PENDAHULUAN
Muhammad Darwisy (Nama
Kecil Kyai Haji Ahmad Dahlan) dilahirkan
dari kedua orang tuanya, yaitu KH. Abu Bakar (seorang ulama dan Khatib
terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (puteri
dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga). Ia merupakan
anak ke-empat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya
perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang
kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang
terkemuka diantara Wali Songo.
Muhammad Darwisy
dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan
agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun
(1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah
selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha,
dan ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar
pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan
ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu
melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan
(ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat
ortodoks (kolot).
Sebagai seorang yang
sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya, ada sebuah nasehat yang
ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri, yaitu :
"Wahai
Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan
mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu
melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya.
Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri
bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga,
dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang
terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi
Hadikusumo).
I. Biografi
Kyai Haji Ahmad Dahlan
nama kecil beliau adalah Muhammad Darwisy, beliau dilahirkan dari kedua orang
tuanya, yaitu KH. Abu Bakar dan Nyai Abu
Bakar. Ia merupakan anak ke-empat dari tujuh orang bersaudara yang
keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia
termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali
besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor
pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa. Adapun
silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH.
Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru
Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig
(Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul'llah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin
bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.
Beliau menikah dengan
Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak
dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri
Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat
enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti
Aisyah, Siti Zaharah. Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai
Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai
Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya
dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah.
Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.
II. Latar Belakang Pendidikan
Muhammad Darwisy
dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan
agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun
(1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah
selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha,
dan ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang
besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran
pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama,
yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman
keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih
bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan ajaran
Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh karena
itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan
gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an
dan al-Hadits.
Pada tahun 1903, beliau
bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau
sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H.
Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman,
Yogyakarta.
III. Pengalaman Organisasi
Disamping aktif dalam
menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa
akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya.
Disamping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil
dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang
cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif
dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan
juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat,
sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul
Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun
mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan
Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam
cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak umat
Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits.
Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak
awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi
bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian
Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari
keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan
hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru
yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah
meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan
ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut
dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan
perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan
tersebut.
Pada tanggal 20
Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia
Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada
tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914.
Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh
bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul
kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya
dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti
Srandakan, Wonosari dan Imogiri dan lain-Iain tempat telah berdiri cabang
Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia
Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan
menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain.
Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di
Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah
Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan
dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan
untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari
Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya
Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub,
Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri,
Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
IV. Gerakan Pembaharuannya
Sebagai seorang yang
sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya, ada sebuah nasehat yang
ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri, yaitu :
"Wahai Dahlan, sungguh di depanmu
ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang
pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat,
tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau
bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan
engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari
sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan
tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).
Dari pesan itu tersirat
sebuah semangat yang besar tentang kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai
kehidupan akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus
mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal
saleh, menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang
benar dan membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah.
Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik harus
mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus
diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia melalui upaya-upaya yang
sistematis dan kolektif.
Kesadaran seperti
itulah yang menyebabkan Dahlan sangat merasakan kemunduran ummat islam di tanah
air. Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk
membangunkan, menggerakkan dan memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban
itu tidak mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh
beberapa orang yang diatur secara seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu
tidak mungkin tanpa organisasi.
Untuk membangun upaya
dakwah (seruan kepada ummat manusia) tersebut, maka Dahlan gigih membina
angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan
juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan
bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan
ummat Islam di Indonesia. Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan
memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik
para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para
calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia sendiri
diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua
sekolah tersebut. Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan
akan dengan segera memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi
orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan
mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses
transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan
mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah
guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu'allimin (Kweekschool
Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah). Dahlan
mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya.
Di samping aktif dalam
menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa
akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya.
Ia dikenal sebagai salah seorang keturunan bangsawan yang menduduki jabatan
sebagai Khatib Masjid Besar Yogyakarta yang mempunyai penghasilan yang cukup
tinggi. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup
berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi
entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang
aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan
juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat,
sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul
Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad
saw.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun
mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan
Islam di bumi nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam
cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat
Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits.
Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak
awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi
bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian
Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari
keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan
hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru
yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah
meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan
ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut
dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan
perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan
tersebut.
Pada tanggal 20
Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia
Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada
tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914.
Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh
bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul
kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya
dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti
Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang
Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah
Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan mensiasatinya dengan
menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain.
Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di
Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah
Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan
dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan
untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari
Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya
Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub,
Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kan,u wal-Fajri, Wal-Ashri,
Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
Gagasan pembaharuan
Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke
berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya.
Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di
berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan
kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin
lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada
tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia
Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia.
Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2
September 1921.
Dalam bulan Oktober
1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di
Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi
baru untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut,
Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di
bawah pimpinan Syeikh Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan
kaum Islam ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan
menyerang aliran yang telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap
membangun mazhab baru di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan.
Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan tafsir Qur'an baru, yang menurut
kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan
tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan perkataan, "Muhammadiyah
berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbekelakang. Banyak
penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur'an dan
Hadits. Umat Islam harus kembali kepada Qur'an dan Hadits. Harus mempelajari
langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir".
Sebagai seorang yang
demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan
juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan
pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan
dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan duabelas kali pertemuan anggota
(sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah Algemeene Vergadering
(persidangan umum).
Atas jasa-jasa KH.
Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam
dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai
Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961.
Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut :
1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori
kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang
masih harus belajar dan berbuat.
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang
didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya.
Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan
ummat, dengan dasar iman dan Islam.
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah
telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi
kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah
bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk
mengecap pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar