilai paling tinggi dalam masyarakat. Pluralisme
agama adalah sebuah paham yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Agama
apapun dalam pandangan paham ini hanyalah merupakan jalan yang berbeda untuk
menuju titik kebenaran yang sama (other way to the same truth). Karena itu,
tidak boleh ada klaim kebenaran atau truth claim dari agama manapun bahwa agama
itulah yang paling benar, dan juga tidak boleh ada klaim keselamatan atau truth
salvation bahwa hanya bila memeluk agama itu saja umat manusia akan selamat
dari siksa neraka. Menurut paham ini, karena agama yang ada hanya jalan yang
berbeda menuju titik kebenaran yang sama, maka semua agama pasti akan
menghantarkan pemeluknya menuju surga.
HTI memandang, pluralitas
dalam arti keragaman ras, suku, agama, bangsa, bahasa dan agama harus kita
terima. Sedang pluralisme, apalagi pluralisme agama harus kita tolak karena
bertentangan dengan prinsip-prinsip aqidah Islam.
Pluralisme, apalagi pluralisme
agama, tentu sangat berbahaya. Pertama, secara i’tiqadi paham ini merusak
aqidah Islam. Pluralisme agama adalah sejenis sinkretisme, yakni paham yang
menyamadudukkan agama. Artinya semua agama menurut paham ini hakekatnya sama.
Yang berbeda hanyalah bentuk luarnya atau aspek eksoterisnya saja, sedang aspek
esoterisnya atau inti ajaran agama, semuanya sama, yakni menuju kepada Tuhan
yang sama. Paham semacam ini jelas bertentangan dengan aqidah Islam karena
menurut aqidah Islam hanya Islam saja agama yang benar, yang diridhai Allah
SWT, dan barang siapa mencari agama selain Islam pasti tertolak dan di negeri
akhirat termasuk orang yang merugi karena pasti akan masuk neraka
selama-lamanya.
Sementara secara empiris,
paham ini membuat orang tidak lagi kokoh memegang aqidah dan syariah Islam,
bahkan akan cenderung memusuhi karena menganggap ide penerapan syariah dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara misalnya, berarti hanya mengunggulkan
agama Islam dari agama lain yang ada. Inilah salah satu faktor yang membuat
mengapa upaya penerapan syariah di negeri yang berpenduduk mayoritas muslim ini
terasa begitu sulit karena tak henti ditentang oleh umat Islam termasuk
tokoh-tokohnya yang berpandangan pluralisme tadi. Karena itu, fatwa MUI yang
mengharamkan pluralisme agama sudah sangat tepat, dan bila ada upaya yang ingin
menghapus fatwa itu harus tegas ditolak
HTI sangat mengakui keragaman
agama, suku, ras, bangsa dan bahasa. Sekali lagi, itu semua adalah realitas
dari pluralitas masyarakat. Dan ingat, Islam tidak pernah merasa asing dengan
pluralitas masyarakat. Dalam sejarahnya, semua masyarakat yang dibentuk Islam
di masa lalu, termasuk masyarakat Islam pertama yang dibentuk Nabi di Madinah,
selalu adalah masyarakat plural. Ketika risalah Islam diturunkan untuk membawa
rahmat kepada seluruh alam, itu artinya rahmat kepada pluralitas masyarakat.
Maksudnya, sebuah masyarakat plural, yang terdiri dari ragam ras, suku, bangsa,
bahasa dan agama itu, benar-benar akan mendapatkan kebaikan bila diatur dengan
syariah Islam.
Islam memposisikan non muslim
dengan sangat baik. Mereka akan dianggap sebagai bagian integral dari
masyarakat Islam. Meski mereka warga non muslim, harus tetap dihormati dan
tidak boleh didzalimi. Harta, jiwa dan kehormatan mereka tidak boleh dicederai.
Mereka juga tidak boleh dipaksa masuk Islam. Sebagai ahludz dzimmah, mereka
berhak mendapatkan perlindungan agama, harta, jiwa dan kehormatan. Itulah
mengapa dalam sejarah peradaban Islam, warga non muslim bisa hidup aman, damai
dan sejahtera di tengah-tengah mayoritas warga muslim. Tidak sekalipun pernah
tercatat pemberontakan warga non muslim dalam masyarakat Islam.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Hick, John. “Ketidakmutlakan Agama Kristen” dalam Mitos
Keunikan Agama Kristen, Eds. John Hick dan Paul F. Knitter. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
http://kaahil.wordpress.com/2009/10/25/bantahan-jil-pluralisme-bukan-slam-yang-paling-benar/
http://swaramuslim.net/more.php?id=A5311_0_1_0_M
http://swaramuslim.com/more.php?id=6348_0_1_0_M
Lumintang, Stevri L. Teologia Abu-Abu
Pluralisme Agama. Malang: Gandum Mas, 2004.
Suseno,
Frans Magnis S.J. Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk.
Jakarta: Obor, 2004.
thanks for sharing this article ^^ permit to make it reference for my task thanks
BalasHapus