I. Biografi
Islamil
Raji Al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina 1 Januari 1921. Dikenal secara luas
sebagai ahli ilmu agama Islam dan ilmu perbandingan agama. Ia juga dikenal sebagai
penganjur Pan-Islamisme, ia memulai studi di College des Freres Libanon. Pada
tahun 1941, ia melanjutkan pendidikan di American University, Beirut. Gelar
sarjana mudanya dalam bidang filsafat ia peroleh daTi universitas tesebut pada
usia 20 tahun, kemudian ia menjadi pegawai pemerintah Palestina dibawah mandat
Inggris selama empat tahun dan bahkan sempat menjabat sebagai gubemur di daerah
Galile yang kemudian jatuh ke tangan Inggris pada tahun 1947. Pada tahun
berikutnya Al-Faruqi memutuskan untuk berhijrah ke Amerika Serikat. Di sana ia
melanjutkan studinya yang sempat terhenti.
Kemudian
ia melanjutkan studinya di Indiana University pada tahun 1948, hingga mencapai
gelar mater dalam bidang filsafat. Dua tahun berikutnya ia kembali memperoleh
gelar master di Harcard University, juga dalam bidang falsafat. Untuk memperdalam
keislaman, empat tahun berikutnya ia menimba ilmu di Al-Azhar University, Kairo
Mesir. Selama beberapatahun kemudian ia menjadi Profesor tamu untuk studi
keislaman di McGill University (1958-1961) dan di Pana Central institute of
Islamic Research, Karachi, sebagai tamu untuk studi ilmu sejarah dan ilmu agama
di the University of Chicago, sebagai lektor kepala llmu agama pada Saracus University
(1964-1968).
Pada
masa hayatnya, Al-Faruqi pemah memegang jabatan penting dalam kapasitasnya
sebagai ilmuan. Diantaranya adalah kepala studi keislaman di Temple
University, AS; Direktur Institut Islam di University Chicago; Direktur
Institut Intemasional pemikir Islam do Washington; dan presiden Institu studi
Lanjutan Washington. Semangat kritik ilmiahnya dan kecakapan dalam bidang
keilmuan membuat Al-Faruqi mengemukakan ide perlunya mengislamkan ilmu-ilmu
sosial kontemporer. Untuk mencapai tujuan ini ia mendirikan Himpunan Ilmuan
Sosial Muslim (The Assosiation of muslim Social Scientists). Ia menjadi presiden yang pertama pada tahun 1972
hingga 1978.
II. Islamisasi llmu Pengetahuan
Pada
hakekatnya ide Islamization of knowledge ini tidak bisa dipisahkan dari
pemikiran Islam di zaman moderen ini. Ide tersebut telah diproklamirkan sejak
tahun 1981, yang sebelumnya sempat digulirkan di Mekkah sekitar tahun 1970-an.
Ungkapan Islamisasi ilmu pengatahuan pada awalnya dicetuskan oleh Syed Muhammad
Naguib Al-Atas pada tabun 1397 H/1977 M yang menurutnya adalah
"desekuralisasi ilmu". Sebelumnya Al-Faruqi mengintrodisir suatu
tulisan mengenai Islamisasi ilm-ilmu sosial. Meskipun demikian, gagasan ilmu
keislaman telah muncul sebelumnya dalam karya-karya Sayyid Hossein Nasr. Dalam hal ini Nasr mengkritik epistemologi
yang ada di Barat (sains moderen) dan menampilkan epistemologi prespektif sufi.
Menurut
Al-Atas islamisasi ilmu merujuk kepada upaya menggilimunir unsurunsur, konsep-konsep
pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat khususnya dalam ilmu-ilmu
kemanusiaan. Dengan kata lain Islamisasi idiologi, makna serta ungkapan sekuler
Ide tentang islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi berkaitan erat dengan idenya
tentang tauhid, hal ini terangkum dalam prinsip tauhid ideasionalitas dan teologi.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa adalah fakultas pemahaman yang
mencakup seluruh fungsi gnosologi seperti ingatan, khayalan, penalaran, pengamatan,
intiusi, kesabaran dsb. Manakala kehendak-kehendak tersebut diungkap dengan
kata-kata secara langsung oleh Tuhan kepada manusia dan manakala sebagaimana
pola Tuhan dalam penciptaan atau "hukum alam". Dan bila kita kaitkan
dengan prinsip telelogi artinya dunia memang benar-benar sebuah kosmos suatu
ciptaan yang teratur, bukan chaos. Di dalam kehendak pencipta selalu tewujud.
Pemenuhan karena pemestian hanya berlaku pada nilai Elemental atau utiliter,
pemenuhan kemerdekaan berlaku pada nilai-nilai normal dan bila kita kaitkan
dengan Barat maka nilai-nilai ini banyak diabaikan oleh Barat.
Untuk
menghindari kerancuan Barat Al-Faruqi mengemukakan prinsip metodologi tauhid
sebagai satu kesatuan kebenaran, maka dalam hal ini tauhid terdiri dari tiga
prinsip: pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan
realitas, dengan maksud meniadakan dusta dan penipuan dalam Islam karena
prinsip ini menjadikan segala sesuatu dalam agama terbuka untuk diselidiki dan
dikritik. Penyimpangan dari realitas atau kegagalan untuk mengkaitkan diri
dengannya, sudah cukup untuk membatalkan sesuatu item dalam Islam, apakah itu
hukum, prinsip etika pribadi atau sosial, atau pernyataan tentang dunia. Prinsip
ini melindungi kaum muslimin dari opini yaitu tindakan membuat pernyataan yang tak
teruji dan tidak dikonfirmasikan mengenai pengetahuan.
Prinsip
kedua yaitu tidak ada kontraksi yang hakiki melindunginya dari kontadiksi di
satu pihak, dan paradoks di lain pihak. Prinsip ini merupakan esensi dari
rasionalisme. Tanpa ini ia tidak ada jalan untuk lepas dari skepetisme; sebab suatu
kontradiksi yang hakiki menandung arti bahwa kebenaran dari masing-masing unsur
kontradiksi tidak akan pemah dapat diketahui.
Prinsip
ketiga tauhid dalam metodologi adalah tauhid sebagai kesatuan kebenaran yaitu
keterbukaan terhadap bukti baru dan/atau yang bertentangan, melindungi kaum
muslimim dari literalisme, fanatisme, dan konservatisme yang mengakibatkan
kemandegan. Prinsip ini mendorong kaum muslimin kepada sikap rendah hari
intelektual. Ia memaksa untuk mencantumkan dalam penegasan atau penyangkalannya
ungkapan wallahu' alam karena ilia yakin bahwa kebenaran lebih besar dari yang
dapat dikuasainya sepenuhnya di saat manapun.
Sebagai
penegasan dari kesatupaduan sumber-sumber kebenaran. Tuhan pencipta alam dari
mana manusia memperoleh pengetahuannya. Objek pengetahuan adalah pola-pola alam
yang merupakan hasil karya Tuhan.[1] Hal inilah yang banyak dilupakan Barat sehingga
timbul ide untuk mengislamisasikan ilmu pengetahuan. Dan juga melihat kondisi
umat Islam yang mengadopsi semua ide Barat bahkan kadang-kadang tanpa filter
yang akhirnya menempatkan ilmu pengetahuan yang dibangun oleh kesadaran
ilahiyah yang kental mengalami proses sukurelisasi yang berobsesi memisahkan
kegiatan sekuler dengan kegiatan agama akhirnya mengantarkan ilmuwan pada
terlepasnya semangat dari nilai-nilai keagaaman.
Semangat
ilmuan moderen (Barat) adalah bahwa di bangun dengan fakta-fakta dan tidak ada
unsurnya dengan sang pencipta. Kalaupun ilmuan itu kaum beragama, maka kegiatan ilmiah yang mereka lakukan
terlepas dari sentuhan semangat beragama. Akhirnya ilmu yang lahir adalah ilmu
yang terlepas dari nilainilai ke-Tuhanan. Dampak yang kemudian mundul ilmu
dianggap netral dan bahwa penggunaannya tak ada hubungannya dengan etika.
Menurut
Al-Faruqi pengetahuan moderen menyebabkan adanya pertentangan wahyu dan akal
dalam diri umat Islam, memisahkan pemikiran dari aksi serta adanya dualisme
kultural dan religius. Karena diperlukan upaya islamisasi ilmu pengetahuan dan
upaya itu harus beranjak dari Tauhid. Islamisasi itu pengetahuan itu sendiri
berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan
menyebarluaskannya manurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia.[2]
Menurut
AI-Faruqi sendiri Islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu
pengetahuan moderen dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan
sains-sains pasti alam dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten
dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan
prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam apa yang
dikatakan sebagai data-datanya, dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus
dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam sepanjang ketiga
sumbu Tauhid yaitu, kesatuan pengetahuan, hidup dan kesatuan sejarah. Hingga
sejauh ini kategori-kategori metodologi Islam yaitu ketunggalan umat manusia,
ketunggalan umat manusia dan penciptaan alam semesta kepada manusia dan
ketundukan manusia kepada Tuhan, harus mengganti kategori-kategori Barat dengan
menentukan presepsi dan susunan realita.
Dalam
rangka membentangkan gagasannya tentang bagaimana Islamisasi itu dilakukan,
Al-Furuqi menetapkan lima sasaran dari rencana kerja Islamisasi, yaitu:
- Menguasai disiplin-disiplin moderen
- Menguasai khazanah Islam
- Menentukan relevensi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan moderen
- Mencari cara-cara untuk melakukan sentesa kreatip antara khazanah Islam dengan khazanah Ilmu pengetahuan moderen
- Mengarahkan pemikiran Islam kelintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Tuhan
Untuk
merealisasikan ide-idenya tersebut Al-Faruqi mengemukakan beberapa tugas dan
langkah-langkah yang perlu dilakukan: Tugas petama, memadukan sistem pendidikan
Islam dengan sistem sekuler. Pemaduan ini harus sedemikian rupa sehingga sistim
baru yang terpadu itu dapat memperoleh kedua macam keuntungan dari
sistim-sistim terdahulu. Perpaduan kedua sistim ini haruslah merupakan
kesempatan yang tepat untuk menghilangkan keburukan masing-masing sistim,
seperti tidak memadainya buku-buku dan guru-guru yang berpengalaman dalam sistim
tradisional dan peniruan metode-metode dari ideal-ideal barat sekuler dalam sistim
yang dekuler.
Dengan
perpaduan kedua sistim pendidikan diatas, diharapkan akan lebih banyak yang
bisa dilakukan dari pada sekuler memakai cara-cara sistim Islam menjadi
pengetahuan yang sesuatu yang langsung berhubungan dengan kehidupan kita
sehari-hari, sementara pengetahuan moderen akan bisa dibawa dan dimasukkan ke
dalam kerangkan sistim Islam. Al-Faruqi dalam mengemukakan ide Islamisasi ilmu
pengetahuan menganjurkan untuk mengadakan pelajaran-pelajaran wajib mengenai
kebudayaan Islam sebagai bagian dari program studi siswa. Hal ini akan membuat
para siswa merasa yakin kepada agama dan warisan mereka, dan membuat mereka
menaruh kepercayaan kepada diri sendiri sehingga dapat menghadapi dan mengatasi
kesulitan-kesulitan mereka di masa kini atau melaju ke tujuan yang telah
ditetapkan Allah.
Bagi
AI-Faruqi Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan suatu keharusan yang tidak
dapat ditawar-tawar lagi oleh para ilmuan muslim. Karena menurutnya apa yang
telah berkembang di dunia Barat dan merasuki dunia Islam saat ini sangatlah tidak
cocok untuk umat Islam. Ia melihat bahwa ilmu sosial Barat tidak sempurna dan
jelas bercorak Barat dan karena itu tidak berguna sebagai model untuk pengkaji dari
kalangan muslim, yang ketiga menunjukan ilmu sosial Barat melanggar salah satu
syarat krusial dari metodologi Islam yaitu kesatuan kebenaran. Prinsip metodologi
Islam itu tidak identik dengan prinsip relevansi dengan spritual. Ia menambahkan
adanya sesuatu yang khas Islam yaitu prinsip umatiyah.
Untuk mempermudah
proses Islamisasi Al-Faruqi mengemukakan langkah-langkah yang harus dilakukan
diantaranya adalah:
- Penguasaan disiplin ilmu moderen: penguraian kategoris. Disiplin ilmu dalam tingkat kemajuannya sekarang di Barat harus dipecah-pecah menjadi kategorikategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema dan tematema. Penguraian tersebut harus mencerminkan daftas isi sebuah pelajaran. Hasil uraian harus berbentuk kalimat-kalimat yang memperjelas istilah-istilah knis, menerangkan kategori-kategori, prinsip, problema dan tema pokok disiplin ilmu-ilmu Barat dalam puncaknya.
- Survei disiplin ilmu. Semua disiplin ilmu harus disurvei dan di esei-esei harus ditulis dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan perkembangannya beserta pertumbuhan metodologisnya, perluasan cakrawala wawasannya dan tak lupa membangun pemikiran yang diberikan oleh para tokoh utamanya. Langkah ini bertujuan menetapkan pemahaman muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia Barat.
- Penguasaan terhdap khazanah Islam. Khazanah Islam harns dikuasai dengan cara yang sama. Tetapi disini, apa yang diperlukan adalah antologi-antologi mengenai warisan pemikir muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu.
- Penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analisa. Jika antologi-antologi telah disiapkan, khazanah pemikir Islam harus dianalisa dari perspektif masalah-masalah masa kini.
- Penentuan relevensi spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevensi dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan. Pertarna, apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari Al-Qur'an hingga pemikir-pemikir kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup dalam disiplin-disiplin moderen. Kedua, seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin moderen tersebut. Ketiga, apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, kearah mana kaum muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalahmasalah,dan memperluas visi disiplin tersebut.
- Penilaian kritis terhadap disiplin moderen. Jika relevensi Islam telah disusun, maka ia harus dinilai dan dianalisa dari titik pijak Islam.
- Penilaian krisis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan.
- Survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Suatu studi sistematis harus dibuat tentang masalah-masalah polotik, sosial ekonomi, inteltektual, kultural, moral dan spritual dari kaum muslim.
- Survei mengenai problem-problem umat manusia. Suatu studi yang sama, kali ini difokuskan pada seluruh umat manusia, harus dilaksanakan.
- Analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini sarjana muslim harus sudah siap melakukan sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin moderen, serta untuk menjembatani jurang kemandegan berabad-abad. Dari sini khazanah pemikir Islam harus disenambung dengan prestasi-prestasi moderen, dan harus menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas dari pada yang sudah dicapai disiplin-disiplin moderen.
- Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Sekali keseimbangan antara khazanah Islam dengan disiplin, oderen telah diacapai buku-buku teks universitas harus ditulis untuk menuangkan kembali disiplin-disiplin moderen dalam cetakan Islam.
- Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan. Selain langkah tersebut diatas, alat-alat bantu lain untuk mempercepat islamisasi pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibat berbagai ahli di bidang-bidang illmu yang sesuai dalam merancang pemecahan masalah-masalah yang menguasai pengkotakan antar disiplin. Para ahli yang membuat harus diberi kesempatan bertemu dengan para staf pengajar.
Selanjutnya
pertemuan pertemuan tersebut harus menjajaki persoalan metoda yang diperlukan. Dari
langkah-langkah dan rencana sistematis seperti yang terlihat di atas, nampaknya
bahwa langkah Islamisasi ilmu pada akhirnya merupakan usaha menuang kembali
seluruh khazanah pengetahuan barat ke dalam kerangka Islam. Maka rencana kerja
islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi ini mendapat tantangan dari berbagai
pihak, walaupun dilain pihak banyak juga yang mendukungnya. Ada yang
menanggapinya secara positif bahkan menjadikannya sebuah lembaga, seperti IIIT.
Dan tidak sedikit pula meresponinya dengan pesimis sebagaimana yang ditunjukkan
oleh cendikiawan lainnya seperti Rahman, yang melihat merupakan proyek yang
sia-sia sama sekali tidak kreatif. Untuk itu konsep islamisasi ilmu pengetahuan
perlu dilihat dalam kerangka pemikiran secara keseluruhan agar tidak
menimbulkan kerancuan.
Sebagian
fakta berpendapat bahwa pemikir liberalisme Islam sebagaimana yang dikemukakan
oleh Hasan Hanafi atau Arkun dapat dianggap sebagai bentuk pemikiran Islamisasi
ilmu pengetahuan. Sementara kelompok lain menolaknya seperti, IIIT bahkan
mereka mengkritik pemikiran yang dikemukakan oleh orang tesebut.[3] Salah senanggap atas gagasan al-Faruqi adalah Fazlur Rahman, ia tidak sependapat
dengan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan, menurutnya yang perlu dilakukan
adalah menciptakan atau menghasilkan para pemikir yang memiki kapasitas
berpikir konstruktif dan positif.
Adapun
menurut Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashiru sependapat dengan Al-Faruqi, karena
menurutnya seorang pemikir akan sangat dipengaruhi oleh ilmu yang dipelajarinya
(atau ilmuan yang mendidiknya). Kalau seorang mempelajari ilmu yang berbasis
sekularisme, maka sangat mungkin pendangan-pandangan juga sekuler.[4] Adapun penanggap lain
adalah Sardar. Ia menyepakati gagasan yang dikemukakan AI-Faruqi. Namun,
menurutnya gagasan Al-Faruqi mengandung cacat fundamental. Sardar
mengisyaratkan bahwa langkah Islamisasi yang khas terhadap disiplin-disiplin
ilmu pengetahuan moderen bisa membuat kita terjebak ke dalam westemisasi Islam.
Sebabnya menurut Sardar adalah AI-Faruqi terlalu terobsesi untuk merelevankan
Islam dengan ilmu pengatahuan moderen. Upaya ini dapat mengantarkan pada
pengakuan ilmu Barat sebagai standar, dan dengan begitu upaya islamisasi masih
mengikuti kerangka berfikir (made of thought) atau pandangan dunia (world view)
Barat. Karena itu percuma
saja kita melakukan islamisasi ilmu kalau semuanya akhirnya dikembalikan
standanya pada ilmu
pengetahuan Barat.
Terlepas dari semua polemik yang terjadi diseputar islamisasi ilmu
pengetahuan, sebetulnya islamisasi ilmu pengetahuan yang dimunculkan Al-Furuqi,
sebenarnya sederhana saja. Para
pendukung ide ini ingin menekankan muatan dimensi moral dan etika dalam batang
tubuh ilmu pengetahuan seperti yang dipesankan Al-Qur'an.[5] AI-Faruqi tampaknya
melihat bahwa untuk membangun umat tidak dapat dimulai dari titik nol dengan
menolak segala bentuk hasil peradaban yang sudah ada. Pembentukan umat malahan
harus dilakukan sebagai langkah lanjutan dari hasil peradaban yang sudah ada
dan sedang berjalan. Namun, segala bentuk nilai yang mendasari peradaban itu
harus ditambah dengan tata nilai baru yang serasi dengan hidup ummat Islam sendiri
yaitu pandangan hidup yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah. AI-Faruqi
melihat hanya dengan cara seperti ini visi tauhid yang telah hilang akan dapat
kembali ke dalam misi pembentukan ummat. lnilah barangkali yang merupakan pokok
pemikiran Al-Faruqi dalam bidang pendidikan sebagaimana yang di kemukakannya
alam konsep Islamisasi ilmu pengetahuan.
Pendapat
yang tidak kalan pentingnya yang berkenaan dengan proses islamisasi adalah
menurut S.A. Ashraf, para ilmuan masa kini selayaknya menyadari bahwa
pengembangan kegiatan ilmuan Islam yang ideal harus didasarkan pada sejumlah
asumsi dasar sebagai berikut ini: "Pertama konsep tentang manusia menurut
agama Islam sangat lengkap dan lebih baik dari konsep tentang manusia lainnya.
Menurut ajaran Islam manusia berkemungkinan untuk menjadi Khalifullah dengan
cara menanamkan dan mengamalkan beberapa sifat Tuhan. Oleh karena semua dimensi
sifat Tuhan itu tidak terbatas, maka pengembangan aspek moral, spritual dan
intelektual manusiapun tidak terbatas. Kedua, oleh karena pengetahuan merupakan
kunci kemajuan dan pengembangan tersebut. Maka Islam tidak menghalangi upaya
untuk menuntut pengetahuan. Ketiga, pengembangan tersebut harus bersifat
menyeluruh mendayagunakan potensi intelektual, pengembangan yang tidak
menyeluruh akan menimbulkan ketidakseimbangan. Keempat, aspek spritual, moral,
intelektual, imaginatif emosional dan fisikal manusia harus diperhatikan dalam
upaya pengkaitan berbagai disiplin ilmu. Kelima, pengembangan kepribadian
manusia harus dilakukan dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia
dengan alam Oleh karena itu, penataan disiplin ilmu dan penyusunan pokok batasan
harus dirancang dengan mempertimbangkan manusia sebagai individu, manusia
sebagai makhluk yang harus hidup berdampingan secara damai dengan alam" Pendapat
di atas sangat menarik untuk direalisasikan alam rangka Islamisasi ilmu
pengetahuan.
Memang
terdapat banyak kelemahan struktural dalam pengembangan ilmu dikalangan
masyarakat muslim dewasa ini, semua kelemahan tersebut perlu diperbaiki oleh
para perancangnya. Para ilmuan muslim menyadari bahwa pengetahuan Barat itu
buuruk dan pengetahuan Islam itu baik. Tetapi terlalu sedikit analisis terhadap kemampuan dan karya sendiri. Sebagaimana dikemukakan Ahmad.[6] Bahwa beberapa ilmuan
muslim, misalnya Al-Faruqi menyarankan agar ilmuan sosial muslim memainkan
peran revolusioner, dan menghendaki pengembangan peran yang mencakup wilayah agama.
Tentu saja pandangan muslim terhadap hal ini, ditentukan oleh sejauh mana
pengetahuan mereka tentang masyarakat sebagaimana adanya bukan sebagaimana seharusnya
(seperti yang sering dibayangkan oleh para ahli teologi).
Dari
uraian diatas dapat dilihat bahwa gagasan islamisasi ilmu pengetahuan ini lahir
karena AI-Faruqi sendiri konsisten dengan konsep tauhidnya dan karena ingin
memumikan ajaran tauhid Al-Faruqi menginginkan apa yang dibawa barat tidak harus
diterima secara mentah oleh umat Islam. Di samping itu konsep ini muncul karena
melihat kondisi obyektif umat Islam yang mengalami kemandegan dalam pemikiran
yang disebabkan oleh kolonialisme Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar