Senin, 06 Februari 2012

AL-KINDI

PENDAHULUAN

Filsafat islam itu sendiri adalah hasil pemikiran filsuf tentang ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistimatis.
 Dalam perkembangan akhir-akhir ini, cakupan dalam filsafat islam itu diperluas kepada segala aspek ilmu-ilmu yang terdapat dalam khasanah pemikiran keislaman, yang mana diantaranya meliputi perbincangan oleh para filsuf dalam wilayah kekuasaan islam yang pengertiannya secara khusus, ialah pokok-pokok atau dasar-dasar pemikiran yang dikemukakan oleh para filsuf islam.

 Pada masa ab-Basiyah yang mana pada masa ini kota Baghdad dibangun, dan menjadi pusat kebudayaan islam, yang pindah dari kuffah dan bashrah kekota yang baru itu. Sejak itu Baghdad menjadi pusat kekhalifahan disamping menjadi pusat kegiatan ilmu, filsafat dan peradaban. Didalam suasana kehidupan politik dan pemikiran sedang berkembang pesat, muncullah seorang filosof arab atau filosof islam yang bernama Al-kindi. Pada kesempatan ini kita akan membahas tentang Al-Kindi, diantaranya tentang biografi, karya, dan filsafatnya.

A.    Biografi[1]
Al-Kindi yang di kenal sebagai filsuf muslim keturunan arab pertama, mempunyai nama lengkap Abu Yusuf Yakub Ibn Ishaq Ibn al-shabbah Ibn Imran Ibn Muhammad Ibn al-Asy’as Ibn Qois al-Kindi. Al-Kindi dinisbatkan kepada kindah, yakni suatu kabilah terkemuka  pra-islam yang merupakan cabang dari bani Kahlan yang menetap di Yaman.
Ia lahir di kufah sekitar 185 H ( 801 M) dari keluarga kaya dan terhormat. Kakek buyutnya, al-Asy’as ibn Qais yang merupakan salah seorang sahabat Nabi. Sedangkan ayahnya, Ishaq ibn al-Shabbah adalah gubernur kuffah pada masa pemerintahan al-Mahdi(775-785 M) dan Al-Rasyid (786-809 M).
Meskipun Al-Kindi ditinggal wafat ayahnya ketika masih kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu dengan baik di Bashrah dan Baghdad dimana ia dapat bergaul dengan ahli fakir terkenal. Dan ia berkecimpung secara langsung dalam dunia pendidikan ilmu dan filsafat hingga berhasil menguasai dengan baik[2].
Al-kindi hidup semasa pemerintahan daulah Abbasyiah, tepatnya di masa kejayaan dinasti Ab-basiyah dan berkembangnya intelektual khususnya faham mu’tazillah.
Ia pernah diundang khalifah Al-Ma’mun untuk mengajar di Bait al-Hikmah dan mengasuh ahmad putera khalifah al-Mu’tasyim. Melalui lembaga Bait al-Hikmah ini lah ia sangat dikenal dan berjasa dalam gerakan penterjemahan, dan seorang pelopor yang memperkenalkan tulisan-tulisan Yunani, Suriyah, dan Inda kepada dunia Islam. Al-kindi bukan hanya dikenal sebagai penterjemah, tetapi juga berkemampuan diberbagai ilmu seperti kedokteran, filsafat semantik, geometri, al-jabar, ilmu falak, astronomi, bahkan ia juga berkemampuan dalam mengubah lagu.
Dan ia juga mempelajari berbagai cabang ilmu keagamaan seperti hukum syaria’t dan ilmu kalam. Ia turut menyumbangkan pemikirannya secara efektif dalam memasukkan filsafat kedalam khazanah pengetahuan islam setelah disesuaikan lebih dulu dengan agama[3].
Ketika dinasti Ab-basiysah diperintah oleh Al-Mutawakkil, mazhab Asy’ariyah dijadikan sebagai mazhab resmi Negara, suasana ini dimanfaatkan oleh kelompok yang anti filsafat. Atas asutan Muhammad dan Ahmad diantaranya mereka katakan bahwa orang yang mempelajari filsafat menjadi kurang hormat kepada agama__Al-Mutawakkil memerintah agar Al-Kindi didera dan perpustakaannya yang bernama al-Kindiyah disita.
Sebenarnya, tidak ada kepastian tentang tanggal kelahira, kematian dan siapa saja yang menjadi gurunya. Ada yang mengatakan beliau wafat sekitar 860 M, 870 M, 866 M, dan ada pula yang mengatakan setelah beusia 80 tahun.

B. Karyanya[4]

Sebagai seorang filsuf islam yang sangat produktif, diperkirakan karya yang pernah ditulis Al-Kindi dalam berbagai bidang tidak kurang dari 270 buah. Dalam bidang filsafat, diantaranya:
  1. Kitab Al-Kindi ila Al-Mu’tasyim Billah fi al-Falsafah al-Ula (tentang filsafat pertama)
  2. Kitab Al-Falsafah al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Muthiqiyyah wa al-Muqtasyah wa ma Fawqa al-Thabi’iyyah ( tentang filsafat yang diperkem=nalkan dan masalah-masalah logika dan muskil serta metafisika)
  3. Kitab fi Annahu la Tanalu al-Falsafah illa bi ‘Ilm al-Riyadhiyyah ( tentang filsafat tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matematika)
  4. Kitab fi Qashd Aristhathalis fi al-Maqulat (tentang maksud-maksud aristoteles dalam kategori-kategorinya)
  5. Kitab fi Ma’iyyah al-‘Ilm wa Aqsamihi (tentang sifat ilmu pengetahuan dan klasifikasinya)
  6. Risalah fi Hudud al-Asyya’ wa Rusumiha ( tentang difinisi benda-benda dan uraiannya)
  7. Risalah fi Annahu Jawahir la Ajsam (tentang substansi-snbstansi tanpa badan)
  8. Kitab fi ibarah al-Jawami’ al-Fikriyah (tentang ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komprehensif)
  9. Risalah al-hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah (sebuah tulisah filosofis tentang rahasia-rahasia spiritual)
  10. Risalah fi al-ibanah an al-‘Illat al-Fa’ilat al-Qaribah li al-Kawn wa al-Fasad (tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam dan kerusakan)
C. Filsafatnya[5]
1. Talfiq
Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth, Al-quran yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bebtentangan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat. Jadi filsafat dan agama kedua-duanya menghendaki kebenaran, agama menempuh jalan syari’at sedangkan filsafat dengan jalan metode pembuktian, yang dipandang sebagai hasil kesanggupan manusia yang menempati kedudukan tertinggi[6]. Kerena itu mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang, bahkan teologi adalah bagian dari filsafat, sedangkan umat islam diwajibkan mempelajari filsafat.
Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama disamping menggunakan wahyu juga mempergunakan akal, dan filsafat juga mempergunakan akal. Bagi al-Kindi yang benar pertama ialah Tuhan. Yang mana filsafat yang paling tinggi yaitu filsafat tentang tuhan.
Dengan demikian orang yang menolak filsafat maka orang tersebut menurut al-Kindi adalah orang yang mengingkari kebenaran, kerena itu ia dapat di kelompokkan kepada “ksfir”. Kerena orang itu telah jauh dari kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling benar. Disamping itu kerana pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang tuhan, tentang keesaanNya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal yang sebaliknya. Oleh kerana itu kita harus menyambut dengan gembira dari mana pun datangnya, sebab “tidak ada yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran daripada kebenaran itu sendiri”.kerana itu tidak wajar meremehkan kebenaran dan orang yang mengatakannya dan mengerjakannya.tidak ada seorang pun yang akan rendah dengan sebab kebenaran, sebaliknya semua orang akan mulia oleh kebenaran. Bahkan lawan-lawan filsafat memerlukan sekali kepada filsafat untuk memperkuat alasan-alasanya tentang tidak perlunya filsafat[7].
Disamping argument rasional, al-Kindi juga mengacu kepada al-Quran, diantaranya: Al-Hasyr ayat 2, Al-Ghasyiyah ayat 17-20, Al-‘Araf ayat 185, dan al-Baqarah ayat 164.
Pengingkaran hasil-hasil filsafat kerena adanya hal-hal yang bertentangan dengan apa yang menurut mereka telah mutlak yang digariskan  al-Qur’an. Menurut al-Kindi hal semacam itu tidak dapat dijadikan alas an untuk menolak filsafat, karena dapat dilakukan ta’wil.
Walaupun al-Kindi termasuk pengikut rasional dalam arti umum, tetapi ia tidak mendewa-dewakan akal. Baginya, tanggapan pemikiran belum dapat menjamin kebenaran sesuatu, karena itu dibutuhkan alat yang menjamin untuk kebenaran sesuatu, yaitu mura’ah al-zihni anil khatha’I.
Menurut al-Kindi, kita tidak boleh malu untuk mengikuti kebenaran dan mengambilnya,darimana pun dating nya, meskipun dari bangsa lain yang jauh letaknya dari kita.
2. Metafisika

Adapun mengenai kebenaran, bagi al-Kindi, Tuhan adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului oleh wujud lain. Metafisik menurut al-kindi adalah pengetahuan tentang kebenaran pertama yang merupakan illah bagi semua kebenaran[8].  
Didalam alam terdapat benda-benda yang dapat ditangkap oleh panca indera. Benda-benda itu merupakan juz’iyah (partikulars). Yang penting bagi filsafat, kata al-kindi, bukan juz’iyah yang tak terhingga banyaknya itu, tetapi hakikat yang terdapat dalam juz’iyah tersebut, yaitu kulliah(universal). Tiap-tiap benda memiliki dua hakikat. Hakikat sebagai juz’I yang disebut aniah dan hakikat sebagai kulli yang disebut mahiyah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan species.
Tuhan dalam filsafat al-kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti aniah atau mahiah. Namun manurut al-kindi menurut faham dalam islam adalah pencipta dan bukan pengerak pertama sebagai mana pendapat Aristoteles. Bagi al-kindi, keterbatasan waktu dan gerak merupakan petunjuk terhadap bermulanya dunia dalam waktu.
Sebagai pencipta dunia, sifat Tuhan yang utama adalah Esa. Mengenai kekuasaan Tuhan dan kebijaksanaanNya apabila dirunungkan, kita dipenuhi rasa kagum karena begitu rasional dan harmonis penataan alam semesta. Dan tuhan telah menjadikan manusia sebagai miniature bagi seluruh ciptaan. Inilah sebabnya mengapa para filsuf kuno melukiskan manusia sebagai mikrokosmos. Mengenai kosmologi, Al-kindi berpendapat bahwa alam ini dijadikan Tuhan dari tiada.
Pendapat al-kindi, penciptaan dunia secara ex nihilio, menunjukkan sikap yang masih sulit melepaskan diri dari prinsip-prinsip tiologis, terutama mu’tazilah, dan bertujuan sebagai pembelaan terhadap kepercayaan islam dalam menghadapi serangan-serangan. Meskipun begitu ia tetap mengakui peranan sebab-sebab skunder dalam kelangsungan alam. Lebih lanjut, al-kindi berpendapat bahwa alam ini terdiri dari dua bagian, yakni alam yang terletak dibawah falak bulan dan alam yang merentang tinggi sejak dari falak bulan sampai keujung alam. 
3. Jiwa

    Adapun tentang jiwa, menurut Al-Kindi, tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi roh berasal dari substansi tuhan. Hubungan roh dengan tuhan sama dengan hubungan cahaya dan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, ilahiyah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jismi mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah. Al-Kindi membuat perbandingan tentang keadaan  jiwa. Jika kemulian jiwa diingkari dan tertarik kepada kesenangan-kesenagan jasmani, l-kindi membandingkan mereka dengan babi, kerena kecakapan apatitif menguasain mereka. Jika dorongan-dorongan nafsu birahi yang sangat dominan, dibandingkan al-kindi dengan anjing. Sedangkan bagi mereka yang yang menjadikan akal sebagia tuannya, dibandingkan al-kindi dengan raja. Namun demikian, antara jiwa dan jismi, kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan dan saling memberi bimbingan.
Argumen yang dimajukan al-kindi tentang perlainan roh dari badan ialah roh menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah. Pendapat al-Kindi ini lebih mengarah kepada pemikiran Plato tentang jiwa ketimbang jiwa menurut Aristoteles. Namun meskipun begitu al-Kindi tidak menyetujui pendapat plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide.
Al-kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya, yakni: daya bernafsu, daya pemarah, dan daya berfikir. Daya berpikir inilah yang disebut akal. Bagi alkindi akal tersebut terbagi kepada:
·         akal yang bersifat potensial
·         akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi actual
·         akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.
Akal yang bersifat potensial tidak dapat keluar menjadi actual jika tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Karena itu ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud diluar roh manusia, yakni akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal yang selamanya dalam aktualitas inilah yang menggerakkan  potensial menjadi actual.
Jiwa atau roh selama berada dalam badan tidak akan memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Hanya roh yang suci didunia ini yang dapat pergi ke alam kebenaran. Disini terlihat bahwa  Al-Kindi tidak percaya pada kekekalan hukum terhadap jiwa, tetapi meyakini bahwa pada akhirnya jiwa akan memperoleh keselamatan dan naik kealam akal. Kendatipun bagi Al-Kindi jiwa adalah qadim, namun keqadimannya berbeda dengan qadimnya Tuhan. Qadimnya jiwa kerena diqadimkan oleh Tuhan.
Al-kindi adalah orang yang pertama yang merintis jalan menyesuaikan filsafat Yunani degan prinsip-prinsip ajaran islam sehingga lahirlah filasafat islam. Namun al-kindi tampak bigung menghadapi filsafat Aristoteles dan aliran Neo-platonisme akibat revisi yang dilakukan terhadap karya tulis Plotinus, yang terkenal dengan nama ennead (ketuhanan). Al-kindi tidak menyadari adanya perbedaan antara annead dengan aliran Aristoteles. Selain itu ia juga bingung memahami perbedaan antara jiwa dan akal, kerena itu dalam risalah yang ditulisnya kadang ia mengambil pemikiran Aristoteles dan terkadang Plotonius[9]. 
4. Moral 
Menurut Al-Kindi filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa seorang filsuf wajib menempuh hidup susila. Hikmah sejati membawa serta pengetahuan serta pelaksanaan keutamaan. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia (Stoa). Tabiat manusia baik tetapi ia digoda oleh nafsu. Konflik itu dihapuskan oleh pengetahuan (pradok Socrates). Manusia harus menjauhi diri dari keserakahan. Al-kindi  mengecam para ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filsuf yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam Negara. Sebagai filsuf, Al-Kindi prihati, kalau-kalau syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara wajar. Kerena itu dalam akhlak dia mengutamakan kaedah Stao dan Socrates.  

 KESIMPULAN

Al-kindi adalah filosof yang pertama-tama menyelami persoalan filsafat dan keilmuan dengan menggunakan bahasa arab. sebagai seorang yang mempelajari pikiran-pikiran filsafat dari masa-masa sebelumnya, maka ia harus memperkenalkan pikiran-pikiran tersebut kepada dunia arab-islam tentang berbagai persoalan yang sebenarnya terasa asing sama sekali oleh mereka. Meskipun sulit menghadapinya namun ia bias menyelesaikannya dengan baik.
Adapun filsafatnya yaitu mengenai:
·         Pemaduan antara agama dan filsafat,
·         Metafisika yaitu tentang ketuhanan,
·         Jiwa, dan
·         Moral
  
REFERENSI

  • Al-Ahwani, Ahmad fuad, filsafat islam. Jakarta: Pustaka firdaus, 1988
  • Hanafi, Ahmad, pengantar filsafat islam. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1996 
  • Nasution, Hasyimsyah, filsafat islam. Jakarta: GAya Media Pratama, 1999



[1] Hasyimsyah Nasution, filsafat islam. Hal:15

[2] Ahmad fuad al ahwani, filsafat islam. Hal: 52
[3] Ahmad fuad al ahwani, filsafat islam. Hal:51
[4] Hasyimsyah Nasution, filsafat islam. Hal:17
[5] Hasyimsyah Nasution, filsafat islam. Hal: 17
[6] Ahmad fuad al ahwani, filsafat islam. Hal: 53
[7] Ahmad hanafi, pengantar filsafat islam. Hal:60
[8] Ahmad fuad al ahwani, filsafat islam. Hal: 54
[9] Ahmad fuad al ahwani, filsafat islam. Hal: 55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar