Ki Bagus Hadikusumo dilahirkan di kampung Kauman, Yogyakarta.
Nama aslinya adalah Raden Hidayat. Ia dilahirkan pada tanggal 11 Rabi’ul Akhir
1038 H. ia putra ketiga dari lima bersaudara. Ayahnya bernama Raden Kaji Lurah
Hasyim yaitu seorang abdi dalem putihan (pejabat) agama Islam di Kraton
Yogyakarta. Seperti umumnya keluarga santri, Ki Bagus mulai memperoleh pendidikan
agama dari orang tuanya dan beberapa kiyai di Kauman.[1]
Setelah tamat dari Sekolah ongko loro (tiga tahun tingkat
sekolah dasar), Ki Bagus belajar di pondok pesantren tradisional Wonokromo
Yogyakarta. Di pesantren ini ia mulai banyak mengkaji kitab-kitab Fiqih dan
Tasawuf. Dalam usia 20 tahun Ki Bagus menikah dengan Siti Fatimah (putri Raden
Kaji Suhud) dan memperoleh enam anak. Salah seorang diantaranya adalah Djarnawi
Hadikusumo, tokoh Muhammadiyah dan pernah menjadi orang nomor satu di Parmusi.
Sekolahnaya tidak lebih dari sekolah rakyat, ditambah
mengaji dan besar di pesantren, tetapi berkat kerajinan dan ketekunan
mempelajari kitab-kitab tereknal akhirnya ia menjadi orang alim, mubaligh dan
pemimpin ummat. Ia merupakan pemimpin muhammadiyah yang besar andilnya dalam
penyusunan Muqadimmah UUD 45, karena ia termasuk dalam anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ki Bagus Hadikusumo sangat besar
perannya dalam perumusan muqadimmah UUD 45 dengan memberikan landasan
ketuhanan, kemanusiaan, keberadabaan, dan keadilan. Pokok pikiranya dengan
memberikan landasan-landasan itu dalam Muqadimmah UUD 45 itu disetujui oleh
semua anggota PPKI.
Secara Formal, di samping kegiatan Tabligh, Ki Bagus
pernah menjadi Ketua Majlis Tabligh
(1922), Ketua majlis Tarjih anggota komisi MPM Hoofdbestur Muhammadiyah (1926)
dan ketua PP Muhamadiyah (1942-1953). Pokok-pokok pikiran Ahmad Dahlan pun
berhasil ia rumuskan sedemikian rupa sehingga dapat menjiwai dan mengarahkan
gerak langkah serta perjuangan muhammadiyah. Bahkan pokok-pokok pemikiran itu
menjadi muqadimmah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Diantara pokok-pokok pikiran
Ahmad Dahlan yang berhasil ia rumuskan yaitu sebagai berikut:
1.
Hidup berdasarkan tauhid,
beribadah, patuh, dan taat pada Allah.
2.
Hidup manusia itu bermasyarakat.
3.
Keyakinan bahwa hanya Islam yang
menyelamatkan.
4.
Memperjuangkan Islam itu menjadi
suatu kewajiban.
5.
Perjuangan itu akan berhasil jika
mengikuti sunah-sunah Nabi.
6.
Berorganisasi
7.
Mewujudkan masyarakat Islam.
B.
Pemikiran dan
karya-karyanya
Ki Bagus Hadikusumo sebagai tokoh yang mewakili
golongan Islam yang berjumlah 15 dari 62 anggota BPUPKI dalam sidang BPUPKI
pada 31 Mei 1945. ia mengeluarkan pernyataan yang intinya “Membangun negara
di atas dasar ajaran Islam”,[2]
enam kali dalam bentuk perintah, harapan, atau anjuran, dan dua kali dalam
bentuk pernyataan, yaitu sebagai berikut:
1.
Islam itu cakap dan cukup serta
pantas dan patut untuk menjadi sendi pemerintahan kebangsaan di negara kita
Indonesia ini.
2.
Umat Islam adalah umat yang
mempunyai cita-cita yang luhur dan mulia sejak dahulu hingga sekarang,
seterusnya pada masa yang akan datang, yaitu dimana ada kemungkinan dan
kesempatan pastilah umat Islam akan membangunkan negara atau menyusun
masyarakat yang didasarkan atas hukum Allah dan agama Islam.[3]
Gagasan Ki Bagus yang ingin menjadikan Islam sebagai
dasar negara tersebut didasarkan pada alasan sosiologis-historis dan pemahaman
atas ajaran Islam. Alasan sosiologis-historis menurut Ki Bagus, agama Islam
paling tidak sudah enam abad menjadi agama bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
untuk menyesuaikan dasar negara Indonesia dengan jiwa rakyatnya, Ki Bagus
meminta agar aspirasi penduduk yang mayoritas muslim dihayati, bahkan pada
tataran praksis, para pemimpin bangsa yang di katakan oleh Ki Bagus sebagai
pengemban tugas kenabian hendaknya tinggal di desa agar tidak salah dalam meng-cover
dan merekam aspirasi penduduk.
Ki Bagus juga menyoroti realitas bahwa organisasi
pergerakan yang dengan cepat memperoleh sambutan luas dari masyarakat
Indonesia, mulai dari yang ada di Jawa, sampai yang ada di Sumatra, Kalimantan,
Sulawesi, dan lain-lain, tidak lain adalah yang mendasarkan gerakannya pada
Islam. Dalam hal ini adalah Syarikat Islam, bukan Budi Utomo ataupun Indische
Partai.
Jadi, kasimpulan Ki Bagus, sudah terang dan jelas
bahwa di dalam umat Islam tersembunyi jiwa yang hidup, aktif dan bersemangat.
Dan, jelas terlihat adanya pengaruh agama Islam yang sangat kuat dan mendalam
pada rakyat Indonesia. Pada bagian lain, Ki Bagus menyatakan kekhawatirannya
apabila negara ini tidak berdiri di atas agama Islam. Bila demikian halnya,
menurutnya, mayoritas penduduk yang muslim ini akan bersikap dingin, pasif, dan
tidak mengambil peran pro-aktif dalam pembangunan.[4]
Alasan pemahaman atas ajaran Islam. Ki Bagus
mendasarkan keinginannya agar Islam dijadikan dasar negara pada pemahaman atas
ajaran Islam secara substansial dan menyeluruh. Bagi Ki Bagus, substansial dan
sistematika ajaran Islam meliputi: iman, ibadah, amal shaleh, dan jihad.keempat
aspek ajaran ini merupakan ringkasan ajaran Islam yang telah diajarkan dan
dipimpinkan oleh para nabiyullah dalam rangka memperbaiki masyarakat atau
negara.[5]
Lima tahun kemudian, ringkasan ajaran Islam yang telah disampaikan dalam forum
sidang BPUPKI (1945) ini juga disampikan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-31
(1950), dengan penambahan dua aspek ajaran, yaitu meneladan pada para
nabiyillah, terutama Nabi Muhammad SAW, dan berorganisasi (bernegara). Keduanya
merupakan kiat strategi perjuangan yang tidak bisa ditawar dalam menegakkan dan
menjunjung tinggi agama Islam.
Dalam sidang BPUPKI terjadi perdebatan ideologis yang
sengit antara golongan Islam dengan golongan nasional sekuler tentang dasar
negara yang akan diberlakukan di negara yang akan berdiri. Hal ini diakui oleh
Supomo dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945.[6]
“Memang
di sini terlihat ada dua faham, ialah: faham dari anggota-anggotanya ahli
agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan
anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh tuan Mohammad Hatta, ialah negara
persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain
perkataan: bukan negara Islam.”
Dari golongan nasional sekuler tampil tiga orang tokoh
yaitu: Ir. Soekarno, Mohammad Yamin, dan Supomo. Sedangkan dari golongan Islam
tampil KI Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah. Dua pendapat yang saling
bertentangan ini tidak dapat dipertemukan.
Gagasan-gagasan para tokoh Islam menjadikan Islam
dasar negara sebenarnya tidak dilengkapi oleh argumentasi empiris mengenai
“negara Islam” yang dicita-citakan. Dipandang dari sudut ini, sebenarnya yang
diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Islam dalam BPUPKI dan PPKI bukan realisasi
konsep negara Islam tetapi lebih tepat pada adanya jaminan terhadap pelaksanaan
syariat ajaran-ajaran Islam.
Akhirnya disepakati membentuk “Panitia Sembilan” untuk
membicarakan perbedaan itu lebih lanjut. Panitia ini terdiri dari lima orang
dari golongan nasional sekuler, yaitu Sukarno, Mohammad Hatta, Achmad Subarjo,
Muhammad Yamin, dan A.A. Maramis. Sedangkan golongan Islam diwakili oleh H.
Agus Salim, Kyai Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdoel Kahar Muzakkir. Akhirnya
setelah melalui pembicaraan panjang, kompromi dicapai pada tanggal 22 Juni 1945
dengan menambahkan tujuh patah kata dalam sila pertama menjadi “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Konsep ini
kemudian disebut dengan Piagam Jakarta. Di dalam piagam ini disepakati bahwa
dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Tuntutan golongan Islam lainnya adalah
ditetapkannya ketentuan bahwa Kepala Negara harus beragama Islam dan
dicantumkannya kalimat “kewajiban menjalankan syariat Islam” di dalam
konstitusi.[7]
Untuk melanjutkan sidang BPUPKI dibentuk PPKI yang
terdiri atas 15 orang. Dalam PPKI golongan Islam hanya diwakili oleh Ki Bagus
Hadikusumo dan K.H. Wahid Hasyim. Tuntutan-tuntutan golongan Islam sebelumnya
semuanya dibatalkan. Bahkan sehari setelah proklamasi, tujuh patah kata dalam
Piagam Jakarta dihapuskan, kata Allah dalam muqadimah diganti dengan Tuhan,
dan kata muqaddimah diubah menjadi pembukaan.[8]
Beberapa cendikiawan muslim menganggap bahwa
diterimanya ideologi negara Pancasila dan dihapuskannya tujuh patah kata dalam
Piagam Jakarta merupakan kekalahan politik Islam. Namun hal ini membuat mereka
bersatu yaitu mereka mulai memikirkan suatu partai politik yang dapat menjadi
payung bagi semua organisasi Islam pada saat itu yaitu dengan mendirikan partai
politik Masyumi.
Dalam karyanya Ki Bagus sangat produktif untuk
menuliskan buah pikiranya. Buku karyanya antara lain ialah Islam Sebagai Dasar
Negara dan Akhlak Pemimpin dan Karya-karyanya yang lain ialah : Risalah
Katresnan Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), dan Poestaka Islam (1940),
Poestaka Ihsan (1941), dan Poestaka Iman (1954). Dari buku karyanya tersebut
tercermin komitmenya terhadap etika dan bahkan juga syariat Islam dan Ki Bagus
juga termasuk seorang tokoh yang memiliki kecendrungan kuat untuk menginstusionalisasikan
Islam. Bagi Ki Bagus Pelembagaan Islam menjadi sangat penting untuk
alasan-alasan ideologi, politis, dan juga intelektual. Ini nampak dalam
upayanya memperkokoh eksistensi hukum Islam di Indonesia ketika ia dan beberapa
ulama lainya terlibat dalam kepanitiaan yang bertugas memperbaiki peradilan
agama (priesterraden commise).[9]
[1] www.
Muhammadiyah.or.Id
[2] Ki Bagus
Hadikusumo, Islam sebagai Dasar Negara dan Achlak Pemimpin (Djogjakarta:
Pustaka Rahaju, tanpa tahun), hal. 7, 10, 13, 19, dan 22.
[3]
Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi (Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1997), hal.101-102.
[4] Ki Bagus
Hadikusumo, Islam sebagai Dasar Negara dan Achlak Pemimpin (Djogjakarta:
Pustaka Rahaju, tanpa tahun), hal. 22
[5] Ki Bagus
Hadikusumo, Islam sebagai Dasar Negara…, hal.5-7
[6] Moh.
Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I-III (Jakarta:
Jajasan Prapanca. 1959), hal. 115.
[7] Drs.
Abdul Azis Thaba, M.A, Islam Dan Negara Dalam Politik Orde Baru(1966-1994) (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), hal. 155-156.
[8] Drs.
Abdul Azis Thaba, M.A, Islam Dan Negara…, hal. 156.
[9] www.
Muhammadiyah.or.Id.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar