Ibnu Bajjah adalah salah seorang tokoh filosaf yang namanya sudah taka
sing lagi di telinga kita. Nama lengkap beliau adalah Abu Bakar Muhamad ibn
Yahya ibn al-Sha’igh al-Tujibi al-Andalusi al-Samqusti ibn Bajah. Selain
sebagai filsuf, Ibn Bajah dikenal sebagai penyair dan komponis.
Ibn Bajah sebagai seorang filosof mengemukakan teorinya yakni
al-Ittishal, yaitu bahwa manusia mampu berhubungan dan meleburkan diri dengan
Akal Fa’al atas bantuan ilmu dan pertumbuhan kekuatan insaniyah. Berkaitan
dengan teori ittishal tersebut, Ibn Bajah juga mengajukan satu bentu
epistemology yang berbeda dengan corak yang dikemukakan oleh Al-Ghazali di
Dunia Islam Timur.
Kalau Al-Ghazali berpendapat bahwa ilham adala sumber pengetahuan yang
lebih penting dan lebih dipercya, maka Ibn Bajah mengkritik pendapat tersebut,
dan menetapkan bahwa sesungguhnya perseorangan mampu sampai kepada puncak
pengetahuan dan melebur ke dalam Akal Fa’al, bila ia telah bersih dari
kerendahan dan keburukan masyarakat. Kemampuan menyendiri dan mempergunakan
kekuatan akalnya akan dapat memperoleh pengetahuan dan kecerdasan yang lebih
besar. Pemikiran insani dapat mengalahkan pemikiran hewani, sekaligus pikiran
inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Lebih jauh, Ibn Bajah menjelaskan bahwa masyarakat umum bisa mengalahkan
perseorangan.
A. Biografi[1]
Nama lengkapnya adalah Abu
Bakar Muhamad ibn Yahya ibn al-Sha’igh al-Tujibi al-Andalusi al-Samqusti ibn
Bajah. Beliau dilahirkan di Saragosa, Andalus pada tahun 475 H (1082 M),
berasal dari keluarga al-Tujib. Karena itu ia dikenal sebagai al-Tujibi
yang bekerja sebagai pedagang emas (Bajah = emas). Tetapi, di Barat ia
lebih dikenal dengan nama Avempace. Secara mendetail perjalanan hidupnya
sejak kecil sampai dewasa kurang diketahui.
Selain
sebagai filsuf, Ibn Bajah dikenal sebagai penyair, komponis, bahkan sewaktu
Saragosa berada di bawah kekuasaan Abu Bakar ibn Ibrahim al-Shahrawi (ibn
Tifalwit) dari Daulah Al-Murabithun, ibn Bajah dipercayakan sebagai wazir.
Tetapi, pada tahun 512 H Saragosa jatuh ke tangan Raja Alfonso I dari Arogan
dan ibn Bajah terpaksa pindah ke Sevilla. Di kota ini ia bekerja sebagai
dokter, kemudian ia pindah ke Granada dan dari sana ia pindah ke Afrika Utara,
pusat Dinasti Murabithun. Malang bagi Ibnu Bajah, setibanya di kota Syatibah ia
ditangkap oleh Amir Abu Ishak Ibrahim ibn Yusuf ibn Tasifin yang menuduhnya
sebagai murtad dan pembawa bid’ah, karena pikiran-pikiran filsafatnya yang
asing bagi masyarakat Islam di Maghribi yang sangat kental dengan paham sunni
ortodoks. Atas jasa Ibnu Rusyd, yang pernah menjadi muridnya, Ibnu Bajah
dilepaskan. Kondisi masyarakat Baeber yang belum bisa berpikir filosofis
tersebut, menyebabkan ia melanjutkan pengembaraannya ke Fez di Maroko.di sini
ia masih dapat melanjutkan karirnya sebagai ilmuan di bawah perlindungan
penguasa Murabithun yang ada di sana. Bahkan, hubungannya dengan pihak penguasa
istana berjalan baik, sehingga ia diangkat sebagai menteri leh Abu Bakar Yahya
ibn Yusuf ibn Tasifin untuk waktu yang lama. Akhirnya, ia meninggal pada 533 H
(1138 M) di Fez, dan dimakamkan di samping makam Ibn ‘Arabi. Menurut satu
riwayat, ia meninggal karena diracun oleh seorang dokter bernama Abu Al-‘Ala
ibn Zuhri yang iri hati terhadap kecerdasan, ilmu dan ketenarannya.
B. Karyanya
Di
antara karya ibnu Bajah yang terpenting adalah :[2]
- Risalah al-Wada’, berisi tentang Penggerak Pertama bagi wujud manusia, alam serta beberapa uraian mengenai kedokteran. Buku ini tersimpan di perpustakaan Bodleian.
- Risalah Tadbir al-Mutawahid (tingkah laku sang penyendiri), yang sampai sekarang dikenal melalui salinan Salmon Munk dari terjemahan bahasa Ibrani, tetapi dicetak oleh Asin dari perpustakaan Bodleian dan diterbitkan sesudah wafatnya dengan terjemahan bahada Spanyol. Isi kitab ini mirip dengan kitab Al-Farabi, al-Madinah al-Fadhilah. Hanya ia lebih menekankan kehidupan individu dalam masyarakat yang disebut Mutawahid. Pemikiran filsafatnya termuat dalam kitab ini.
- Kitab al-Nafs, berisi keterangan mengenai kegemaran Ibn Bajah, yakni pemusatan dalam batas kemungkinan persatuan jiwa manusia dengan Tuhan, sebagai aktivitas manusia dan kebahagiaan yang tertinggi, yang merupakan tujuan akhir dari wujud manusia.
- Risalah al-Ittishal al-‘Aql bi al-Insan (perhubungan akal dengan manusia), berisi uraian tentang pertemuan manusia dengan Akal Fa’al.
- Komentar terhadap logika Al-Farabi, sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan Escurial (Spanyol).
- Beberapa ulasan terhadap buku-buku filsafat, antara lain dari Aristoteles, Al-Farabi, Porphyrus, dsb. Menurut Carra de Vaux, di perpustakaan Berlin ada 24 risalah manuscript karangan Ibn Bajah, di antaranya Tardiyyah.[3]
C. Filsafatnya tentang Epistemologi
Sebagai tokoh
pemula Filsafat Islam di Dunia Islam Barat, Ibn Bajah tidak lepas dari pengaruh
saudara-saudaranya, filsuf di Dunia Islam Timur, terutama pemikiran Al-Farabi
dan Ibn Sina. Dalam bukunya yang terkenal Tadbir al-Mutawahid, Ibn Bajah
mengemukakan teori al-Ittishal, yaitu bahwa manusia mampu berhubungan dan
meleburkan diri dengan Akal Fa’al atas bantuan ilmu dan pertumbuhan kekuatan
insaniyah. Segala keutamaan dan perbuatan-perbuatan budi pekerti mendorong
kesanggupan jiwa yang berakal, serta penguasaannya terhadap nafsu hewani.
Dengan kata lain, seseorang harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
berhubungan dengan alam yang tinggi, bersama masyarakat atau menyendiri dari
masyarakat. Hal ini merupakan pengaruh tasawuf, melebihi pengaruh Al-Farabi.[4]
Berkaitan dengan teori ittishal tersebut, Ibn Bajah juga
mengajukan satu bentu epistemology yang berbeda dengan corak yang dikemukakan
oleh Al-Ghazali di Dunia Islam Timur. Kalau Al-Ghazali berpendapat bahwa ilham
adala sumber pengetahuan yang lebih penting dan lebih dipercya, maka Ibn Bajah
mengkritik pendapat tersebut, dan menetapkan bahwa sesungguhnya perseorangan
mampu sampai kepada puncak pengetahuan dan melebur ke dalam Akal Fa’al, bila ia
telah bersih dari kerendahan dan keburukan masyarakat. Kemampuan menyendiri dan
mempergunakan kekuatan akalnya akan dapat memperoleh pengetahuan dan kecerdasan
yang lebih besar. Pemikiran insani dapat mengalahkan pemikiran hewani,
sekaligus pikiran inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Lebih jauh, Ibn Bajah menjelaskan bahwa masyarakat
umum bisa mengalahkan perseorangan. Masyarakat dapat melumpuhkan daya kemampuan
berpikir perseorangan dan menghalanginya untuk mencapai kesempurnaan. Hal ini
disebabkan masyarakat itu berlumuran dengan perbuatan-perbuatan rendah dan keinginan
hawa nafsu yang kuat. Jadi, dengan kekuatan dirinya manusia dapat sampai kepada
martabat yang tinggi, melalui pikiran dan perbuatan. Untuk itu seseorang harus
mengasingkan pemikiran dan jiwanya dari masyarakat, serta membebaskan diri dari
ikatan-ikatan tradisi, yang kebanyakan dikuasai oleh khurafat.[5]
Pemikiran tentang epistemology ini disebutkan Ibn
Bajah dalam bukunya, Tadbir al-Mutawahid yang berisi delapan pasal, sebagai
berikut :[6]
- Penjelasan mengenai arti kata tadbir. Ibn Bajah menjelaskan arti kata tadbir dipakai terhadap setiap kumpulan peraturan yang berkaitan dengan perbuatan menuju suatu tujuan, seperti mengatur keluarga, mengatur tentara, mengatur Negara. Manakala perbuatan-perbuatan seseorang yang bertujuan kepada maksud yang tinggi, haruslah perbuatan itu timbul dari pemikiran yang luas, jauh dari segala pengaruh luar.
- Berisi penjelasan tentang perbuatan-perbuatan yang bersifat kemanusiaan, untuk menjelaskan sesuatu yang mungkin membuktikan tujuan “orang yang menyendiri”, dibaginya perbuatan ke dua bagian. Pertama, perbuatan yang timbul dari kehendak mereka, sesudah memperhatikan dan mempertimbangkan. Kedua, suatu perbuatan yang timbul dan bersifat instink hewani yang tunduk kepada jiwa manusia yang berpikir. Perbuatan ini dinilai tingkatan akhlak yang paling tinggi. Tetapi, manakala seseorang yang kekuatan hewaninya dapat mengalahkan kekuatan berpikirnya, maka ia lebih hina daripada hewan.
- Berhubungan dengan perrbuatan-perbuatan menyendiri, yaitu memperoleh urusan yang bersifat pemikiran. Maka wajiblah mengetahui urusan-urusan ini dan bahagian-bahagiannya adalah banyak, yakni bentuk yang benar-benar bersih dai hubungan materi dan pikiran yang semata-mata memperolehnya dengan semua kekuatan jiwa.
- Pembagian perbuatan manusia kepada tiga macam, yaitu :
1) Perbuatan yang
tujuannya berupa bentuk jasmani, seperti makan, minum, pakaian dan yang serupa
dengan itu.
2) Perbuatan yang
tujuannya ialah bentuk rohaniah perseorangan. Bukanlah kelezatan hewani yang
menjadi tujuan pada bagian ini, melainkan menyempurnakan bentuk rohani,
sehingga seseorang dimungkinkan memperoleh ketenteraman pikiran dan kesenangan
perasaan.
3)
Perbuatan yang bertujuan bentuk
rohaniah umum. Perbuatan-perbuatan ini adalah perbuatan-perbuatan rohaniah yang
lebih sempurna. Jalan menuju hal itu adalah berhubungan dengan Akal Aktif,
yaitu akal ke sepuluh (menurut konsep Al-Farabi / Ib Sina) yang merupakan
limpahan dari Allah, dengan begitu akan diperoleh kebahagiaan hakiki.
- Berisi bahwa seorang Mutawahid harus memilih tingakatan perbuatan yang paling tinggi, sehingga sampai kepada tujuan akhir.
Pasal 6 dan 7 kembali memperpanjang uraian mengenai
bentuk-bentuk rohaniah dan perbuatan-perbuatan yang bertalian dengannya, serta
tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
8. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan tujuan akhir.
Pengetahuan yang didapat lewat akal, akan
membangun kepribadian seseorang. Untuk itu, ada empat sebab _bentuk, materi,
agen dan tujuan_ yang harus diketahui oleh manusia untuk memahami obyek-obyek
pengetahuan, sehingga mencapai keimanan pada Tuhan, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan akhirat.
Akal mendapat
obyek-obyek pengetahuan yang disebut hal-hal yang dapat diserap dari unsur
imajintif, dan memberikan sejumlah obyek pengetahuan lain kepada unsure imajinatif. Misalnya,
ideal-ideal moral dan artistic, atau obyek-obyek pengetahuan yang merupakan
kejadian-kejadian yang bisa terjadi dan mewujud di dalam unsure imajinatif
sebelum kejadian-kejadian tersebut terjadi, atau kejadian-kejadian yang belum
terjadi tapi telah masuk ke dalam unsure imajinatif bukan lewat organ-organ rasa
melainkan lewat akal, seperti dalam hal impian-impian yang benar. Hal yang
paling menyengangkan pada unsure imajinatif adalah keterhubungannya dengan
wahyudan ramalan. Jadi, apa yang diberikan oleh akal kepada imajinasi manusia
bukanlah berasal dari akal itu sendiri, melainkan timbul dalam imajinasi lewat
suatu gen yang telah dikenal sebelumnya, dan mampu menciptakannya. Tuhanlah
yang lewat kehendak-Nya, menyebabkan penggerak lingkungan-lingkungan aktif
beraksi atas dasar lingkungan-lingkungan pasif. Misalnya, bila dia bermaksud apa yang akan terjadi di alam raya ini,
pertama-tama Dia memberitahu para malaikat dan lewat mereka pengetetahuan itu
disampaikan kepada akal manusia. Pengetahuan ini sampai kepada manusia sesuai
dengan kemampuannya untuk menerima pengetahuan itu. Ini terbukti pada
hamba-hamba saleh Tuhan yang telah ditinjuki-Nya jalan yang benar dan setia
kepada-Nya, terutama para rasul yang kepada mereka Dia mewujudkan
peristiwa-peristiwa menakjubkan yang akan terjadi di alam raya ini lewat malaikat-malaikat-Nya,
baik ketika mereka sedang jaga maupun tidur.[7]
Dengan uraian di atas, jelaslah bahwa Tuhan
memanifestasikan pengetahuan dan perbuatan kepada makhluk-makhluk-Nya. Setiap makhluk
menerimanya sesuai dengan tingkat kesempurnaan eksistensi masing-masing, akal
menerima dari-Nya pengetahuan sesuai dengan kedudukannya, dan lingkungan
menerima dari-Nya sosok-sosok dan bentuk-bentuk fisik sesuai dengan tingkat dan
kedudukan mereka. Lewat akallah manusia mengenal ilmu-ilmu yang disingkapkan
kepadanya oleh Tuhan, hal-hal yang dapat dipahami, peristiwa-peristiwa tertentu
yang terjadi pada saat sekarang danmasa mendatang, dan peristiwa-peristiwa yang
terjadi di masa lalu. Inilah
pengetahuan tentang yang gaib yang diberikan Tuhan kepada
hamba-hambapilihan-Nya lewat malaikat-malaikat-Nya. Dengan demikian, Ibnu Bajah
menjunjung tinggi para auliya Allah dan menempatkan mereka di bawah para nabi.
Dengan penjelasan di atas, tampaknya metode yang
diajukan Ibnu Bajah adalah perpaduan perasaan dan akal. Dalam masalah
pengetahuan fakta, dia mempergunakan metode rasional-empiris, tetapi mengenai
kebenaran akan keberadaan Tuhan dia mempergunakan filsafat. Kebenaran ini
sendiri dpat diperoleh manusia apabila manusia menyendiri (‘Uzlah).[8]
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Nasution,
Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Gramedia Pratama, 1990.
Hanafi, Akhmad, Pengantar
Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1999.
Syarif, Para
Filosof Muslim, Bandung: MIZAN, 1992.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar