Dzun nun al-Mishry adalah nama julukan bagi seorang sufi yang hidup
pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Nama lengkapnya Abu Al-Faidh Tsauban bin
Ibrahim. Beliau salah seorang sufi besar yang membawa paham ma’rifah dalam
ajaran tasawufnya.
Selain seorang sufi menurut riwayat ia juga seorang ahli ilmu pengetahuan
dan Filsafat. Dikatakan pula bahwa ia dapat membaca huruf hieroglif yang di tinggalkan zaman Fir’aun di Mesir. Ajaran
tasawuf yang dibawa oleh Dzunnun al-Misri dikenal dengan istilah Ma’rifat.
Pada makalah kali ini kami dari kelompok tujuh akan mempersentasikan
biografi spiritual Dzunnun al-Misri, hakekat hijab dan ma’rifat serta
menganalisis pemikiran beliau agar bias mengambl hikmah darinya
A. Biografi
Dzunnun Al-Mishry adalah nama julukan seorang sufi yang hidup sekitar
pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya Abu Al-Faidh Tsauban bin
Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhkim, dataran tinggi Mesir pada tahun 180 H/796 M.
dan wafat pada tahun 246H/ 856 M. Julukan Dzun an-Nun diberikan kepadanya sehubungan
dengan berbagai kekeramatannya yang Allah berikan kepadanya. Diantaranya ia
pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya di sungai Nil dalam keadaan
selamat atas permintaaan ibu dari anak[1].
Dzun Nun adalah sosok laki-laki berbadan kurus, berkulit kemerah-merahan,
namun jenggotnya tidak putih.[2]
Asal mula Al-Mishry tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai
seorang sufi banyak diutarakan. Dalam perjalan hidupnya Al-Mishry selalu
berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Ia pernah menjelajahi berbagai
daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis, Baghdad, Mekkah, Hijaz, Syria,
pegunungan Libanon, Anthokiah, dan Lembah Kan’an. Hal ini memungkinkannya untuk
memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Ia hidup pada masa munculnya
sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqh, ilmu hadis, dan guru sufi
sehingga ia dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah
mengikuti pengajian Ahmad bin Hanbal. Ia mengambil riwayat hadis dari Malik,
Al-Laits, dan lainnya. Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya, antara
lain Al-Hasan bin Mush’ib Al-Nakha’i. gurunya dalam bidang tasawuf adalah
Syaqran Al-‘Abd atau Israfil Al-Maghriby.
Ia seorang sufi pengembara yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk
menyatakan pendapatnya. Keberaniannya itulah yang menyebabkannya harus
berhadapan dengan gelombang protes yang disertai dengan tuduhan zindiq.
Akibatnya, ia dipanggil menghadap khlifah al-Mutawakkkil, namun ia dibebaskan
dan dipulangkan ke Mesir dengan penuh penghormatan. Kedudukannya sebagai wali
diakui secara umum takkala ia meninggalkan dunia yang fana ini.[3]
Al-Mishry adalah pelopor paham ma’rifat. Penilaian ini sangatlah
tepat karena berdasarkan riwayat Al-Qathfi dan Al-Mas’udi yang kemudian
dianalisi Nischolson dan Abd Al-Qadir dalam falsafah Al-Sufiah fi Al-Islam;
Al-Mishry memperkenalkan corak baru tentang ma’rifat dalam bidang
sufisme Islam. Pertama, ia membedakan ma’rifat sufiah
dengan ma’rifat aqliyah. Ma’rifat sufiah menggunakan pendekatan qalb
yang biasa digunakan para sufi, sedangkan ma’rifat aqliyah menggunakan
pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog. Kedua, menurutnya
ma’rifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati), sebab ma’rifat
merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali.
Dalam perjalan rohani, Al-Mishry mempunyai sistematika sendiri tentang
jalan menuju tingkat ma’rifat. Dari teks-teks ajarannya, Abdul Al-Hamid
Mahmud mencoba menggambarkan sitematika Al-Mishry sebagai berikut:
b.Al-Mishry mengatakan
bahwa jalan itu ada dua macam, yaitu: Thariq Al-Inabah, adalah jalan
yang harus dimulai dengan cara yang ikhlas dan benar, dan thariq
al-ihtiba’, adalah jalan yan tidak mensyaratkan apa-apa pada seseorang
karena merupakan urusan Allah.
c. Di sisi lain Al-Mishry menyatakan bahwa manusia itu ada dua
macam, yaitu darij dan wasil. Darij adalah orang yang
berjalan menuju jalan iman, sedangkan wasil adalah orang yang berjalan
(melayang) di atas kekutan ma’rifah.
Menurut pengalamannya, sebelum sampai pada maqam al-ma’rifah, Al-Mishry
melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alam semesta.
Suatu ungkapan puitisnya:
……….” Ya
rabbi, aku mengenal-Mu melalui bukti-bukti karya-Mu dan tindakan-Mu. Tolonglah
daku, ya Robbi, dalam mencari ridha-Mu dengan ridaku dengan semangat Engkau
dalam kecintaan-Mu, dengan kesentosaan dan niat teguh.”
Al-Maghriby datang dan bertanya kepada Dzun Nun, “wahai Abul Faydh, apa
yang menyebabkan engkau tobat?” Al-Maghriby masih mencecar pertanyaan, “Apakah
karena sesuatu yang mengagumkan yang tak dapat engkau bayangkan. Demi Tuhan
yang engkau sembah, sudilah kirnya engkau memberitahukannya kepadaku!” lalu
Dzun Nun menjawab, “ aku ingin pergi dari Mesir menuju suatu perkampungan.
Ditengah jalan aku tertidur dipadang pasir. Kubuka kedua mataku, ternyata ada
burung besar, yang jatuh dari sarangnya ke bumi. Lalu bumi retak, dan keluar
dua buah mangkok, satu berupa emas dan yang lain dari perak. Salah satu mangkok
itu berisi biji-bijian dan yang lain berisi air. Aku pun makan dan minum dari
kedu mangkok itu. Kukatakan, “ rasanya cukup bagiku, aku benar-benar tobat, dan
aku menuju gerbag Allah swt. Hingga dia menerimaku kembali.”[4]
Ketika ditanya tentang cara memperoleh ma’rifat Al-Mishry
menjawab, “saya mengenal Tuhan dengan bantuan Tuhan, kalau bukan karena
bantuan-Nya, saya tidak mungkin mengenal-Nya,” ungkapannya itu menunjukan
bahwa ma’rifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi merupakan pemberian
Tuhan, rahmat, dan nikmat-Nya.
B. Hijab dan
Ma’rifah
Ma’rifah yang dimajukan oleh Dzun Nun Al-Mishry adalah pengetahuan hakiki
tentang Tuhan. Menurutnya ma’rifah hanya terdapat pada kaum sufi yang
sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. pengetahuan serupa ini hanya
diberikan Tuhan kepada kaum sufi. Ma’rifah dimasukan Tuhan kedalam hati seorang
sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Ketika ia tanya bagaimana ia
memperoleh ma’rifah tentang Tuhan, ia menjawab:
“Aku mengetahui Tuhan melalui
Tuhan dan jika sekiranya tidak karena Tuhan, aku tidak akan tahu Tuhan.”[5]
Dari ungkapan tersebut menunjukan bahwa ma’rifah tidak diperoleh
begitu saja, tetapi melalui pemberian Tuhan. Ma’rifah bukanlah hasil
pemikiran manusia, tetapi tergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifah
adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya. Pemberian tersebut
dicapai setelah seorang sufi lebih dahulu menunjukan kerajinan, kepatuhan dan
ketaatan mengabdikan diri sebagai hamba Allah dalam beramal secara lahiriah
sebagai pengabdian yang dikerjakan oleh tubuh untuk beribadat.
Mari’fat merupakan tujuan pokok ajaran tasawufnya yang dicapai
dengan mahabbah. Kalau cinta Rabi’ah kepada Tuhannya menyebabkan ia
seakan-akan lupa kepada Nabinya, maka Al-Mishry justru menempatkan cinta kepada
Rosul sejajar dengan cinta kepada Allah. Oleh karena itu prinsip ajaran Dzun Nun
ialah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya zuhud terhadap dunia, mengikuti
kitab dan sunnah serta takut memperturutkan hawa nafsu syahwat. Ia membagi ma’rifat
kedalam tiga macam, yaitu: ma’rifat mukmin yang umum, mari’fat
mutakallimin dan hukama serta ma’rifat Auliya dan Muqarrabin.[6]
Pandangan-pandangan Al-Mishry tentang hakikat ma’rifat:[7]
a.
Sesungguhnya ma’rifat yang
hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai mukmin,
bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakallimin, dan ahli
balagha, tetapi ma’rifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali
Allah. Hal ini karena mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan
hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk
hamba-hamban-Nya yang lain.
b.
Ma’rifat yang sebenarnya adalah
bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya ma’rifat yang murni seperti matahari
tak dapat dilihat kecuali dengan cahayanya. Salah seorang hamba mendekat kepada
Allah sehingga ia merasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaan-Nya, mereka
merasa hamba, mereka berbicara dengan ilmu yang telah diletakan Allah pada
lidah mereka, mereka menglihat dengan penglihatan Allah, mereka berbuat dengan
perbuatan Allah.
Dari pandangan Al-Mishry diatas dapat diambil
kesimpualan bahwa ma’rifat kepada Allah tidak dapat ditempuh melalui pendekatan
akal, melainkan dengan jalan ma’rifah
batin, yakni Tuhan yang memberikan
bantuan supaya dapat mengetahui tuhan setelah terlebih dahulu seorang
hamba melakukan kerajinan, ketaatan, dan kepatuhan yang dilakukan dengan
anggota badan untuk beribadah kepada
Allah.
Sedangkan hakikat hijab itu sendiri,
pemakalah tidak menemukan referensi yang membahas secara khusus. Namun dalam buku Abuddin Nata, disebutkan tajalli
adalah terbukanya hijab, sehingga tampak jelas cahaya Tuhan.[8]
Jadi, dari pernyataan tersebut pemakalah dapat mamahami bahwasannya hijab
adalah tabir antara Tuhan dengan hambanya.
Karena tajalli itu merupakan jalan untuk mencapai ma’rifah.
C. Ajaran Yang Kompatebel Bagi Kekinian
Dari pembahasan terdahulu kita bisa mengambil pelajaran, hendaknya kita
beribadah kepada Allah, lebih rajin, taat dan patuh kepada Allah dengan cara
melaksanakan apa yang ia perintahkan dan menjauhi apa yang ia larang. Karena
setelah berusaha untuk taat dan patuh insya Allah, Allah akan memberikan apa
yang telah kita usahakan. Bahwa seorang hamba yang arif dan sempurna selalu
melaksanakan perintah Allah, terikat hanya kepada-Nya, senantiasa selalu ingin
dekat bersama-Nya dalam kondisi apapun baik suka maupun duka, dan semakin dekat
serta menyatu kepada-Nya.
Waullahu a’lam bisuwaf…
KESIMPULAN
Ma’rifah menurut Dzun nun al-Mishry adalah cahaya yang dilimpahkan Tuhan
kedalam hati seorang sufi. Sebagaimana ucapan beliau, “aku mengetahui Tuhan
melalui Tuhan dan jika sekiranya tidak karena Tuhan, aku tidak akan tahu
Tuhan”.
REFERENSI
-Anwar, Rosihan., Ilmu Kalam, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2000
-An-Naisabury, Imam al-Qusyairy., Risalah Gusti, Surabaya, 1997
-Nata, Abuddin., Akhlak Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2006
-Nata, Abuddin., Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001
[1]. Rosihon
Anwar & Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, CV. Pustaka Setia, Bandung.
Cet. Ke-1, th. 2000, hal. 123
[2]. Imam
Al-Qusyairy an-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf,
Risalah Gusti, Surabaya, Cet. Ke-2 th. 1997, hal, 537
[3]. Rosihon
Anwar & Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, CV. Pustaka Setia, Bandung,
hal.124
[4]. Imam
al-Qusyairy an-Naisabury,………… hal.538
[5]. Abuddin
Nata, Akhlak Tasawuf, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 227
[6]. Abuddin
Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hal. 173
[7]. Rosihan
Anwa & Mukhtar Solihin, Ilmu Kalam,….. hal.125
[8]. Abuddin
Nata, Akhlak Tasawuf, ……….. hal. 222
Tidak ada komentar:
Posting Komentar