Senin, 06 Februari 2012

DZUN NUN AL-MISHRY

PENDAHULUAN

Dzun nun al-Mishry adalah nama julukan bagi seorang sufi yang hidup pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Nama lengkapnya Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Beliau salah seorang sufi besar yang membawa paham ma’rifah dalam ajaran tasawufnya.
Selain seorang sufi menurut riwayat ia juga seorang ahli ilmu pengetahuan dan Filsafat. Dikatakan pula bahwa ia dapat membaca huruf hieroglif yang  di tinggalkan zaman Fir’aun di Mesir. Ajaran tasawuf yang dibawa oleh Dzunnun al-Misri dikenal dengan istilah Ma’rifat.
Pada makalah kali ini kami dari kelompok tujuh akan mempersentasikan biografi spiritual Dzunnun al-Misri, hakekat hijab dan ma’rifat serta menganalisis pemikiran beliau agar bias mengambl hikmah darinya



A. Biografi
Dzunnun Al-Mishry adalah nama julukan seorang sufi yang hidup sekitar pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhkim, dataran tinggi Mesir pada tahun 180 H/796 M. dan wafat pada tahun 246H/ 856 M. Julukan Dzun an-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatannya yang Allah berikan kepadanya. Diantaranya ia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya di sungai Nil dalam keadaan selamat atas permintaaan ibu dari anak[1].
Dzun Nun adalah sosok laki-laki berbadan kurus, berkulit kemerah-merahan, namun jenggotnya tidak putih.[2]
Asal mula Al-Mishry tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang sufi banyak diutarakan. Dalam perjalan hidupnya Al-Mishry selalu berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis, Baghdad, Mekkah, Hijaz, Syria, pegunungan Libanon, Anthokiah, dan Lembah Kan’an. Hal ini memungkinkannya untuk memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqh, ilmu hadis, dan guru sufi sehingga ia dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hanbal. Ia mengambil riwayat hadis dari Malik, Al-Laits, dan lainnya. Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya, antara lain Al-Hasan bin Mush’ib Al-Nakha’i. gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqran Al-‘Abd atau Israfil Al-Maghriby.
Ia seorang sufi pengembara yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk menyatakan pendapatnya. Keberaniannya itulah yang menyebabkannya harus berhadapan dengan gelombang protes yang disertai dengan tuduhan zindiq. Akibatnya, ia dipanggil menghadap khlifah al-Mutawakkkil, namun ia dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir dengan penuh penghormatan. Kedudukannya sebagai wali diakui secara umum takkala ia meninggalkan dunia yang fana ini.[3]
Al-Mishry adalah pelopor paham ma’rifat. Penilaian ini sangatlah tepat karena berdasarkan riwayat Al-Qathfi dan Al-Mas’udi yang kemudian dianalisi Nischolson dan Abd Al-Qadir dalam falsafah Al-Sufiah fi Al-Islam; Al-Mishry memperkenalkan corak baru tentang ma’rifat dalam bidang sufisme Islam. Pertama, ia membedakan ma’rifat sufiah dengan ma’rifat aqliyah. Ma’rifat sufiah menggunakan pendekatan qalb yang biasa digunakan para sufi, sedangkan ma’rifat aqliyah menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog. Kedua, menurutnya ma’rifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati), sebab ma’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali.
Dalam perjalan rohani, Al-Mishry mempunyai sistematika sendiri tentang jalan menuju tingkat ma’rifat. Dari teks-teks ajarannya, Abdul Al-Hamid Mahmud mencoba menggambarkan sitematika Al-Mishry sebagai berikut:
b.Al-Mishry mengatakan bahwa jalan itu ada dua macam, yaitu: Thariq Al-Inabah, adalah jalan yang harus dimulai dengan cara yang ikhlas dan benar, dan thariq al-ihtiba’, adalah jalan yan tidak mensyaratkan apa-apa pada seseorang karena merupakan urusan Allah.
c. Di sisi lain Al-Mishry menyatakan bahwa manusia itu ada dua macam, yaitu darij dan wasil. Darij adalah orang yang berjalan menuju jalan iman, sedangkan wasil adalah orang yang berjalan (melayang) di atas kekutan ma’rifah.
Menurut pengalamannya, sebelum sampai pada maqam al-ma’rifah, Al-Mishry melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alam semesta. Suatu ungkapan puitisnya:
……….” Ya rabbi, aku mengenal-Mu melalui bukti-bukti karya-Mu dan tindakan-Mu. Tolonglah daku, ya Robbi, dalam mencari ridha-Mu dengan ridaku dengan semangat Engkau dalam kecintaan-Mu, dengan kesentosaan dan niat teguh.”
Al-Maghriby datang dan bertanya kepada Dzun Nun, “wahai Abul Faydh, apa yang menyebabkan engkau tobat?” Al-Maghriby masih mencecar pertanyaan, “Apakah karena sesuatu yang mengagumkan yang tak dapat engkau bayangkan. Demi Tuhan yang engkau sembah, sudilah kirnya engkau memberitahukannya kepadaku!” lalu Dzun Nun menjawab, “ aku ingin pergi dari Mesir menuju suatu perkampungan. Ditengah jalan aku tertidur dipadang pasir. Kubuka kedua mataku, ternyata ada burung besar, yang jatuh dari sarangnya ke bumi. Lalu bumi retak, dan keluar dua buah mangkok, satu berupa emas dan yang lain dari perak. Salah satu mangkok itu berisi biji-bijian dan yang lain berisi air. Aku pun makan dan minum dari kedu mangkok itu. Kukatakan, “ rasanya cukup bagiku, aku benar-benar tobat, dan aku menuju gerbag Allah swt. Hingga dia menerimaku kembali.”[4]
Ketika ditanya tentang cara memperoleh ma’rifat Al-Mishry menjawab, “saya mengenal Tuhan dengan bantuan Tuhan, kalau bukan karena bantuan-Nya, saya tidak mungkin mengenal-Nya,” ungkapannya itu menunjukan bahwa ma’rifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi merupakan pemberian Tuhan, rahmat, dan nikmat-Nya.

B. Hijab dan Ma’rifah
Ma’rifah yang dimajukan oleh Dzun Nun Al-Mishry adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Menurutnya ma’rifah hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. pengetahuan serupa ini hanya diberikan Tuhan kepada kaum sufi. Ma’rifah dimasukan Tuhan kedalam hati seorang sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Ketika ia tanya bagaimana ia memperoleh ma’rifah tentang Tuhan, ia menjawab:

Aku mengetahui Tuhan melalui Tuhan dan jika sekiranya tidak karena Tuhan, aku tidak akan tahu Tuhan.[5]

Dari ungkapan tersebut menunjukan bahwa ma’rifah tidak diperoleh begitu saja, tetapi melalui pemberian Tuhan. Ma’rifah bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifah adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya. Pemberian tersebut dicapai setelah seorang sufi lebih dahulu menunjukan kerajinan, kepatuhan dan ketaatan mengabdikan diri sebagai hamba Allah dalam beramal secara lahiriah sebagai pengabdian yang dikerjakan oleh tubuh untuk beribadat.
Mari’fat merupakan tujuan pokok ajaran tasawufnya yang dicapai dengan mahabbah. Kalau cinta Rabi’ah kepada Tuhannya menyebabkan ia seakan-akan lupa kepada Nabinya, maka Al-Mishry justru menempatkan cinta kepada Rosul sejajar dengan cinta kepada Allah. Oleh karena itu prinsip ajaran Dzun Nun ialah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya zuhud terhadap dunia, mengikuti kitab dan sunnah serta takut memperturutkan hawa nafsu syahwat. Ia membagi ma’rifat kedalam tiga macam, yaitu: ma’rifat mukmin yang umum, mari’fat mutakallimin dan hukama serta ma’rifat Auliya dan Muqarrabin.[6]
Pandangan-pandangan Al-Mishry tentang hakikat ma’rifat:[7]
a.       Sesungguhnya ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai mukmin, bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakallimin, dan ahli balagha, tetapi ma’rifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah. Hal ini karena mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamban-Nya yang lain.
b.      Ma’rifat yang sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya ma’rifat yang murni seperti matahari tak dapat dilihat kecuali dengan cahayanya. Salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga ia merasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaan-Nya, mereka merasa hamba, mereka berbicara dengan ilmu yang telah diletakan Allah pada lidah mereka, mereka menglihat dengan penglihatan Allah, mereka berbuat dengan perbuatan Allah.
Dari pandangan Al-Mishry diatas dapat diambil kesimpualan bahwa ma’rifat kepada Allah tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal, melainkan  dengan jalan ma’rifah batin, yakni Tuhan yang memberikan  bantuan supaya dapat mengetahui tuhan setelah terlebih dahulu seorang hamba melakukan kerajinan, ketaatan, dan kepatuhan yang dilakukan dengan anggota badan untuk  beribadah kepada Allah.
     Sedangkan hakikat hijab itu sendiri, pemakalah tidak menemukan referensi yang membahas secara khusus. Namun  dalam buku Abuddin Nata, disebutkan tajalli adalah terbukanya hijab, sehingga tampak jelas cahaya Tuhan.[8]
Jadi, dari pernyataan tersebut pemakalah dapat mamahami bahwasannya hijab adalah tabir antara Tuhan dengan hambanya.  Karena tajalli itu merupakan jalan untuk mencapai ma’rifah.

C. Ajaran Yang Kompatebel Bagi Kekinian
Dari pembahasan terdahulu kita bisa mengambil pelajaran, hendaknya kita beribadah kepada Allah, lebih rajin, taat dan patuh kepada Allah dengan cara melaksanakan apa yang ia perintahkan dan menjauhi apa yang ia larang. Karena setelah berusaha untuk taat dan patuh insya Allah, Allah akan memberikan apa yang telah kita usahakan. Bahwa seorang hamba yang arif dan sempurna selalu melaksanakan perintah Allah, terikat hanya kepada-Nya, senantiasa selalu ingin dekat bersama-Nya dalam kondisi apapun baik suka maupun duka, dan semakin dekat serta menyatu kepada-Nya.
Waullahu a’lam bisuwaf…

KESIMPULAN
Ma’rifah menurut Dzun nun al-Mishry adalah cahaya yang dilimpahkan Tuhan kedalam hati seorang sufi. Sebagaimana ucapan beliau, “aku mengetahui Tuhan melalui Tuhan dan jika sekiranya tidak karena Tuhan, aku tidak akan tahu Tuhan”.

REFERENSI

-Anwar, Rosihan., Ilmu Kalam, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2000
-An-Naisabury, Imam al-Qusyairy., Risalah Gusti, Surabaya, 1997
-Nata, Abuddin., Akhlak Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006
-Nata, Abuddin., Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001


[1]. Rosihon Anwar & Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, CV. Pustaka Setia, Bandung. Cet. Ke-1, th. 2000, hal. 123
[2]. Imam Al-Qusyairy an-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Risalah Gusti, Surabaya, Cet. Ke-2 th. 1997, hal, 537
[3]. Rosihon Anwar & Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, CV. Pustaka Setia, Bandung, hal.124
[4]. Imam al-Qusyairy an-Naisabury,………… hal.538
[5]. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 227
[6]. Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 173
[7]. Rosihan Anwa & Mukhtar Solihin, Ilmu Kalam,….. hal.125
[8]. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, ……….. hal. 222

Tidak ada komentar:

Posting Komentar